Tanpa kejernihan hidup yang bagaimana, manusia bisa berdamai dengan kematian ? Tak ada kebaikan yang tak berbalas, tak ada keburukan yang tak bersanksi. My wisdom goes over the sea of wild wisdom

02 November 2023

KISAH SEBATANG POHON SAWO

Adalah sebuah desa yang jauh dari keramaian, udaranya bersih bebas dari polusi kendaraan dan pabrik. Nampak satu rumah sederhana yang memiliki halaman cukup luas. Bagian belakang rumah tersebut berupa lapangan rumput hijau yang hanya ditanami sebatang pohon sawo.  Pohon sawo tersebut entah kapan ditanamnya, batangnya kuat, daunnya rimbun, dan banyak buahnya. Pada musim panas, di bawah pohon sangat teduh, sangat nyaman, hembusan angin semilir bisa membuat mata mengantuk jika ingin bersantai.



Pemilik pohon sawo itu mempunyai anak perempuan yang sangat cantik, namanya Fatimah. Fatimah adalah murid kelas 5 di SD Pelita. Hampir setiap siang Fatimah menghabiskan waktunya di bawah pohon sawo. Di bawah pohon yang rindang itu Fatimah kadang mengerjakan PR, kadang membaca buku, kadang bermain bersama teman-temannya : Alea, Rahma, Bianca, dan Dea.

Pohon sawo itu seperti mengerti, daunnya selalu tumbuh lebat agar siapapun yang bermain di bawahnya tidak kepanasan. Di siang hari yang panas, di bawah pohon sawo terasa segar karena daun-daunnya mengeluarkan oksigen yang sejuk.

“Terima kasih, pohon sawo, kamu memberikan tempat terbaik untukku, berada di bawahmu aku merasa sangat nyaman,” kata Fatimah. Fatimah merasa pohon sawo adalah sahabatnya yang bisa diajak bicara. Seolah mengerti, di musim kemarau yang kering, dimana pohon-pohon lain banyak yang kekeringan, pohon sawo sahabat Fatimah tetap berdaun rimbun, meskipun ada juga beberapa helai daunnya yang berguguran.

Waktu terus berjalan, setiap hari jika cuaca cerah, Fatimah selalu  berada di bawah pohon sawo yang telah menjadi sahabatnya. Tetapi hari itu adalah hari yang menyedihkan bagi Fatimah. Hari sudah menjelang sore tapi Fatimah enggan untuk meninggalkan sahabatnya itu. Hari itu Fatimah mengucapkan perpisahan.  Fatimah dan keluarganya akan pindah ke Depok. Rumah beserta halamannya akan dijual.

“Pohon sawo sahabatku, aku akan pergi meninggalkanmu. Jagalah dirimu baik-baik. Aku akan sangat merindukanmu. Kelak nanti ketika aku memiliki uang, aku akan datang mengunjungimu,” kata Fatimah dalam hati sambal tangannya memegang pohon sawo sahabatnya.    

Seakan mengerti apa yang diucapkan Fatimah, hari itu pohon sawo menggugurkan daunnya agak banyak, tidak seperti hari-hari biasanya, seolah-olah daun-daun yang berguguran adalah air matanya yang menetes…

Esoknya, pagi-pagi sekali, Fatimah dan keluarganya  berangkat ke Depok.  Fatimah memandangi pohon sawo yang telah lama menjadi  sahabatnya, yang semakin lama semakin terlihat menjauh. Daun pohon sawo berderai tertiup angin, seolah melambai-lambaikan tangan selamat tinggal.  Tidak terasa mata Fatimah menjadi basah, sebutir air matanya menetes … “Selamat tinggal sahabatku …”

______

 Waktu terus berjalan, tidak terasa sebelas tahun telah berlalu.  Fatimah kini baru saja menyelesaikan kuliahnya. Ia ingin sekali bertemu teman-teman lamanya. Dea kabarnya telah menjadi bos sebuah kafe, Bianca telah menjadi penulis buku yang terkenal, Rahma baru lulus kuliah S-1 lalu melanjutkan kuliah S-2 nya di luar negeri, sedangkan Alea adalah mahasiswa jenius tingkat akhir di sebuah universitas bergengsi. Dan tidak lupa juga … pohon sawo sahabat terdekatnya. “Pohon sawo sahaabatku, apa kabarmu sekarang, aku tidak sabar ingin segera mengunjungimu,” kata Fatimah di lubuk hatinya.

Hari Minggu yang cerah menjadi hari paling menyenangkan bagi Fatimah. Fatimah meluncur ke desa, tempat tinggalnya dahulu saat masih kecil. Sepanjang perjalanan Fatimah tertegun, jalan yang dahulu melewati persawahan kini telah dibangun rumah-rumah mewah.

Kendaraan Fatimah mulai memasuki desa tujuannya.  Seperti melewati jalan asing saja, Fatimah hampir tidak mengenali jalan yang dahulu sering dilewatinya. “Dimana rumahnya Dea, Rahma, Bianca, dan Alea… aku agak bingung,” Fatimah bicara dalam hati. Kendaraannya melaju terus hingga sampailah di wilayah sekitar tempat tinggalnya dulu.  Fatimah melambatkan laju mobilnya, ia memperhatikan satu persatu rumah yang dilaluinya, sambil mengingat-ingat mencari rumahnya yang dulu.

Fatimah berhenti di depan sebuah rumah besar, ia yakin dahulu di situlah rumahnya.  Rumahnya dahulu yang sederhana telah berubah menjadi rumah besar milik orang kaya. Beruntung sekali pemilik rumah besar itu sangat baik, setelah menceritakan siapa dirinya dan tujuannya datang,  Fatimah diijinkan untuk  melihat-lihat halaman belakang.  Dengan hati gembira Fatimah bergegas menuju sahabatnya pohon sawo berada. 

Namun sesampainya di lokasi, Fatimah tertegun… tidak ada lagi pohon sawo di sana. Fatimah hanya melihat sisa-sisa batang dan akar bekas ditebang. Pemilik rumah bercerita, pohon sawo itu telah ditebang oleh pemilik sebelum dirinya. Rumah mewah ini telah dijual berkali-kali.

Dengan rasa sedih, Fatimah kembali ke Depok.  Ia sangat sedih pohon sawo sahabatnya telah tiada.  Namun Fatimah berjanji, akan menanam 1000 pohon sawo baru untuk menebus kesedihannya…

_______________

Inspirasi, ide, dan dasar alur cerita berasal dari karya seorang murid SD Cakrabuana, tempat Ananda Penulis bersekolah sekitar 10 tahun lalu, merupakan artikel juara 1 pada lomba menulis anak.  Penulis lupa nama penulis aslinya, mohon maaf dan mohon ijin kami gunakan dengan beberapa suntingan, semata-mata untuk meneruskan spirit “melindungi bumi” dari bencana akibat perubahan iklim. Artikel suntingan ini adalah bahan ajar Pelajaran Bahasa Indonesia di SD Pelita Depok. Sumber gambar : Fanny Wiriaatmadja (fannywa.wordpress.com)

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis komentar pada space yang tersedia. Komentar akan muncul setelah disetujui Admin.