Mungkin gara-gara kesalahan kita, para guru, yang gegabah dalam mengajarkan demokrasi di kelas. Meski Sila ke-4 Pancasila beratus-beribu kali diucapkan dalam upacara, kita tidak juga memahami bahwa demokrasi Pancasila adalah demokrasi musyawarah-mufakat yang diwakilkan oleh orang-orang yang dikepala dan batinnya ada hikmah kebijaksanaan. Dengan gegabah kita mengajarkan demokrasi liberal di kelas dalam pemilihan Ketua Kelas, begitu juga dalam pemilihan Ketua OSIS. Tidak ada sama sekali kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Semua mempraktikan “pemilihan langsung”, demokrasi liberal ala barat.
Demokrasi liberal
sekilas kelihatan bagus : kesetaraan harkat martabat. Namun berarti juga
menyetarakan yang awam dan yang paham dalam pengambilan keputusan politik,
berarti juga memberi keleluasaan kaum borjuis memperdaya kaum awam untuk
melawan kaum paham yang tidak sepaham. 
Demokrasi  liberal dengan demikian
memberi tempat bagi kaum kapitalis untuk menjadi “pemain utama” dalam politik,
dan memang demikianlah yang telah terjadi hari ini di Amerika Serikat, Inggris,
Perancis, dst. Demokrasi seperti ini ditentang oleh kaum sosialis, marxis, dan
komunis.  Demokrasi Pancasila adalah
demokrasi moderat, tidak liberal dan tidak sosialis, tapi irisan dari keduanya.
Pada 14 Februari 2024
KPU akan menyelenggarakan pemilu serentak untuk legislatif DPD, DPRD Kota, DPRD
Provinsi, DPR RI dan Pemilihan Presiden- Wakil Presiden. Anggaran pemilu 2024 adalah Rp.76,6 trilyun, kata
Hasyim Asy’ari, Ketua KPU RI.  Anggaran
pemilu Indonesia demikian besar karena jumlah pemilih yang banyak dan sistem
pemilu dilaksanakan secara langsung.  Bandingkan
dengan Malaysia yang hanya Rp.3,6 trilyun (2023).
Berdasar Pasal 6A UUD Negara  Republik Indonesia, Presiden dan Wakil
Presiden dipilih oleh rakyat secara langsung. 
Sebelum  amandemen UUD45 tanggal
10 November 2001, Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR).  Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) adalah Presiden pertama RI yang terpilih melalui pemilu
secara langsung.
Dalam forum Rakernas
ICMI (2016), Jusuf Kalla yang waktu itu menjabat Wakil Presiden, mengatakan
bahwa efek negatif pemilihan secara langsung (pilpres-pilkada) bisa lebih
berbahaya daripada korupsi. Pemilu secara langsung menuntut modal besar,
akibatnya calon terpilih berusaha menggaet banyak investor yang pada akhirnya
terjadi  “kompromi bayar jasa” antara
pejabat dan pebisnis.
Dari sisi lain, melihat pilpres 2014 dan 2019, Pilkada DKI 2018, dan Pilkada di daerah lain, Pemilihan Umum (pemilu) secara langsung ternyata andil dalam memperlemah persatuan bangsa. Pemilu langsung menimbulkan pergesekan dalam masyarakat dan konflik sosial yang negatif. Meski pemilu telah berlalu, sentimen kebencian masih ada, masyarakat masih terkotak-kotak dalam fraksinya masing-masing. Padahal PERSATUAN INDONESIA adalah syarat paling esensial dan epistemologi (cara mencapai tujuan) di negara bhineka kita ini, apalagi menyongsong era "generasi emas" 2045 yang dengan optimis disebut juga "surplus demografi" yang tidak lain adalah kondisi dimana prosentase pemuda melebihi kaum tua dan anak-anak.
Kaum muda produktif  butuh lapangan kerja atau bekal agar bisa berwirausaha. Energi pemuda yang besar bisa menjadi berkah namun bisa juga menjadi masalah jika tidak tersalurkan secara positif. Konflik sosial, kerusuhan, penjarahan, demonstrasi frustrasi, dan perang sipil bisa saja terjadi sekitar tahun 2045. 
Dalam pandangan sinis, saya menganggap pemilu langsung adalah cara sistematis memecah persatuan nasional, demokrasi Pancasila musyawarah-mufakat sudah mati (?)
(Penulis :HamdanA Batarawangsa, MPd.)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar pada space yang tersedia. Komentar akan muncul setelah disetujui Admin.