Penulis : Hamdan Arfani, SPt. MPd.
Hidup di negara merdeka adalah hidup tanpa diskriminasi dan untuk itu bangsa Indonesia telah mengorbankan apa saja. Ketika dibacakan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, hari itu disambut gegap gempita karena rakyat merasa benar-benar menjadi manusia seutuhnya. Kemiskinan dan kebodohan tidak menghilangkan kemanusiaan, diskriminasilah yang membuat orang merasa kehilangan kemanusiaannya. Kekayaan dan kecerdasan pun tidak mampu memanusiakan jika hidup dalam diskriminasi. Maka di negara merdeka, “keadilan sosial” harusnya menjadi frasa paling diingat, paling penting dan paling sakral, terpatri di tempat tertinggi dalam hierarki prinsip aturan bernegara.
Bebas dari
diskriminasi yang dengan istilah lain ditulis keadilan sosial disebut-sebut sebagai tujuan negara jika sila ke-5
Pancasila dilabeli sebagai aksiologinya Pancasila.  Seharusnya, keadilan sosial adalah aksiologi
sekaligus ontologi dan epistemologi karena keadilan sosial harus nampak sejak
awal negara berdiri dan seterusnya, tanpa syarat.
Demokrasi sebagai Cara Mencapai Tujuan Negara. Saya sependapat dengan yang mengatakan bahwa sila ke-3 dan ke-4 Pancasila sebagai cara mencapai tujuan negara. Persatuan nasional yang dimotori prinsip gotong-royong telah diidentifikasi oleh para pendiri bangsa sebagai satu dari dua kunci keberhasilan negara. Bagi negara multikultur dengan jumlah penduduk sangat banyak, persatuan nasional (sila ke-3) adalah harga mati untuk bisa bergerak sehat mencapai tujuan negara. Perpecahan bangsa adalah salah satu bahaya terbesar bagi negara. Oleh karena itu pentingnya menjaga stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat harus dipahami oleh segenap rakyat Indonesia, setidaknya dimufakati oleh kaum elite bangsa baik di tingkat paling atas maupun di tingkat paling bawah. Namun sejauh pengamatan saya, kaum elite masih banyak yang kurang paham atau kurang peduli dengan masalah ini. Lebih menyedihkan, ketidakstabilan keamanan-ketertiban ternyata dipengaruhi pula oleh sistem dan cara kita berdemokrasi sekarang ini. Demokrasi yang seharusnya berfungsi mengantarkan bangsa Indonesia dari pintu gerbang kemerdekaan menuju tujuan negara yang tertulis dalam Pembukaan UUD 1945, malah mengalami disfungsi kronis sejak 2004.
Bersama sila ke-3,
sila ke-4 Pancasila disebut-sebut sebagai epistemologinya Pancasila. Selain
persatuan nasional (gotong-royong), demokrasi adalah cara mencapai tujuan
negara.  Demokrasi negara Republik Indonesia
yang dirumuskan oleh para pendiri negara adalah demokrasi musyawarah
mufakat/perwakilan yang menjunjung tinggi hikmah kebijaksanaan. Inilah yang
disebut sebagai Demokrasi Pancasila yang cocok dengan karakteristik bangsa
Indonesia yang multikultur dan berpopulasi sangat besar. Demokrasi Pancasila murah
secara ekonomi, serta efisien dan efektif dalam mengelola politik warga negara.
Memilih Kucing dalam Karung. Dalam sistem demokrasi sekarang ini, bagi saya
memilih artis yang tidak tercela adalah lebih masuk akal daripada memilih siapapun
yang tidak dikenal. Artis selebritis sebagai sosok terkenal selalu diawasi oleh
media, mulai dari aktivitas harian hingga kehidupan pribadinya sehingga
masyarakat tahu kapasitasnya. Namun, sebagian masyarakat masih “asal coblos”
sehingga sering kita dapati orang-orang bermasalah
terpilih menjadi pejabat publik. Terpilihnya orang-orang brengsek sebagai
pejabat publik adalah bencana bagi rakyat dan negara. Asal coblos terjadi selain karena kurangnya kesadaran politik, juga
karena sistem demokrasi saat ini telah mengkondisikannya demikian. Pemilu
sistem proporsional terbuka dalam pencoblosan
langsung oleh individu pemilik hak suara sangat bagus hanya jika masyarakat
mengenal dengan baik para kandidat, dan itu mustahil dalam kancah pemilihan
pejabat publik untuk level kampung ke atas, alias hanya cocok untuk level RT,
RW, dan kelurahan/desa saja.  Teknologi
informasi memang sudah sangat berkembang, tapi tidak mampu membuat masyarakat
mengenali calon-calon wakilnya.  Konyol
sekali sumber daya yang sangat bersar habis hanya untuk ilusi demokrasi yang tidak
efektif karena memilih kucing dalam
karung. Sistem demokrasi (apalagi proporsional terbuka) harus dilakukan
berjenjang secara musyawarah mufakat dengan menjunjung tinggi hikmah
kebijaksanaan sesuai prinsip sila ke-4 Pancasila, bukan dengan cara-cara  demokrasi
liberal.
Demokrasi yang Terlampau Mahal. Sudah maklum bahwa NKRI adalah negara dengan
populasi sangat besar dan multikultur, namun toh penyelenggara negara tetap
nekat menerapkan pemilu langsung dimana kepala daerah, legislatif daerah,
legislatif nasional, dan presiden dipilih langsung oleh rakyat yang jumlahnya
ratusan juta orang.  Biaya akan lebih
dahsyat lagi jika pemilu harus diulang karena kecurangan, kerusakan, atau paslon
melawan kotak kosong.  Demokrasi memang
mahal, tapi seharusnya tidak semahal demokrasi yang sekarang kita jalani.  Sangat banyak hal-hal yang lebih mendasar yang
harus dibiayai daripada habis hanya untuk pemilu. Demokrasi musayarah mufakat
yang direkomendasikan para pendiri bangsa tidak mahal, setidaknya tidak semahal
cara demokrasi liberal yang sekarang kita jalani.
Demokrasi Sekarang Merintangi  Pencapaian Tujuan Negara. Demokrasi yang harusnya mewujudkan tujuan negara kini
malah berkontribusi merintangi karena memunculkan perilaku anti persatuan,
padahal bersama-sama demokrasi, persatuan nasional adalah cara mewujudkan
cita-cita bangsa. Fakta, bahwa sistem pemilihan langsung telah memunculkan
perpecahan di tengah masyarakat, terutama sejak pilkada DKI Jakarta 2012,
pilpres 2014, dan seterusnya hingga saat ini. Wajah plural masyarakat Indonesia
tidak secantik ketika Gus Dur masih hidup karena sistem demokrasi saat ini memberi
kesempatan politik identitas tumbuh
dan berkembang di negara yang rakyatnya sangat heterogen. Mau sampai kapan energi
bangsa ini terkuras hanya untuk demokrasi yang penuh huru-hara?  Sebagai bangsa yang mayoritas muslim, mengapa
tidak mencontoh demokrasi ala Rasulullah Saw yang mendidik orang menghargai
ilmu dan kebijaksanaan, melalui musyawarah mufakat yang diwakili oleh tokoh-tokoh
teladan ?
Kesimpulan
(1)   Pemilu secara langsung, meskipun dengan sistem
proporsional terbuka di jaman teknologi informasi yang telah berkembang pesat, tidak
menjamin pemilik hak suara mengenal tokoh yang dipilihnya.  Masyarakat terjebak pada situasi memilih kucing dalam karung, khususnya
pada pemilihan DPR RI dan DPRD.
(2)   Pemilu secara langsung sangat mahal, tidak cocok untuk
negara berpendapatan rendah-menengah dengan populasi sangat besar. 
(3)   Pemilu secara langsung terbukti telah memecah belah
masyarakat, padahal persatuan nasional adalah syarat mewujudkan tujuan negara.
(4)   Demokrasi NKRI yang sekarang sedang dijalani sangat
membagongkan (membingungkan, palsu, mahal, tidak efisien, dan tidak efektif).
(5)   MPR RI, DPR RI, dan Presiden perlu merumuskan kembali
cara NKRI berdemokrasi dengan memperhatikan rekomendasi para pendiri negara
pada sila ke-4 Pancasila.
    

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar pada space yang tersedia. Komentar akan muncul setelah disetujui Admin.