Ketika berusia 20-an tahun, saya pernah menapaki kurun masa yang terasa sangat pahit. Teman-teman sesama mahasiswa berjuang untuk berilmu, tapi saya berjuang hanya untuk sekedar hidup.
Suatu malam, ketika
orang-orang tertidur dipuncak lelapnya, saya masih duduk di meja belajar,
pikiran dan perasaan bergemuruh seperti sedang berada di tengah badai guntur. Entah
sudah berapa lama, di puncak lelahnya batin, tiba-tiba saya ingin membuka
Quran. Secara acak saja saya membuka dan membaca seuntaian kalimat yang
sebetulnya sudah berkali-kali saya baca, kurang lebih : “Orang yang
beruntung itu ialah orang yang melewati malam dengan berdiri dan sujud.”  Saya mengulang-ulang membacanya pelan-pelan
seolah tidak percaya.  Selama ini, saya
memahaminya sebagai nasehat untuk melakukan shalat malam, tapi kali ini
lain.  Seuntai kalimat tersebut
betul-betul terasa berbicara kepada saya, menasehati saya bahwa jika ingin
beruntung, maka saat bersedih atau galau dimana pikiran terasa gelap (malam),
maka saya harus melewatinya dengan tegar (berdiri) dan berprasangka baik
memasrahkan diri  kepada Allah (sujud). 
______
Bahasa Quran kaya makna,
bisa bersifat umum bisa juga privat. Setiap tingkatan ilmu, setiap tingkatan
ujian, perbedaan pengalaman, perbedaan persoalan, perbedaan suasana hati…
masing-masing menangkap pesan yang mungkin tidak sama. Bahasa Quran adalah
prosa dan puisi sekaligus.
Begawan sastra
Indonesia, HB.Jassin, sebagai seorang sastrawan sekaligus cendekiawan muslim,
pernah menyusun terjemahan Quran dalam bentuk puitis. Baginya, terjemahan
biasa, jauh dari memadai untuk mengimbangi keindahan firman-firman Tuhan.  Bentuk puitis mewakili pesan yang ingin
Jassin sampaikan bahwa setiap kata dalam Quran mengandung makna yang bertingkat-tingkat,
yang memotivasi manusia untuk terus menggali sepanjang hayatnya. Dalam upaya
menangkap makna-makna Quran yang kaya itulah sastra dibutuhkan untuk melatih
kepekaan bahasa, melatih memperhalus “cita-rasa” bahasa.
Hal serupa disampaikan pula oleh cendekiawan muslim lainnya, Nurcholish Madjid, alumnus Pesantren Gontor yang pernah menjadi ketua HMI dan menyelesaikan doktornya di Universitas Chicago. Menurut Cak Nur (panggilan Nurcholish Madjid), kata-kata dalam Quran mengandung makna kias yang kaya dan dalam maknanya. Kata mendung adalah kias dari pikiran dan perasaan yang sedih namun penuh harap, kata hujan adalah kias rahmat terkabulnya harapan dan petunjuk, frasa aliran sungai adalah kias dari aliran pemikiran, kata buah adalah kias dari hikmah atau pengetahuan, frasa lumpur hitam adalah kias dari kehinaan, kata matahari adalah kias petunjuk atau ilmu pengetahuan, frasa matahari tenggelam adalah kias dari kebodohan, frasa matahari tenggelam ke dalam lumpur yang hitam adalah kias kebodohan dan kebiadaban, kata petang adalah kias pendeknya waktu, kata pagi adalah kias semangat dan optimisme, kata gunung adalah kias pemimpin, dan lain-lain.
HB Jassin meyakini sastra melatih kepekaan bahasa, kepekaan bahasa menambah kenikmatan dalam membaca firman-firman Tuhan. Pada ujungnya, sastra memang memiliki tujuan etis bahkan spirituil yang mengarahkan manusia untuk insyaf dan menjalani kehidupan yang lebih baik.
Membaca Qur'an dengan kepekaan bahasa barangkali menjadi pengalaman pula bagi Williandrus Surendra Rendra (WS Rendra), pujangga muslim Indonesia  yang dijuluki Sang Burung Merak, yang pada paruh akhir kiprah kesusastraannya  banyak mengambil inspirasi dari kitab suci, mendapatkan pencerahan dan banyak  menulis pesan moral dalam puisi-puisinya, mengingatkan semua orang bahwa manusia adalah makhluk lemah yang tidak abadi  "... tanpa kejernihan hidup yang bagaimana, manusia bisa berdamai dengan kematian ?"
*HamdanA Batarawangsa

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar pada space yang tersedia. Komentar akan muncul setelah disetujui Admin.