(Memperingati Hari Pahlawan 10 Nopember)
Setelah insiden di Hotel Yamato, pada tanggal 27 Oktober 1945 meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris . Serangan-serangan kecil tersebut di kemudian hari berubah menjadi serangan umum yang banyak memakan korban jiwa di kedua belah pihak Indonesia dan Inggris, sebelum akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan Presiden Soekarno untuk meredakan situasi.
Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris ditandatangani pada tanggal 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda, meski bentrokan-benrtokan kecil masih terjadi.
Bentrokan-bentrokan bersenjata di Surabaya tersebut memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30.
Mobil Buick yang
ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan sekelompok milisi
Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah. 
Kesalahpahaman
menyebabkan terjadinya tembak menembak yang berakhir dengan tewasnya Brigadir
Jenderal Mallaby oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang
sampai sekarang tak diketahui identitasnya, dan terbakarnya mobil tersebut
terkena ledakan granat yang menyebabkan jenazah Mallaby
sulit dikenali. 
Kematian
Mallaby ini menyebabkan pihak Inggris marah kepada pihak Indonesia dan
berakibat pada keputusan pengganti Mallaby, Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh untuk mengeluarkan
ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak Indonesia
menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara Inggris.
Tom Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh Inggris (Labour Party). Pada 20 Februari 1946, dalam perdebatan di Parlemen Inggris (House of Commons) meragukan bahwa baku tembak ini dimulai oleh pasukan pihak Indonesia.
Dia
menyampaikan bahwa peristiwa baku tembak ini disinyalir kuat timbul karena
kesalahpahaman 20 anggota pasukan India pimpinan Mallaby yang memulai baku
tembak tersebut tidak mengetahui bahwa gencatan senjata sedang berlaku karena
mereka terputus dari kontak dan telekomunikasi. Berikut
kutipan dari Tom Driberg:
"... Sekitar 20 orang (serdadu) India (milik Inggris), di sebuah
bangunan di sisi lain alun-alun, telah terputus dari komunikasi lewat telepon
dan tidak tahu tentang gencatan senjata. Mereka menembak secara sporadis pada
massa (Indonesia). Brigadir Mallaby keluar dari diskusi (gencatan senjata),
berjalan lurus ke arah kerumunan, dengan keberanian besar, dan berteriak kepada
serdadu India untuk menghentikan tembakan. Mereka patuh kepadanya. Mungkin
setengah jam kemudian, massa di alun-alun menjadi bergolak lagi. Brigadir
Mallaby, pada titik tertentu dalam diskusi, memerintahkan serdadu India untuk
menembak lagi. Mereka melepaskan tembakan dengan dua senapan
Bren dan massa bubar dan lari untuk berlindung; kemudian pecah
pertempuran lagi dengan sungguh gencar. Jelas bahwa ketika Brigadir Mallaby
memberi perintah untuk membuka tembakan lagi, perundingan gencatan senjata
sebenarnya telah pecah, setidaknya secara lokal. Dua puluh menit sampai
setengah jam setelah itu, ia (Mallaby) sayangnya tewas dalam mobilnya-meskipun
(kita) tidak benar-benar yakin apakah ia dibunuh oleh orang Indonesia yang
mendekati mobilnya; yang meledak bersamaan dengan serangan terhadap dirinya (Mallaby).
Saya pikir ini tidak dapat dituduh sebagai pembunuhan licik... karena informasi
saya dapat secepatnya dari saksi mata, yaitu seorang perwira Inggris yang
benar-benar ada di tempat kejadian pada saat itu, yang niat jujurnya saya tak
punya alasan untuk pertanyakan ..." 
(Sumber gambar: detikcom)
.jpeg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar pada space yang tersedia. Komentar akan muncul setelah disetujui Admin.