Ketika rasio mencapai puncak eksistensi dalam pencarian kebenaran, maka puncak eksistensi itu hanyalah awal dari perjalanan baru spiritual.
Seorang pemuda
19-20 tahunan tiba-tiba punya banyak waktu luang untuk membaca buku apa saja
yang disukai, diskusi tentang banyak hal, dan merenungi dirinya sendiri setiap
hari, suatu kemewahan hidup yang sudah lama diimpikan. Ternyata masa kuliah
tidak lebih sibuk  daripada masa-masanya
di SMA.  
Hingga disatu pagi
yang cerah jiwanya terbangun dan merasa perlu membenahi mentalnya  yang palsu, yang sejak bayi tak berdaya menerima
dan ditempeli berbagai imaji dari lingkungan. 
Sudah tiba masanya ia hidup dengan imaji orisinil diri sendiri… sesuatu
yang bahkan tidak terpikirkan kebanyakan orang, namun ia merasa harus
melaluinya. Pagi itu ia merasa benar-benar “ada” karena baru saja mulai berpikir.
Usia 19-20 tahun mempertanyakan banyak hal yang sebelumnya sudah mapan, tiba-tiba dibongkar kembali: aku ini apa, apakah makna dan hal terpenting dari keberadaan, apakah kehidupan itu, apakah Tuhan itu benar ada, apa pentingnya etika, dst. Pertanyaan yang sulit dicarikan lawan diskusinya. Ini adalah revolusi mental yang akan berlangsung lama ...
Keberadaannya
tidak terbantahkan, namun wujud eksistensi, semua hanyalah persepsi. “Tidak ada
kamu, tidak ada apapun, yang ada hanya aku seorang. Kamu ada, segala ada, hanyalah
karena aku berpersepsi demikian. Tapi aku terpenjara bahkan terjebak oleh imaji lama
berikut sistem logikanya. Aku seperti orang yang sedang bermimpi, dan dalam
mimpi itu aku sadar bahwa aku sedang bermimpi.”
Setelah selesai dengan dirinya sendiri, pemuda 19-20an tahun itu merancang kembali keyakinannya tentang Tuhan. Pikiran agnostiknya sadar bahwa esensi Tuhan tak terjangkau pikiran rasio, maka rasio menekuni jejak-jejak dan isyarat keberadaanNya hanya yang dalam jangkauannya saja melalui konfirmasi antara agama dan sains.
“Seiring waktu akhirnya
aku menyadari bahwa aku tidak benar-benar sendirian. Ada Dia yang pengetahuan,
pengalaman, dan kuasaNya amat sangat mengendalikan.  Sangat jelas bahwa aku adalah pihak  yang benar-benar tak berdaya.”
“Aku ingin
mengenalNya, Ia pun nampaknya ingin dikenal. Bagaimana mungkin orang kesepian
sepertiku tak menoleh dan mendekat ketika tahu ada Satu-satunya Keberadaan Yang Lain…”        
(Penulis : Hamdan A. Batarawangsa, MPd.)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar pada space yang tersedia. Komentar akan muncul setelah disetujui Admin.