Tanpa kejernihan hidup yang bagaimana, manusia bisa berdamai dengan kematian ? Tak ada kebaikan yang tak berbalas, tak ada keburukan yang tak bersanksi. My wisdom goes over the sea of wild wisdom

27 September 2024

DEMOKRASI INDONESIA MEMBAGONGKAN

Penulis : Hamdan Arfani, SPt. MPd.

Hidup di negara merdeka adalah hidup tanpa diskriminasi dan untuk itu bangsa Indonesia telah mengorbankan apa saja. Ketika dibacakan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, hari itu disambut gegap gempita karena rakyat merasa benar-benar menjadi manusia seutuhnya. Kemiskinan dan kebodohan tidak menghilangkan kemanusiaan, diskriminasilah yang membuat orang merasa kehilangan kemanusiaannya. Kekayaan dan kecerdasan pun tidak mampu memanusiakan jika hidup dalam diskriminasi. Maka di negara merdeka, “keadilan sosial” harusnya menjadi frasa paling diingat, paling penting dan paling sakral, terpatri di tempat tertinggi dalam hierarki prinsip aturan bernegara.

Bebas dari diskriminasi yang dengan istilah lain ditulis keadilan sosial disebut-sebut sebagai tujuan negara jika sila ke-5 Pancasila dilabeli sebagai aksiologinya Pancasila.  Seharusnya, keadilan sosial adalah aksiologi sekaligus ontologi dan epistemologi karena keadilan sosial harus nampak sejak awal negara berdiri dan seterusnya, tanpa syarat.

Demokrasi sebagai Cara Mencapai Tujuan Negara.  Saya sependapat dengan yang mengatakan bahwa sila ke-3 dan ke-4 Pancasila sebagai cara mencapai tujuan negara.  Persatuan nasional yang dimotori prinsip gotong-royong telah diidentifikasi oleh para pendiri bangsa sebagai satu dari dua kunci keberhasilan negara. Bagi negara multikultur dengan jumlah penduduk sangat banyak, persatuan nasional (sila ke-3) adalah harga mati untuk bisa bergerak sehat mencapai tujuan negara. Perpecahan bangsa adalah salah satu bahaya terbesar bagi negara.  Oleh karena itu pentingnya menjaga stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat harus dipahami oleh segenap rakyat Indonesia, setidaknya dimufakati oleh kaum elite bangsa baik di tingkat paling atas maupun di tingkat paling bawah.  Namun sejauh pengamatan saya, kaum elite masih banyak yang kurang paham atau kurang peduli dengan masalah ini. Lebih menyedihkan, ketidakstabilan keamanan-ketertiban ternyata dipengaruhi pula oleh sistem dan cara kita berdemokrasi sekarang ini.  Demokrasi yang seharusnya berfungsi mengantarkan bangsa Indonesia dari pintu gerbang kemerdekaan menuju tujuan negara yang tertulis dalam Pembukaan UUD 1945, malah mengalami disfungsi kronis sejak 2004.

Bersama sila ke-3, sila ke-4 Pancasila disebut-sebut sebagai epistemologinya Pancasila. Selain persatuan nasional (gotong-royong), demokrasi adalah cara mencapai tujuan negara.  Demokrasi negara Republik Indonesia yang dirumuskan oleh para pendiri negara adalah demokrasi musyawarah mufakat/perwakilan yang menjunjung tinggi hikmah kebijaksanaan. Inilah yang disebut sebagai Demokrasi Pancasila yang cocok dengan karakteristik bangsa Indonesia yang multikultur dan berpopulasi sangat besar. Demokrasi Pancasila murah secara ekonomi, serta efisien dan efektif dalam mengelola politik warga negara.

Memilih Kucing dalam Karung. Dalam sistem demokrasi sekarang ini, bagi saya memilih artis yang tidak tercela adalah lebih masuk akal daripada memilih siapapun yang tidak dikenal. Artis selebritis sebagai sosok terkenal selalu diawasi oleh media, mulai dari aktivitas harian hingga kehidupan pribadinya sehingga masyarakat tahu kapasitasnya. Namun, sebagian masyarakat masih “asal coblos” sehingga sering kita dapati orang-orang bermasalah terpilih menjadi pejabat publik. Terpilihnya orang-orang brengsek sebagai pejabat publik adalah bencana bagi rakyat dan negara. Asal coblos terjadi selain karena kurangnya kesadaran politik, juga karena sistem demokrasi saat ini telah mengkondisikannya demikian. Pemilu sistem proporsional terbuka dalam pencoblosan langsung oleh individu pemilik hak suara sangat bagus hanya jika masyarakat mengenal dengan baik para kandidat, dan itu mustahil dalam kancah pemilihan pejabat publik untuk level kampung ke atas, alias hanya cocok untuk level RT, RW, dan kelurahan/desa saja.  Teknologi informasi memang sudah sangat berkembang, tapi tidak mampu membuat masyarakat mengenali calon-calon wakilnya.  Konyol sekali sumber daya yang sangat bersar habis hanya untuk ilusi demokrasi yang tidak efektif karena memilih kucing dalam karung. Sistem demokrasi (apalagi proporsional terbuka) harus dilakukan berjenjang secara musyawarah mufakat dengan menjunjung tinggi hikmah kebijaksanaan sesuai prinsip sila ke-4 Pancasila, bukan dengan cara-cara  demokrasi liberal.

Demokrasi yang Terlampau Mahal. Sudah maklum bahwa NKRI adalah negara dengan populasi sangat besar dan multikultur, namun toh penyelenggara negara tetap nekat menerapkan pemilu langsung dimana kepala daerah, legislatif daerah, legislatif nasional, dan presiden dipilih langsung oleh rakyat yang jumlahnya ratusan juta orang.  Biaya akan lebih dahsyat lagi jika pemilu harus diulang karena kecurangan, kerusakan, atau paslon melawan kotak kosong.  Demokrasi memang mahal, tapi seharusnya tidak semahal demokrasi yang sekarang kita jalani.  Sangat banyak hal-hal yang lebih mendasar yang harus dibiayai daripada habis hanya untuk pemilu. Demokrasi musayarah mufakat yang direkomendasikan para pendiri bangsa tidak mahal, setidaknya tidak semahal cara demokrasi liberal yang sekarang kita jalani.

Demokrasi Sekarang Merintangi  Pencapaian Tujuan Negara. Demokrasi yang harusnya mewujudkan tujuan negara kini malah berkontribusi merintangi karena memunculkan perilaku anti persatuan, padahal bersama-sama demokrasi, persatuan nasional adalah cara mewujudkan cita-cita bangsa. Fakta, bahwa sistem pemilihan langsung telah memunculkan perpecahan di tengah masyarakat, terutama sejak pilkada DKI Jakarta 2012, pilpres 2014, dan seterusnya hingga saat ini. Wajah plural masyarakat Indonesia tidak secantik ketika Gus Dur masih hidup karena sistem demokrasi saat ini memberi kesempatan politik identitas tumbuh dan berkembang di negara yang rakyatnya sangat heterogen. Mau sampai kapan energi bangsa ini terkuras hanya untuk demokrasi yang penuh huru-hara?  Sebagai bangsa yang mayoritas muslim, mengapa tidak mencontoh demokrasi ala Rasulullah Saw yang mendidik orang menghargai ilmu dan kebijaksanaan, melalui musyawarah mufakat yang diwakili oleh tokoh-tokoh teladan ?

Kesimpulan

(1)   Pemilu secara langsung, meskipun dengan sistem proporsional terbuka di jaman teknologi informasi yang telah berkembang pesat, tidak menjamin pemilik hak suara mengenal tokoh yang dipilihnya.  Masyarakat terjebak pada situasi memilih kucing dalam karung, khususnya pada pemilihan DPR RI dan DPRD.

(2)   Pemilu secara langsung sangat mahal, tidak cocok untuk negara berpendapatan rendah-menengah dengan populasi sangat besar.

(3)   Pemilu secara langsung terbukti telah memecah belah masyarakat, padahal persatuan nasional adalah syarat mewujudkan tujuan negara.

(4)   Demokrasi NKRI yang sekarang sedang dijalani sangat membagongkan (membingungkan, palsu, mahal, tidak efisien, dan tidak efektif).

(5)   MPR RI, DPR RI, dan Presiden perlu merumuskan kembali cara NKRI berdemokrasi dengan memperhatikan rekomendasi para pendiri negara pada sila ke-4 Pancasila.

   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis komentar pada space yang tersedia. Komentar akan muncul setelah disetujui Admin.