Tanpa kejernihan hidup yang bagaimana, manusia bisa berdamai dengan kematian ? Tak ada kebaikan yang tak berbalas, tak ada keburukan yang tak bersanksi. My wisdom goes over the sea of wild wisdom

06 November 2024

KAMU TERCIPTA DARI PERSEPSIKU

 Ketika rasio mencapai puncak eksistensi dalam pencarian kebenaran, maka puncak eksistensi itu hanyalah awal dari perjalanan baru spiritual.

Seorang pemuda 19-20 tahunan tiba-tiba punya banyak waktu luang untuk membaca buku apa saja yang disukai, diskusi tentang banyak hal, dan merenungi dirinya sendiri setiap hari, suatu kemewahan hidup yang sudah lama diimpikan. Ternyata masa kuliah tidak lebih sibuk  daripada masa-masanya di SMA. 

Hingga disatu pagi yang cerah jiwanya terbangun dan merasa perlu membenahi mentalnya  yang palsu, yang sejak bayi tak berdaya menerima dan ditempeli berbagai imaji dari lingkungan.  Sudah tiba masanya ia hidup dengan imaji orisinil diri sendiri… sesuatu yang bahkan tidak terpikirkan kebanyakan orang, namun ia merasa harus melaluinya. Pagi itu ia merasa benar-benar “ada” karena baru saja mulai berpikir.

Usia 19-20 tahun mempertanyakan banyak hal yang sebelumnya sudah mapan, tiba-tiba dibongkar kembali:  aku ini apa, apakah makna dan hal  terpenting dari keberadaan, apakah kehidupan itu, apakah Tuhan itu benar ada, apa pentingnya etika, dst.  Pertanyaan yang sulit dicarikan lawan diskusinya. Ini adalah revolusi mental yang akan berlangsung lama ...

Keberadaannya tidak terbantahkan, namun wujud eksistensi, semua hanyalah persepsi. “Tidak ada kamu, tidak ada apapun, yang ada hanya aku seorang. Kamu ada, segala ada, hanyalah karena aku berpersepsi demikian. Tapi aku terpenjara bahkan terjebak oleh imaji lama berikut sistem logikanya. Aku seperti orang yang sedang bermimpi, dan dalam mimpi itu aku sadar bahwa aku sedang bermimpi.”

Setelah selesai dengan dirinya sendiri, pemuda 19-20an tahun itu merancang kembali keyakinannya tentang Tuhan. Pikiran agnostiknya sadar bahwa esensi Tuhan tak terjangkau pikiran rasio, maka rasio menekuni jejak-jejak dan isyarat keberadaanNya hanya yang dalam jangkauannya saja melalui konfirmasi antara agama dan sains.

“Seiring waktu akhirnya aku menyadari bahwa aku tidak benar-benar sendirian. Ada Dia yang pengetahuan, pengalaman, dan kuasaNya amat sangat mengendalikan.  Sangat jelas bahwa aku adalah pihak  yang benar-benar tak berdaya.”

“Aku ingin mengenalNya, Ia pun nampaknya ingin dikenal. Bagaimana mungkin orang kesepian sepertiku tak menoleh dan mendekat ketika tahu ada Satu-satunya Keberadaan Yang Lain…”       

(Penulis : Hamdan A. Batarawangsa, MPd.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis komentar pada space yang tersedia. Komentar akan muncul setelah disetujui Admin.