Tidak ada yang benar-benar ateis, tidak ada yang benar-benar agnostic, minimal mereka menuhankan dirinya sendiri. Ada yang bertuhankan uang, bos, tokoh, dan agama (bukan Tuhan itu sendiri). Kaum ateis dan agnostik puas dengan tuhannya yang real atau tuhan tak real yaitu pikirannya sendiri. Tuhan mereka sangat berbeda dengan kaum teis, terutama muslim. Namun bagi yang mengaku ber-Tuhan pun tidak mudah untuk selalu ingat bahwa tidak ada tuhan (dengan t kecil) selain Tuhan (dengan T besar), kadang terjebak juga menyembah tuhan-tuhan yang bukan Tuhan.
Ibrahim (Islam), Abraham (Kristen), Afram (Yahudi),
dan Brahm (Hindi) mungkin adalah individu historis yang sama, sebagai manusia
pertama yang betul-betul mencari Tuhan. Tidak seperti kaum agnostic yang
menyerah dan tak peduli dengan yang abstrak, Ibrahim justru tidak puas dengan
tuhan yang kasat mata. Ibrahim sudah melalui tahapan ateis dan agnostic,
sebelum menyadari fakta berlakunya hukum rimba dimana yang kuat akan
dipertuhankan oleh yang lemah dan merasa amat penting mengetahui siapa yang
berada di puncak “piramida ketuhanan” itu. 
Ketika mengetahui bahwa tuhan di puncak piramida empiris masih pula
tunduk oleh suatu yang lain, Ibrahim akhirnya sampai pada logika bahwa Tuhan
mestilah melampaui semua yang empirik. Ibrahim pada tahap ini telah sampai pada
puncak eksistensi dalam pencarian kebenaran rasional, tidak bisa mendaki lebih
tinggi lagi, selebihnya adalah wilayah yang tak terjangkau nalar. 
Puncak eksistensi pencarian kebenaran rasio ternyata
adalah awal perjalanan baru spiritual. Berkat perjalanan spiritualnya yang
gigih, Ibrahim dengan bekal  logika “Tuhan
Yang Melampaui Empirisme” sampailah pada puncak makrifatullah-nya, yaitu pengalaman
dan pengetahuannya tentang Tuhan Yang Maha Tinggi, Rabbi al a’la.
Kisah dan ajaran Ibrahim yang lahir dan besar di
Babilonia (Bab El = Gerbang Tuhan), wilayah yang disebut sebagai negerinya
bangsa Arian (bangsa terunggul) atau sekarang menjadi negara Irak-Iran, yang
merupakan pusat peradaban dunia kala itu, disebut-sebut menyebar ke berbagai
belahan dunia sebagai moyang dari semua agama-agama besar sekarang ini. Tidak
heran ada saja  benang merah berbagai
agama-agama besar itu, misalnya pengakuan Yati Narsinghanand, seorang resi terkemuka
di kuil Dasna Ghaziabad India, bahwa Ka’bah tak lain adalah Kuil Mahadeva dan
Zam-zam sebagai Gangga Mahadeva yang sebenarnya. 
Piramida Tuhan adalah konsep kuno yang sudah ada sejak dulu dan masih relevan hingga sekarang, sebagai logika umum bahwa yang lemah akan tunduk-takluk kepada yang kuat, ada raja dan maharaja, dan seterusnya. Kegigihan Ibrahim dalam mengerahkan daya rasio dan spiritualnya adalah inspirasi dalam upaya manusia menggapai keingintahuannya. Kini di abad ke-21 manusia dimanjakan dengan teknologi informasi, cara konfirmasi antara literatur agama dan sains bisa menjadi cara lain disamping konsep Piramida Tuhan-nya Ibrahim yang hidup ribuan tahun lalu. Jangan berhenti dan mati dalam ateis dan agnostik, teruslah bergerak seperti Ibrahim.
(Penulis HamdanA Batarawangsa)
.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar pada space yang tersedia. Komentar akan muncul setelah disetujui Admin.