Tanpa kejernihan hidup yang bagaimana, manusia bisa berdamai dengan kematian ? Tak ada kebaikan yang tak berbalas, tak ada keburukan yang tak bersanksi. My wisdom goes over the sea of wild wisdom

03 Desember 2024

ISRAEL DIKEPUNG SYIAH

Setelah satu tahun genosida Israel atas bangsa Palestina, dunia kompak mengecam Israel, namun hanya beberapa negara yang terang-terangan melakukan aksi militer, mereka adalah Iran di timur, Yaman (Houti) di selatan, dan Lebanon (Hisbullah) di utara, dimana muslim di tiga negara tersebut adalah penganut mazhab syiah. Israel dikepung syiah, dan Iran adalah ibu dari keduanya.

Ketika Netanyahu ditanya siapakah musuh terbesar Israel, Netanyahu menjawab, yang pertama adalah Iran, yang kedua adalah Iran, dan yang ketiga adalah Iran. Meski kebencian kepada Iran keluar dari mulut Perdana Menteri Israel, namun sejak 1979 negara AS lah yang getol menyerang Iran secara langsung, mulai aksi sabotase hingga embargo politik-ekonomi-dan persenjataan. Seperti umum diketahui, pada 1979 terjadi revolusi di Iran yang mengubah negara Iran yang monarki menjadi Republik Islam Iran, dan sejak tahun itu pula putuslah hubungan diplomatik AS-Iran, kemudian Iran menjadi satu-satunya negara di Timur-Tengah yang paling mempersoalkan penjajahan Israel atas Palestina hingga sekarang.

Secara historis, Iran (dan Irak) adalah negara besar yang dulunya menjadi induk peradaban dunia. Iran dahulunya bernama Persia dan Babilonia yang kekuasaannya meliputi Asia-Afrika hingga Eropa, tempat munculnya peradaban unggul pertama di dunia dimana Hammurabi membuat naskah hak asasi manusia yang paling tua, tempat lahirnya Nabi Ibrahim sekaligus bangsa yang disebut Aria yang memperkenalkan berbagai ilmu pengetahuan dan ajaran Brahm “proto hindi” di India bagian utara. Iran juga tetap menjadi pusat peradaban dunia ketika Dinasti Abbasiyah berkuasa selama 500 tahun sebelum bergeser ke Turki Utsmani hingga 1924.  Selain kaya akan sejarah, Iran juga kaya akan hasil alam dan minyak yang menjadi sumber energi utama di bumi.  Ketika AS baru saja tiga dekade merasakan manisnya menjadi negara adidaya pasca keruntuhan peradaban Islam yang bertahan lebih dari seribu tahun itu, kemunculan Negara Republik Islam Iran langsung menjadi mimpi buruk. Penduduk Iran mayoritas muslim dan merupakan penganut mazhab syiah terbesar di dunia.

Sebelum 1979, isyu syiah hanyalah konflik receh dalam masyarakat bawah, syiah hanyalah salah satu mazhab fiqh (mazhab hukum Islam) dari banyak mazhab lainnya dalam Islam.  Perbedaan fiqh dipandang sebagai rahmat bagi umat karena memberikan alternatif solusi dalam permasalahan keagamaan sehari-hari. Adapun syiah menjadi konflik adalah ketika beberapa tokoh politik membenturkannya dengan mazhab sunni. Pada tahun 632, syiah bukanlah sebuah mazhab agama, melainkan hanya nama kelompok.  Syiatu Ali (Syiah Ali) berarti kelompok pendukung Ali, Syiatu Aisyah (Syiah Aisyah) berarti pendukung Aisyah, dst. Pada tahun itu Rasulullah Saw wafat dan muncul kelompok-kelompok politik yang mengusung calon pengganti nabi sebagai khalifah, masyarakat Islam di Madinah terpecah menjadi 3 kelompok besar, yaitu kelompok Aisyah binti Abu Bakar, kelompok Muawiyah bin Abu Sufyan, dan kelompok Ali bin Abi Thalib. Saat ini, sebutan syiah dinisbatkan hanya pada kelompok fanatik Ali bin Abi Thalib. Syiah yang pada tahun 632 hanya kelompok politik, kini berubah menjadi mazhab fiqh Islam.

Konflik kuno yang tadinya hanya recehan, sejak 1979 diolah sedemikian rupa oleh AS menjadi komoditi politik global yang bertujuan mengisolasi Iran dari negara-negara berpenduduk muslim di dunia. Propaganda AS berupaya agar penduduk muslim Iran yang syiah harus dicap kafir oleh muslim sunni di seluruh dunia yang merupakan mazhab mayoritas.

Konflik syiah-sunni setelah 1979  muncul di beberapa negara yang identik dengan Islam, terutama Irak, Suriah, Yaman, dan Indonesia.  Di Irak terjadi perang saudara sunni-syiah pada 2006—2008, 2013—2017, dan 2021.  Di Syiria/Suriah pada 2011 AS menciptakan ISIS  yang seolah-olah bagian dari Islam Sunni untuk mengelabui umat Islam yang mengakibatkan perang sunni yang didukung AS dan syiah yang pro pemerintah, kehancuran fisik luar biasa, dan sukses menebar kebencian anti syiah ke negara muslim lainnya. Di Yaman terjadi perang saudara kelompok syiah (Houti) dan kelompok sunni yang didukung AS pada 2014—2022.  Di Indonesia masyarakat yang termakan tipuan ISIS mengambil sikap kontra pemerintah dan menyulut kebencian pada sesame muslim terkhusus pada mazhab syiah yang menimbulkan korban jiwa di Sampang Madura pada 2012.

Sikap AS plus Israel yang anti Iran dapat dipahami karena Iran yang Islam adalah raksasa yang mengancam "tatanan dunia baru" gaya hidup dan sistem ekonomi kapitalisme yang memakmurkan barat. Di tahun 2025 mungkin akan semakin jelas bahwa fokus utama geopolitik bukan pada Rusia, Cina, dan Korea Utara, tapi IRAN yang Syi'ah.

Penulis HamdanA Batarawangsa 


29 November 2024

PAK ADANG : TAK MASALAH GURU HIDUP MISKIN

Pada peringatan Hari Guru 2024 Presiden Prabowo mengumumkan kenaikan kesejahteraan sebesar 1 kali gaji untuk guru ASN dan beberapa ratus ribu rupiah menjadi Rp.2000.000 per bulan untuk guru non ASN yang lulus PPG.

Bagi Pak Adang, pengumuman dari Presiden itu sangat disyukuri namun uang bukan yang terpenting dalam perspektifnya tentang kesejahteraan. Pak Adang adalah guru SD swasta sejak 2003, lulusan PTN dan sekarang sudah S-2. Di tahun 2024 ini gaji Pak Adang dari mengajar hanya sekitar Rp.800.000 per bulan, plus Rp. 4 juta sekian dari tunjangan profesi yang turun per tiga bulan, jika tidak terlambat. Tidak ada tunjangan inpassing dan tunjangan-tunjanghan lainnya.  “Terima kasih Pak Presiden, namun guru itu harus hidup dari keberkahannya, terlalu dimanjakan uang membuat orang jadi hedonis, padahal guru tidak boleh kehilangan ketawadluannya,” katanya.  Guru juga manusia, dengan kesejahteraan yang setara kelompok masyarakat ekonomi “menengah mapan” guru bisa lupa diri dan bergaya hidup “glamor” seperti di sinetron, yang menyebabkan hilangnya marwah keguruannya. "Sebetulnya tak masalah guru hidup miskin," katanya lagi.

Dahulu, guru jauh lebih dihormati padahal digaji sangat rendah. Gaji yang rendah membuat guru dipaksa hidup sederhana, berpola hidup sederhana, lebih membumi dan bijaksana dalam memandang kehidupan. Bagi guru sejati, bukan melulu uang yang mensejahterakannya, tidak masalah digaji rendah asal keluarganya dijamin sandang-pangannya, dijamin kesehatannya, dan dijamin pendidikan anak-anaknya hingga jenjang yang tertinggi, itu saja. Bukan masalah bagi Pak Adang berangkat kerja dengan naik angkot, motor butut, atau jalan kaki, kehujanan dan kepanasan baginya adalah romantika bukan keluhan.

Sejak 20% APNB dicurahkan di sektor pendidikan, kesejahteraan guru adalah sebuah keniscayaan meski tersendat-sendat.  Di masa depan, mungkin profesi guru akan menjadi incaran para pencari kerja, selain motif idealisme juga ada motif ekonomi.  Pak Adang berseloroh semoga saja semua guru menjadikan “hidup sederhana” sebagai kekhasan. Guru adalah pekerja keperadaban, biarlah ilmu saja yang tinggi melanglang galaksi, namun tetap bersahaja rendah hati di atas bumi. Mendidik adalah 20% nasehat dan 80% keteladanan, bukan begitu? )(

Penulis Hamdan A Batarawangsa





07 November 2024

PIRAMIDA TUHAN, tuhan-tuhan dan Tuhan

Tidak ada yang benar-benar ateis, tidak ada yang benar-benar agnostic, minimal mereka menuhankan dirinya sendiri.  Ada yang bertuhankan uang, bos, tokoh, dan agama (bukan Tuhan itu sendiri). Kaum ateis dan agnostik puas dengan tuhannya yang real atau tuhan tak real yaitu pikirannya sendiri.  Tuhan mereka sangat berbeda dengan kaum teis, terutama muslim. Namun bagi yang mengaku ber-Tuhan pun tidak mudah untuk selalu ingat bahwa tidak ada tuhan (dengan t kecil) selain Tuhan (dengan T besar), kadang terjebak juga menyembah tuhan-tuhan yang bukan Tuhan.

Ibrahim (Islam), Abraham (Kristen), Afram (Yahudi), dan Brahm (Hindi) mungkin adalah individu historis yang sama, sebagai manusia pertama yang betul-betul mencari Tuhan. Tidak seperti kaum agnostic yang menyerah dan tak peduli dengan yang abstrak, Ibrahim justru tidak puas dengan tuhan yang kasat mata. Ibrahim sudah melalui tahapan ateis dan agnostic, sebelum menyadari fakta berlakunya hukum rimba dimana yang kuat akan dipertuhankan oleh yang lemah dan merasa amat penting mengetahui siapa yang berada di puncak “piramida ketuhanan” itu.  Ketika mengetahui bahwa tuhan di puncak piramida empiris masih pula tunduk oleh suatu yang lain, Ibrahim akhirnya sampai pada logika bahwa Tuhan mestilah melampaui semua yang empirik. Ibrahim pada tahap ini telah sampai pada puncak eksistensi dalam pencarian kebenaran rasional, tidak bisa mendaki lebih tinggi lagi, selebihnya adalah wilayah yang tak terjangkau nalar.

Puncak eksistensi pencarian kebenaran rasio ternyata adalah awal perjalanan baru spiritual. Berkat perjalanan spiritualnya yang gigih, Ibrahim dengan bekal  logika “Tuhan Yang Melampaui Empirisme” sampailah pada puncak makrifatullah-nya, yaitu pengalaman dan pengetahuannya tentang Tuhan Yang Maha Tinggi, Rabbi al a’la.

Kisah dan ajaran Ibrahim yang lahir dan besar di Babilonia (Bab El = Gerbang Tuhan), wilayah yang disebut sebagai negerinya bangsa Arian (bangsa terunggul) atau sekarang menjadi negara Irak-Iran, yang merupakan pusat peradaban dunia kala itu, disebut-sebut menyebar ke berbagai belahan dunia sebagai moyang dari semua agama-agama besar sekarang ini. Tidak heran ada saja  benang merah berbagai agama-agama besar itu, misalnya pengakuan Yati Narsinghanand, seorang resi terkemuka di kuil Dasna Ghaziabad India, bahwa Ka’bah tak lain adalah Kuil Mahadeva dan Zam-zam sebagai Gangga Mahadeva yang sebenarnya.

Piramida Tuhan adalah konsep kuno yang sudah ada sejak dulu dan masih relevan  hingga sekarang, sebagai logika umum bahwa yang lemah akan tunduk-takluk kepada yang kuat, ada raja dan maharaja, dan seterusnya. Kegigihan Ibrahim dalam mengerahkan daya rasio dan spiritualnya adalah inspirasi dalam upaya manusia menggapai keingintahuannya. Kini di abad ke-21 manusia dimanjakan dengan teknologi informasi, cara konfirmasi antara literatur agama dan sains bisa menjadi cara lain disamping konsep Piramida Tuhan-nya Ibrahim yang hidup ribuan tahun lalu. Jangan berhenti dan mati dalam ateis dan agnostik, teruslah bergerak seperti Ibrahim.


(Penulis HamdanA Batarawangsa)

.

06 November 2024

KAMU TERCIPTA DARI PERSEPSIKU

 Ketika rasio mencapai puncak eksistensi dalam pencarian kebenaran, maka puncak eksistensi itu hanyalah awal dari perjalanan baru spiritual.

Seorang pemuda 19-20 tahunan tiba-tiba punya banyak waktu luang untuk membaca buku apa saja yang disukai, diskusi tentang banyak hal, dan merenungi dirinya sendiri setiap hari, suatu kemewahan hidup yang sudah lama diimpikan. Ternyata masa kuliah tidak lebih sibuk  daripada masa-masanya di SMA. 

Hingga disatu pagi yang cerah jiwanya terbangun dan merasa perlu membenahi mentalnya  yang palsu, yang sejak bayi tak berdaya menerima dan ditempeli berbagai imaji dari lingkungan.  Sudah tiba masanya ia hidup dengan imaji orisinil diri sendiri… sesuatu yang bahkan tidak terpikirkan kebanyakan orang, namun ia merasa harus melaluinya. Pagi itu ia merasa benar-benar “ada” karena baru saja mulai berpikir.

Usia 19-20 tahun mempertanyakan banyak hal yang sebelumnya sudah mapan, tiba-tiba dibongkar kembali:  aku ini apa, apakah makna dan hal  terpenting dari keberadaan, apakah kehidupan itu, apakah Tuhan itu benar ada, apa pentingnya etika, dst.  Pertanyaan yang sulit dicarikan lawan diskusinya. Ini adalah revolusi mental yang akan berlangsung lama ...

Keberadaannya tidak terbantahkan, namun wujud eksistensi, semua hanyalah persepsi. “Tidak ada kamu, tidak ada apapun, yang ada hanya aku seorang. Kamu ada, segala ada, hanyalah karena aku berpersepsi demikian. Tapi aku terpenjara bahkan terjebak oleh imaji lama berikut sistem logikanya. Aku seperti orang yang sedang bermimpi, dan dalam mimpi itu aku sadar bahwa aku sedang bermimpi.”

Setelah selesai dengan dirinya sendiri, pemuda 19-20an tahun itu merancang kembali keyakinannya tentang Tuhan. Pikiran agnostiknya sadar bahwa esensi Tuhan tak terjangkau pikiran rasio, maka rasio menekuni jejak-jejak dan isyarat keberadaanNya hanya yang dalam jangkauannya saja melalui konfirmasi antara agama dan sains.

“Seiring waktu akhirnya aku menyadari bahwa aku tidak benar-benar sendirian. Ada Dia yang pengetahuan, pengalaman, dan kuasaNya amat sangat mengendalikan.  Sangat jelas bahwa aku adalah pihak  yang benar-benar tak berdaya.”

“Aku ingin mengenalNya, Ia pun nampaknya ingin dikenal. Bagaimana mungkin orang kesepian sepertiku tak menoleh dan mendekat ketika tahu ada Satu-satunya Keberadaan Yang Lain…”       

(Penulis : Hamdan A. Batarawangsa, MPd.)

05 Oktober 2024

TAK ADA ULAMA BERTENGKAR (Menghormati Perbedaan dan Otoritas Ulama)

Sering kita jumpai perdebatan bahkan pertengkaran tentang agama (Islam). Semua yang bertengkar tentang agama sejatinya bukanlah ulama, bahkan sebetulnya tidak layak menyandang gelar ustadz, guru, mualim, apalagi kyai. Semua yang bertengkar itu adalah masyarakat awam yang belum tercerahkan.

Perbedaan pendapat ulama adalah rahmat, karena perbedaan itu adalah solusi dari persoalan umat pada waktu dan tempatnya masing-masing yang merupakan buah dari kebijaksanaan. Pendapat mana saja boleh dipilih oleh umat sesuai situasi dan kondisinya masing-masing.  Sejarah mencatat imam Hanafi, imam Maliki, imam Syai’i, dan imam Hambali, mereka adalah ulama fiqh (hukum islam) paling terkemuka di dunia yang memberi ajaran khasnya (mazhab) masing-masing, beberapa diantaranya hidup sejaman dan berinteraksi secara langsung namun tidak ada catatan pertengkaran, justru yang tercatat adalah kisah toleransi dan keguyupannya. Empat imam mazhab telah meneladani bagaimana mensikapi perbedaan, namun tidak dicontoh oleh sebagian pengikutnya saat ini.

Toleransi yang diteladani para ulama terkemuka di atas bukan saja cerminan adab dan akhlak mulia, namun juga didasari ilmu yang berdasar kisah Nabi Muhammad Saw. Ketika Rasulullah Saw mengutus Muadz bin Jabal sebagai hakim yang mendakwahkan Islam ke Yaman, Rasulullah bertanya, “Bagaimana jika kamu tidak mendapatkan jawaban dalam al Quran dan Sunnah?, Muadz menjawab, ”Aku akan berijtihad” (Hadits Bukhori no.4341-4342). Jawaban Muadz ini melegakan hati Rasulullah Saw. Muadz bin Jabal menjalankan fungsi ulama mewakili Rasulullah Saw dengan  memiliki otoritas keilmuan. Otoritas keilmuan inilah yang menjadi dasar logika para imam mashab dan ulama sebelum serta setelahnya bersikap dan berperilaku penuh toleransi, saling menghormati, dan guyup-rukun dalam kebhinekaan pemahaman. Kepada Muadz bin Jabal, lebih lanjut Rasulullah Saw juga berpesan hal yang sangat prinsipil, diantaranya  mempermudah tidak mempersulit, tidak menakut-nakuti, dan senantiasa memperbaiki aqidah.

Kini 14 abad setelah Rasulullah Saw wafat, ulama adalah pewaris sekaligus penerus dakwah Nabi. Dalam dakwahnya ulama telah diberi otoritas untuk berijtihad berdasar ilmu dan kebijaksanaannya, yang berarti pula dengan demikian sangat dimaklumi jika semakin banyak perbedaan pendapat sehubungan dengan agama. Umat yang awam tidak perlu repot mengomentari negatif apalagi mendebat pendapat ulama, umat bisa memilih solusi ulama yang mana yang akan dipilih untuk diikuti sesuai situasi dan kondisinya masing-masing. Semakin banyak pendapat sebetulnya semakin memudahkan umat, inilah yang disebut rahmat.

Pemahaman agama ini sangat beragam. Ada perbedaan aqidah (akal, pemikiran, konsep), berbeda akidah tidak menyebabkan seseorang kafir, namun Rasulullah berpesan untuk tidak henti belajar untuk terus memperbaiki akidah. Ada perbedaan dalam menjalankan syariat seperti tata cara sholat dan bacaannya, seperti yang kerap dikorek oleh kaum orientalis antara sunni dan syiah.  Ada pula perbedaan dalam tata cara bermuamalah, berpakaian, dan banyak lagi, seperti dalam pengelolaan keuangan, soal jilbab, soal cadar, soal qurban, dan seterusnya. Dengan memahami otoritas ulama, semoga umat bisa meneladani toleransi dan saling menghormati yang telah dicontohkan ulama. Ulama itu tercermin dalam ilmu dan akhlaknya yang mulia, tidak ada ulama yang bertengkar.    ()HamdanaBatarawangsa

27 September 2024

DEMOKRASI INDONESIA MEMBAGONGKAN

Penulis : Hamdan Arfani, SPt. MPd.

Hidup di negara merdeka adalah hidup tanpa diskriminasi dan untuk itu bangsa Indonesia telah mengorbankan apa saja. Ketika dibacakan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, hari itu disambut gegap gempita karena rakyat merasa benar-benar menjadi manusia seutuhnya. Kemiskinan dan kebodohan tidak menghilangkan kemanusiaan, diskriminasilah yang membuat orang merasa kehilangan kemanusiaannya. Kekayaan dan kecerdasan pun tidak mampu memanusiakan jika hidup dalam diskriminasi. Maka di negara merdeka, “keadilan sosial” harusnya menjadi frasa paling diingat, paling penting dan paling sakral, terpatri di tempat tertinggi dalam hierarki prinsip aturan bernegara.

Bebas dari diskriminasi yang dengan istilah lain ditulis keadilan sosial disebut-sebut sebagai tujuan negara jika sila ke-5 Pancasila dilabeli sebagai aksiologinya Pancasila.  Seharusnya, keadilan sosial adalah aksiologi sekaligus ontologi dan epistemologi karena keadilan sosial harus nampak sejak awal negara berdiri dan seterusnya, tanpa syarat.

Demokrasi sebagai Cara Mencapai Tujuan Negara.  Saya sependapat dengan yang mengatakan bahwa sila ke-3 dan ke-4 Pancasila sebagai cara mencapai tujuan negara.  Persatuan nasional yang dimotori prinsip gotong-royong telah diidentifikasi oleh para pendiri bangsa sebagai satu dari dua kunci keberhasilan negara. Bagi negara multikultur dengan jumlah penduduk sangat banyak, persatuan nasional (sila ke-3) adalah harga mati untuk bisa bergerak sehat mencapai tujuan negara. Perpecahan bangsa adalah salah satu bahaya terbesar bagi negara.  Oleh karena itu pentingnya menjaga stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat harus dipahami oleh segenap rakyat Indonesia, setidaknya dimufakati oleh kaum elite bangsa baik di tingkat paling atas maupun di tingkat paling bawah.  Namun sejauh pengamatan saya, kaum elite masih banyak yang kurang paham atau kurang peduli dengan masalah ini. Lebih menyedihkan, ketidakstabilan keamanan-ketertiban ternyata dipengaruhi pula oleh sistem dan cara kita berdemokrasi sekarang ini.  Demokrasi yang seharusnya berfungsi mengantarkan bangsa Indonesia dari pintu gerbang kemerdekaan menuju tujuan negara yang tertulis dalam Pembukaan UUD 1945, malah mengalami disfungsi kronis sejak 2004.

Bersama sila ke-3, sila ke-4 Pancasila disebut-sebut sebagai epistemologinya Pancasila. Selain persatuan nasional (gotong-royong), demokrasi adalah cara mencapai tujuan negara.  Demokrasi negara Republik Indonesia yang dirumuskan oleh para pendiri negara adalah demokrasi musyawarah mufakat/perwakilan yang menjunjung tinggi hikmah kebijaksanaan. Inilah yang disebut sebagai Demokrasi Pancasila yang cocok dengan karakteristik bangsa Indonesia yang multikultur dan berpopulasi sangat besar. Demokrasi Pancasila murah secara ekonomi, serta efisien dan efektif dalam mengelola politik warga negara.

Memilih Kucing dalam Karung. Dalam sistem demokrasi sekarang ini, bagi saya memilih artis yang tidak tercela adalah lebih masuk akal daripada memilih siapapun yang tidak dikenal. Artis selebritis sebagai sosok terkenal selalu diawasi oleh media, mulai dari aktivitas harian hingga kehidupan pribadinya sehingga masyarakat tahu kapasitasnya. Namun, sebagian masyarakat masih “asal coblos” sehingga sering kita dapati orang-orang bermasalah terpilih menjadi pejabat publik. Terpilihnya orang-orang brengsek sebagai pejabat publik adalah bencana bagi rakyat dan negara. Asal coblos terjadi selain karena kurangnya kesadaran politik, juga karena sistem demokrasi saat ini telah mengkondisikannya demikian. Pemilu sistem proporsional terbuka dalam pencoblosan langsung oleh individu pemilik hak suara sangat bagus hanya jika masyarakat mengenal dengan baik para kandidat, dan itu mustahil dalam kancah pemilihan pejabat publik untuk level kampung ke atas, alias hanya cocok untuk level RT, RW, dan kelurahan/desa saja.  Teknologi informasi memang sudah sangat berkembang, tapi tidak mampu membuat masyarakat mengenali calon-calon wakilnya.  Konyol sekali sumber daya yang sangat bersar habis hanya untuk ilusi demokrasi yang tidak efektif karena memilih kucing dalam karung. Sistem demokrasi (apalagi proporsional terbuka) harus dilakukan berjenjang secara musyawarah mufakat dengan menjunjung tinggi hikmah kebijaksanaan sesuai prinsip sila ke-4 Pancasila, bukan dengan cara-cara  demokrasi liberal.

Demokrasi yang Terlampau Mahal. Sudah maklum bahwa NKRI adalah negara dengan populasi sangat besar dan multikultur, namun toh penyelenggara negara tetap nekat menerapkan pemilu langsung dimana kepala daerah, legislatif daerah, legislatif nasional, dan presiden dipilih langsung oleh rakyat yang jumlahnya ratusan juta orang.  Biaya akan lebih dahsyat lagi jika pemilu harus diulang karena kecurangan, kerusakan, atau paslon melawan kotak kosong.  Demokrasi memang mahal, tapi seharusnya tidak semahal demokrasi yang sekarang kita jalani.  Sangat banyak hal-hal yang lebih mendasar yang harus dibiayai daripada habis hanya untuk pemilu. Demokrasi musayarah mufakat yang direkomendasikan para pendiri bangsa tidak mahal, setidaknya tidak semahal cara demokrasi liberal yang sekarang kita jalani.

Demokrasi Sekarang Merintangi  Pencapaian Tujuan Negara. Demokrasi yang harusnya mewujudkan tujuan negara kini malah berkontribusi merintangi karena memunculkan perilaku anti persatuan, padahal bersama-sama demokrasi, persatuan nasional adalah cara mewujudkan cita-cita bangsa. Fakta, bahwa sistem pemilihan langsung telah memunculkan perpecahan di tengah masyarakat, terutama sejak pilkada DKI Jakarta 2012, pilpres 2014, dan seterusnya hingga saat ini. Wajah plural masyarakat Indonesia tidak secantik ketika Gus Dur masih hidup karena sistem demokrasi saat ini memberi kesempatan politik identitas tumbuh dan berkembang di negara yang rakyatnya sangat heterogen. Mau sampai kapan energi bangsa ini terkuras hanya untuk demokrasi yang penuh huru-hara?  Sebagai bangsa yang mayoritas muslim, mengapa tidak mencontoh demokrasi ala Rasulullah Saw yang mendidik orang menghargai ilmu dan kebijaksanaan, melalui musyawarah mufakat yang diwakili oleh tokoh-tokoh teladan ?

Kesimpulan

(1)   Pemilu secara langsung, meskipun dengan sistem proporsional terbuka di jaman teknologi informasi yang telah berkembang pesat, tidak menjamin pemilik hak suara mengenal tokoh yang dipilihnya.  Masyarakat terjebak pada situasi memilih kucing dalam karung, khususnya pada pemilihan DPR RI dan DPRD.

(2)   Pemilu secara langsung sangat mahal, tidak cocok untuk negara berpendapatan rendah-menengah dengan populasi sangat besar.

(3)   Pemilu secara langsung terbukti telah memecah belah masyarakat, padahal persatuan nasional adalah syarat mewujudkan tujuan negara.

(4)   Demokrasi NKRI yang sekarang sedang dijalani sangat membagongkan (membingungkan, palsu, mahal, tidak efisien, dan tidak efektif).

(5)   MPR RI, DPR RI, dan Presiden perlu merumuskan kembali cara NKRI berdemokrasi dengan memperhatikan rekomendasi para pendiri negara pada sila ke-4 Pancasila.

   

25 September 2024

MULTIKULTUR BETAWI DEPOK-INDONESIA

Indonesia memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda namun tetap bersatu.  Perbedaan itu meliputi perbedaan sosial seperti jenis pekerjaan, tingkat pendidikan, dan latar belakang agama; dan perbedaan budaya seperti suku, etnis, bahasa, makanan khas, bentuk rumah adat, pakaian, tarian, dan alat musik daerah. Pada tanggal 28 Oktober 1928 seluruh pemuda dari Indonesia berkumpul di Jakarta dan mengucapkan sumpah sebagai satu bangsa dan satu tanah air, serta menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia (Sumpah Pemuda).

Depok adalah salah satu kota di Indonesia yang secara administratif termasuk wilayah Provinsi Jawa Barat yang bercorak Sunda, namun secara kultural (sosial-budaya) lebih bercorak Betawi. Seperti halnya Indonesia pada umumnya, Depok yang bercorak Betawi pun memiliki keberagaman sosial-budaya (multikultur). Keberagaman sosial budaya di Depok meliputi agama, suku, ras, status sosial, busana, tata krama, profesi, tingkat pendidikan, latar belakang keluarga, dan lain-lain. Meski masyarakat Depok sangat heterogen, toleransi dalam masyarakat sangat tinggi. Populasi muslim Depok 90% lebih namun bisa dijumpai banyak gereja dan klenteng. Menelisik multikultural di Depok tidak lepas dari kultur dan spirit Betawi.

Betawi pada awalnya adalah nama daerah di sekitar Pelabuhan Kalapa, suatu kawasan niaga tua. Sejak dahulu pedagang dan musafir dari berbagai wilayah singgah dan sebagian menetap di Betawi. Masyarakat Betawi memiliki toleransi yang tinggi terhadap masyarakat pendatang dari berbagai daerah itu.  Meutia Hatta dalam makalah ilmiahnya tahun 1996 menulis bahwa suku Betawi hidup berdampingan dengan harmonis dengan penduduk pendatang dari Bugis, Jawa, Banten, Madura, Bali, Ambon, dan lain-lain. Meutia menulis pula bahwa orang Betawi bersikap dewasa dalam menyikapi perubahan, yaitu tidak memusuhi, dan selalu membaur.  Syuaib pada tahun 1996 melaporkan hasil penelitian pula bahwa 73% orang Betawi melakukan perkawinan antar ernik/antar suku. Orang Betawi juga memiliki sikap egaliter (menganggap semua orang sederajat), nampak dari kebebasan berbahasa  dan kebebasan berekspresi, namun tetap patuh dan hormat kepada orang tua.  

Alun-alun Barat Depok

Keberagaman di Depok sebetulnya adalah miniatur keberagaman nasional Indonesia. 

KEBERAGAMAN INDONESIA

Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki keragaman budaya, ras, suku bangsa, kepercayaan, agama, dan bahasa.  Sesuai semboyang Bhineka Tunggal Ika, maka meskipun memiliki keragaman budaya, Indonesia tetap satu.
Keragaman yang ada di Indonesia adalah kekayaan dan keindahan bangsa Indonesia. Untuk itu pemerintah akan terus mendorong keberagaman tersebut menjadi suatu kekuatan untuk bisa mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional menuju indonesia yang lebih baik.

Bentuk keberagaman di Indonesia
Indonesia adalah negara yang kaya, baik dari segi sumber daya alam maupun keberagamannya. Ada beberapa bentuk keberagaman di Indonesia, mulai dari keberagaman suku, keberagaman agama, keberagaman ras, dan juga keberagaman anggota golongan.

Keberagaman Suku
Indonesia adalah negara kepulauan. Dari geografis yang berbeda-beda tersebut, Indonesia memiliki banyak sekali suku. Suku bangsa atau yang disebut juga etnik dapat diartikan sebagai pengelompokan atau penggolongan orang-orang yang memiliki satu keturunan. Selain itu, kelompok suku bangsa ditandai dengan adanya kesamaan budaya, bahasa, agama, perilaku atau ciri-ciri biologis yang dimiliki.
Setiap suku bangsa mempunyai ciri atau karakter tersendiri, baik dalam aspek sosial maupun budaya. Indonesia memiliki lebih dari 300 kelompok suku, lebih tepatnya 1.340 suku bangsa. 

Keberagaman Agama
Indonesia adalah negara yang religius (beragama). Hal itu dibuktikan dalam sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Kebebasan dalam beragama dijamin dalam UUD Negara RI pasal 29 yang menyatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Di Indonesia ada enam agama yang diakui oleh negara. Agama-agama yang diakui oleh negara adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan juga Konghucu. Keenam agama harus hidup berdampingan di masyarakat dengan prinsip toleransi antarumat beragama.
Keberagaman Ras
Ras merupakan klasifikasi (pengelompokan)  untuk mengenal manusia melalui ciri  fisik dan asal usul daerahnya. Asal mula keberagaman ras di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor seperti singgahnya bangsa asing yang kemudian menetap di suatu daerah di Indonesia dan dan kondisi alam (geografis). 
Ada beberapa ras yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Ras Melayu yang berada di Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan, dan Sulawesi. Ras Melanesoid mendiami wilayah Papua, Maluku, dan juga Nusa Tenggara Timur.  Ras Mongoloid yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, yaitu seperti orang Tionghoa, Jepang, dan Korea. Ras Kaukasoid, yaitu orang-orang Australia, Eropa, dan Amerika. Ras Semit yaitu orang-orang dari jazirah Arab.

Keberagaman Golongan
Dalam masyarakat multikultural (multi = banyak; kultural = sosial budaya), keberagaman golongan bisa terjadi misalnya karena status sosial, pendidikan, jabatan, profesi atau pekerjaan, dan perbedaan pendapat.  Perbedaan pendapat dapat mengakibatkan perpecahan jika banyak yang merasa golongannya paling benar sehingga merendahkan anggota golongan lainnya. 

Toleransi dalam Keberagaman
Meskipun Indonesia adalah negara yang kaya akan perbedaan dan keberagaman, hal tersebut membuat Indonesia rentan terpecah-belah akibat perbedaan yang ada. Perpecahan di masyarakat bisa memicu konflik yang menimbulkan kerugian banyak pihak. Oleh karenanya, diperlukan sifat toleran dan juga tenggang rasa terhadap perbedaan dan kemajemukan di masyarakat. Sifat toleransi haruslah ditanamkan sejak dini supaya bisa menerima perbedaan yang ada.
Contoh perilaku toleransi seperti memberikan kesempatan kepada tetangga melakukan ibadahnya, tolong-menolong antarwarga ketika melaksanakan hari raya, dan tidak membeda-bedakan tetangga, dan menghargai perbedaan budaya yang ada.
Sikap dan perilaku toleransi terhadap keberagaman masyarakat merupakan kunci untuk meningkatkan persatuan dan kesatuan, serta mencegah proses perpecahan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia. Setiap individu hendaknya mengaplikasikan perilaku toleran terhadap keberagaman suku, agama, ras, budaya, dan antargolongan.


12 September 2024

MERDEKA BELAJAR

Oleh : Hamdan Arfani, SPt. MPd.

Kunjungan Fasilitator Kurikulum Merdeka, Dr.Rusdi, MSi di SMA BINTARA DEPOK

Merdeka Belajar adalah sebuah konsep belajar yang melayani anak sesuai karakter, bakat, dan minat sehingga tumbuh secara optimal. Merdeka Belajar memungkinkan peserta didik bisa belajar secara lebih mendalam dan tidak terburu-buru dalam proses pembelajaran; guru lebih leluasa untuk mengajar sesuai tahap capaian dan perkembangan peserta didik.  Merdeka Belajar memangkas hal-hal yang bersifat prosedural dan administratif yang dinilai menghambat efektivitas dan esensi pembelajaran.

Merdeka Belajar adalah sebuah program pendidikan yang berupaya mewujudkan kemerdekaan dalam belajar (merdeka dalam berpikir dan berekspresi). Merdeka belajar mengutamakan kemerdekaan berpikir guru sebagai syarat memunculkan kemerdekaan berpikir siswa dalam belajar (Kemendikbud 2006).  Merdeka Belajar bertujuan menggali potensi pendidik dan peserta didik serta meningkatkan kualitas pembelajaran secara mandiri.

Sehubungan dengan Merdeka Belajar, menindaklanjuti inovasi Kurikulum KTSP 2006 yang memberikan kemerdekaan kepada sekolah dan guru untuk mengembangkan kurikulum sendiri sesuai potensi daerahnya masing-masing dan gagasan tentang Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan (PAKEM), maka dalam rangka memperkuat inovasi kurikulum, pada tanggal 11 Februari 2022 Kemendikbudristek meluncurkan inovasi kurikulum yang diberi nama Kurikulum Merdeka.

Ada tiga keunggulan yang dijanjikan dalam kurikulum merdeka ini, yaitu;

  1. Fokus pada materi esensial agar ada pendalaman dan pengembangan kompetensi yang lebih bermakna dan menyenangkan,
  2. Kemerdekaan guru mengajar sesuai dengan tahap capaian dan perkembangan peserta didik dan,
  3. Pembelajaran melalui kegiatan proyek untuk pengembangan karakter dan kompetensi Profil Pelajar Pancasila melalui eksplorasi isu-isu aktual.

 

Beberapa hal penting menyangkut Kurikulum Merdeka, yaitu :

·         Pendekatan pembelajaran Merdeka Belajar lebih berpusat pada siswa (student-centered).

·         Strategi pembelajaran (kegiatan guru-murid) Merdeka Belajar berupa exposition-discovery learning dan group-individual learning.

·         Metode pembelajaran (cara guru mengimplementasikan rencana) Merdeka Belajar mengutamakan metode diskusi, brainstorming, debat, simposium dan sejanisnya dibandingkan metode ceramah.

·         Menekankan pada pemecahan masalah

Kurikulum Merdeka adalah kurikulum dengan pembelajaran intrakurikuler yang beragam dimana konten akan lebih optimal agar peserta didik memiliki cukup waktu untuk mendalami konsep dan menguatkan kompetensi.

 

11 September 2024

MATERIALISME, DIALEKTIKA, LOGIKA

Penulis : Hamdan Arfani, SPt. MPd.

Materialisme, Dialektika, dan Logika (Madilog) adalah sebuah judul buku yang ditulis Tan Malaka, seorang tokoh senior penyumbang pemikiran untuk Indonesia merdeka. Tan Malaka meyakini bahwa tujuan negara Republik Indonesia akan tercapai hanya jika melalui materialisme, dialektika, dan logika.  Apa yang diyakini Tan Malaka memancing orang untuk mencari tahu apa itu materialisme, dialektika, dan logika; apakah setelah memahaminya kita sepakat dengan pendapat Tan Malaka ?

Materialisme

Konsep materialisme Tan Malaka adalah materialisme dialektis, yakni berpikir rasional berdasarkan apa yang dapat dialami oleh panca indera dan menggunakan hukum dialektika untuk memahami perkembangan suatu materi. Memahami perkembangan suatu materi adalah proses intelektual yang menurut Karl Mark didahului oleh kondisi (kebutuhan) material kehidupan manusia. Kebutuhan material mendahului kesadaran.  Sampai disini materialisme tidak bertentangan dengan agama.  Materialisme menjadi kontra agama ketika materialisme meyakini bahwa materi sebagai satu-satunya keberadaan yang mutlak, menolak keberadaan apapun selain materi yang dapat dialami panca indera. Materialisme  menyatakan bahwa pada dasarnya segala hal terdiri atas materi, dan semua fenomena adalah hasil interaksi material, materi adalah satu-satunya substansi. 

Materialisme mendapat kritik dari eksistensialisme, bahwa manusia tidak bisa dipandang sebagai objek materi semata, karena manusia memiliki kompleksitas yang tak dapat diukur, misalnya saja ketika berhadapan dengan momen-momen eksistensial seperti pengambilan keputusan, kecemasan, takut, dan sebagainya.

Menurut Penulis, sebagian materialisme baik dalam kehidupan, tapi materialisme tidak dapat menjawab segala persoalan. Materialisme hanya mampu menjawab topik-topik empirik-rasional, padahal kehidupan tidak pernah serasional yang manusia pikirkan.

Dialektika

Dialektika berasal dari kata dialog, yang berarti komunikasi dua arah.  Dialektika adalah memperoleh pengetahuan yang lebih baik tentang suatu topik melalui pertukaran pandangan-pandangan dan argument-argumen yang rasional. Dalam kehidupan umum sehari-hari,  ngobrol pun menjadi sebuah momen dialektika ketika bertukar pandangan dengan argumen yang rasional dan sesuai fakta.  Dialektika adalah proses belajar, mencerdaskan pikiran, selama rasional dan sesuai fakta, bukan hoax. Lebih jauh, dialektika adalah cara menalar dan menganalisis yang melibatkan rekonsiliasi ide atau perspektif yang berbeda bahkan berlawanan.   Hegel berpendapat bahwa dalam dialektika ada tesis, antitesis, dan sintesis. Menurut Tan Malaka, dialektika mengandung 4 hal, yakni waktu, pertentangan, timbal-balik, dan pertalian. 

Dalam budaya barat, dialektika terwujud sebagai debat dimana pikiran sebagai satu-satunya  panglima, menyampingkan faktor perasaan dan sopan-santun tata  bicara.   Dalam budaya timur, dialektika bisa muncul dalam wujud yang sangat lunak (ngobrol atau sharing) tanpa kehilangan ketajamannya. 

Dialektika sejatinya adalah proses belajar alamiah tanpa henti sepanjang hayat.  Bangsa Indonesia adalah bangsa yang gemar bercakap-cakap, gemar berkumpul bersilaturahmi, maka mewujudkan dialektika dan menjadikannya budaya hanya tinggal satu langkah lagi menjadi bangsa yang paling cerdas, yaitu membiasakan berkata sesuai fakta (premis yang benar).

Logika

Logika adalah perangkat kecakapan untuk berpikir lurus, tepat, dan teratur.     Dasar-dasar dari logika adalah penalaran deduktif dan penalaran induktif. Baik deduktif maupun induktif, penalaran harus berangkat dari premis yang benar (pernyataan atau asumsi yang benar). Fakta adalah contoh premis yang benar. Premis yang ambigu dapat menjebak, berakhir pada kesimpulan yang salah. Premis yang ambigu sering muncul dari asumsi. Ketajaman logika dengan demikian sangat dipengaruhi validitas dan reliabilitas informasi.

Tan Malaka dalam buku Madilog, menulis bahwa bangsa Indonesia selain memiliki logika yang berlaku umum, memiliki pula logika mistis dan dogmatis, yang bagi Tan Malaka menghambat perkembangan berpikir bangsa. Logika mistika dan dogmatika bagi Tan Malaka yang materialis tentu dianggap berasal dari premis yang ambigu bahkan salah, wallahu’alam.


Kesimpulan

Tan Malaka dalam buku Madilog mengajarkan materialisme, dialektika, dan logika sebagai dasar membangun pikiran bangsa.

Materialisme sangat kontroversial karena tidak selaras dengan alam pikiran bangsa Indonesia yang spiritualis, bahkan mendapat kritik pula dari kelompok eksistensialis.

Dialektika Tan Malaka sejatinya adalah proses belajar alamaiah manusia. Bangsa Indonesia sebagai bangsa gotong-royong yang sarat momen-momen berkumpul hanya tinggal selangkah untuk proses dialektika, dihambat hanya oleh satu hal saja yaitu hoax dan sejenisnya. Bangsa yang berdialektika akan menjadi bangsa yang cerdas. 

Tan Malaka menulis, ada 2 logika bangsa Indonesia yang menghambat kemajuan berpikir, yaitu logika magis dan logika dogma.  Sebagai seorang muslim, penulis meyakini bahwa satu-satunya magis dan dogma yang pasti memberikan premis benar hanyalah magis dan dogma Islam, yang dalam sains modern telah banyak terkonfirmasi kebenarannya (al Quran). Sebagai bangsa yang mayoritas muslim, kaum muslimin Indonesia harus memilah mana mistis dan dogma yang kuat dasar pijakannya, dan mana yang tidak. 


25 Februari 2024

LIBERALISASI DEMOKRASI PANCASILA

(Bagian 1 dari tulisan berjudul Oposisi dalam Demoktrasi Pancasila)


Sejak pemilu 2014 dan puncaknya pemilu 2024, kata oposisi sering disematkan kepada kelompok yang kalah dalam kontestasi, kelompok pengkritik, bahkan pembenci pemerintah.  Oposisi disebut-sebut sebagai kekuatan penyeimbang /pengontrol kepentingan dan kebijakan yang diambil pemerintah, mencegah monopoli kekuasaan, membangun sistem kontrol masyarakat, dan memdorong demokrasi yang terbuka.  Oposisi diyakini sebagai kelompok yang harus ada dalam politik di Indionesia. Benarkah ?

Demokrasi Pancasila dalam Musyawarah Gerakan Pramuka di SMA 1 Budi Utomo Jakarta

Pada 10 November 2001 disahkan Pasal 6 UUD Negara Republik Indonesia (hasil amandemen UUD 45) tentang pemilihan Presiden secara langsung dan tidak lagi melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), maka sejak 2001 sebenarnya, negara Indonesia meninggalkan demokrasi Pancasila beralih pada demokrasi liberal.  Setelah pasal 6 UUD Negara Republik Indonesia hasil amandemen tahun 2001 dilaksanakan, di luar dugaan, partisipasi langsung rakyat dalam pemilihan presiden telah membelah masyarakat menjadi dua kelompok besar, yaitu kelompok pengusung presiden terpilih dan kelompok pengusung pasangan yang kalah. Meminjam istilah dalam demokrasi liberal, kelompok pengusung pasangan yang kalah “menamakan dirinya” sebagai oposisi.

Kata oposisi berasal dari opposition (Inggris) atau opponere (Latin) yang  berarti menentang, menolak, atau melawan.  Dalam politik, oposisi  berarti partai atau gabungan partai sebagai penentang dan pengkritik pendapat dan kebijakan dari kelompok eksekutif yang sedang berkuasa.  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, oposisi adalah partai yang menentang dan mengkritik di dewan perwakilan (DPR/DPRD) atas kebijakan politik dari golongan yang sedang berkuasa.  Berdasar hal ini, dengan demikian oposisi hanya berada dalam tatanan dewan perwakilan rakyat yang menjadi penentu kebijakan, pembuat aturan atau undang-undang, bukan dalam tatanan kehidupan seharai-hari antara rakyat dengan pemerintah eksekutif yang hanya sebagai pelaksana (eksekutor) dari kebijakan yang dibuat dewan legislatif.

Sepakat dengan Marsudi dan Rohmah dalam Peran Partai Oposisi dalam Sistem Ketatanegaraan Konvensional dan Islam (Jurnal UIN Vol.10 No.2 tahun 2023), bahwa dalam demokrasi Islam, peran partai oposisi adalah sebagai loyal oposisi atau sebagai pendukung pemerintah yang kritis. Artinya, tidak ada oposisi, yang ada adalah pendukung yang kritis, sebagaimana dipahami dalam Islam bahwa manusia adalah tempatnya khilaf yang mesti selalu dikritisi, namun juga ukhuwah yang kuat (persaudaraan, persatuan) menjadi ciri utama masyarakat yang sehat dan syarat mutlak untuk terwujudnya tujuan bernegara.

Pemilihan presiden - bupati  secara langsung dan tekanan kelompok tertentu untuk adanya oposisi  dalam parlemen namun merembes dalam sikap dan perilaku masyarakat sehari-hari kepada pemerintah adalah kenyataan bahwa demokrasi  Indonesia sedang berjalan menuju demokrasi yang liberal.  Demokrasi liberal tidak cocok di Indonesia, alih-alih menjadi negara yang lebih demokratis, demokrasi yang liberal malah memecah-belah masyarakat dengan identitasnya masing-masing.  Bangsa Indonesia yang religius perlahan sedang meninggalkan demokrasi Pancasila  musyawarah-mufakat yang sudah menjadi budaya bangsa sejak dahulu. 

Saya dan rekan-rekan guru adalah pihak yang paling layak disalahkan atas liberalisasi demokrasi Pancasila sekarang ini, kami adalah oknum yang memberi pendidikan salah tentang demokrasi, lihat saja dalam tata cara pemilihan ketua kelas dan pemilihan ketua OSIS di sekolah, dimana musyawarah-mufakatnya ?

(HamdanA Batarawangsa)

 

18 Februari 2024

SEKILAS SEJARAH DEPOK

Secara administratif, Depok berada di wilayah Jawa Barat yang bersuku Sunda, namun secara kultural, Depok lebih bernuansa Betawi. Masyarakat Depok umumnya lebih nyaman disebut orang Betawi ketimbang orang Sunda. Kultur Betawi di Depok tidak lepas dari sejarah masa lalunya.

Pada peta yang dibuat Belanda sebelum abad ke-19, Depok berada dalam suatu wilayah yang bernama Mister (Meester) Cornelis yang terbentang mulai perbatasan Depok-Cibinong di selatan hingga sebagian Jakarta Pusat danTimur di utara.  Mister Cornelis Chastelein adalah mantan petinggi VOC yang kemudian menjadi  tuan tanah kaya raya yang dijadikan nama wilayah di jaman Belanda.  Bekas rumah Mister Cornelis masih ada hingga sekarang, berada di daerah Jati Negara, tidak jauh dari stasiun kereta api. Daerah Weltevreden atau Lapangan Banteng di Sawah Besar termasuk dalam aset milik Mister Cornelis 


Sedangkan nama Depok kemungkinan sudah di kenal sejak masuknya pengaruh Banten dan Demak pada sekitar tahun 1527-an, yakni pada masa kemelut perang kerajaan Banten-Demak yang bercorak Islam dan Kerajaan Sunda (ibukotanya bernama Pakwan Pajajaran) yang bercorak Sunda Wiwitan (pewaris ajaran Siksakanda Ng Karesian yang diajarkan Penguasa Galunggung, Batari Hyang)   Nama Depok sendiri ternyata tidak hanya ada satu, nama Depok terdapat pula di daerah Sumedang, Cirebon, Sleman, bahkan Nusa Tenggara Barat. Umumnya, nama Depok dikaitkan dengan tempat yang dulunya pernah menjadi tempat persinggahan dan sekolah tradisional (padepokan).  RM Jonathan (1998) menulis dalam Sejarah Singkat Masyarakat Kristen Depok pada halaman 5 alinea 4, bahwa nama Depok sudah ada sebelum tanah wilayah itu dibeli oleh Cornelis Chastelein tahun 1696. Hal yang sama dikatakan pula dalam laporan seorang pejabat Belanda, Abraham van Riebeek tahun 1703, bahwa ia melewati suatu kawasan yang telah lama dikenal bernama Depok yang letaknya antara Pondok Cina dan Pondok Terong.

Meski nama Depok sudah ada sebelum jaman tuan tanah Belanda, namun belum dapat dipastikan sejauh mana wilayah yang bernama Depok waktu itu. Beberapa sumber menyebutkan, kemungkinan yang disebut Depok pada abad ke-16 itu meliputi yang sekarang menjadi Jalan Siliwangi, yang ke arah timur berbatasan dengan kali Ciliwung, sedangkan ke barat berbatasan dengan Jalan Kartini dan Margonda, ke utara berbatasan dengan Kampung Mangga atau Parung Malela, dan ke selatan berbatasan dengan Parung Balimbing (Pancoran Mas). Adapun bagian barat Depok (ke arah Parung) dahulunya termasuk wilayah kabupaten Bogor.

Depok hingga abad ke-16 atau sebelum masuknya pengaruh Banten, termasuk wilayah Kerajaan Muara Beres, yang pusatnya ada di Desa Sukahati dan Desa Karadenan. Kerajaan Muara Beres adalah kerajaan bawahan dari kerajaan Sunda (Pakwan Pajajaran).

Pada abad ke-16, Banten-Demak melakukan ekspansi ke wilayah Pakwan Pajajaran (Bogor Kota), dan mendirikan markas pertahanan di Depok. Konon, untuk menembus benteng Pajajaran di Muara Beres, Banten-Demak memerlukan waktu puluhan tahun.

Pada saat itulah bermunculan kampung-kampung Banten-Demak yang bercorak Islam, misalnya Beji, Pondok Terong, Kedung Waringin, Rawa Denok, Rawa Geni, Mampang, Kukusan, Sawangan, dan Depok.

Adapun kampung-kampung yang sudah ada sebelum masuknya pengaruh Banten bahkan yang sudah ada sejak zaman Tarumanagara adalah Citayam, Parung Bingung, Parung Balimbing, Parung Serab, Bojong Jati, Parung Malela, Kampung Mangga, Cikumpa, Cimanggis, Cinere, Karang Anyar (sekarang wilayah Sengon dan Jemblongan), Pabuaran, dan Susukan.

Penulis : HamdanA Batarawangsa



10 Januari 2024

MATINYA DEMOKRASI PANCASILA

Mungkin gara-gara kesalahan kita, para guru, yang  gegabah dalam mengajarkan demokrasi di kelas.  Meski Sila ke-4 Pancasila beratus-beribu kali diucapkan dalam upacara, kita tidak juga memahami bahwa demokrasi Pancasila adalah demokrasi musyawarah-mufakat yang diwakilkan oleh orang-orang yang dikepala dan batinnya ada hikmah kebijaksanaan.  Dengan gegabah kita mengajarkan demokrasi liberal di kelas dalam pemilihan Ketua Kelas, begitu juga dalam pemilihan Ketua OSIS. Tidak ada sama sekali kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Semua mempraktikan “pemilihan langsung”, demokrasi liberal ala barat.

Demokrasi liberal sekilas kelihatan bagus : kesetaraan harkat martabat. Namun berarti juga menyetarakan yang awam dan yang paham dalam pengambilan keputusan politik, berarti juga memberi keleluasaan kaum borjuis memperdaya kaum awam untuk melawan kaum paham yang tidak sepaham.  Demokrasi  liberal dengan demikian memberi tempat bagi kaum kapitalis untuk menjadi “pemain utama” dalam politik, dan memang demikianlah yang telah terjadi hari ini di Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dst. Demokrasi seperti ini ditentang oleh kaum sosialis, marxis, dan komunis.  Demokrasi Pancasila adalah demokrasi moderat, tidak liberal dan tidak sosialis, tapi irisan dari keduanya.

Pada 14 Februari 2024 KPU akan menyelenggarakan pemilu serentak untuk legislatif DPD, DPRD Kota, DPRD Provinsi, DPR RI dan Pemilihan Presiden- Wakil Presiden. Anggaran pemilu 2024 adalah Rp.76,6 trilyun, kata Hasyim Asy’ari, Ketua KPU RI.  Anggaran pemilu Indonesia demikian besar karena jumlah pemilih yang banyak dan sistem pemilu dilaksanakan secara langsung.  Bandingkan dengan Malaysia yang hanya Rp.3,6 trilyun (2023).

Berdasar Pasal 6A UUD Negara  Republik Indonesia, Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh rakyat secara langsung.  Sebelum  amandemen UUD45 tanggal 10 November 2001, Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).  Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah Presiden pertama RI yang terpilih melalui pemilu secara langsung.

Dalam forum Rakernas ICMI (2016), Jusuf Kalla yang waktu itu menjabat Wakil Presiden, mengatakan bahwa efek negatif pemilihan secara langsung (pilpres-pilkada) bisa lebih berbahaya daripada korupsi. Pemilu secara langsung menuntut modal besar, akibatnya calon terpilih berusaha menggaet banyak investor yang pada akhirnya terjadi  “kompromi bayar jasa” antara pejabat dan pebisnis.

Dari sisi lain, melihat pilpres 2014 dan 2019, Pilkada DKI 2018, dan Pilkada di daerah lain, Pemilihan Umum (pemilu) secara langsung ternyata andil dalam memperlemah persatuan bangsa.  Pemilu langsung menimbulkan pergesekan dalam masyarakat dan konflik sosial yang negatif. Meski pemilu telah berlalu, sentimen kebencian masih ada, masyarakat masih terkotak-kotak dalam fraksinya masing-masing. Padahal PERSATUAN INDONESIA adalah syarat paling esensial dan epistemologi (cara mencapai tujuan) di negara bhineka kita ini, apalagi menyongsong era "generasi emas" 2045 yang dengan optimis disebut juga "surplus demografi" yang tidak lain adalah kondisi dimana prosentase pemuda melebihi kaum tua dan anak-anak. 

Kaum muda produktif  butuh lapangan kerja atau bekal agar bisa berwirausaha. Energi pemuda yang besar bisa menjadi berkah namun bisa juga menjadi masalah jika tidak tersalurkan secara positif. Konflik sosial, kerusuhan, penjarahan, demonstrasi frustrasi, dan perang sipil bisa saja terjadi sekitar tahun 2045. 

Dalam pandangan sinis, saya menganggap  pemilu langsung adalah cara sistematis memecah persatuan nasional, demokrasi Pancasila musyawarah-mufakat sudah mati (?)

(Penulis :HamdanA Batarawangsa, MPd.)