Kehidupan yang diskriminatiflah yang menggugah jiwa Ki Hajar Dewantara untuk mendidik anak, remaja, dan pemuda pribumi. Pada masa itu kondisi ekonomi masyarakat Hindia Belanda khususnya di kota-kota baru saja pulih akibat dampak Perang Dunia I, kegiatan ekonomi meningkat, industri perkebunan-pertanian mulai surplus, jalan-jalan dan sarana publik dipercantik. Namun sebagus apapun peningkatan kesejahteraan masyarakat tidak menghilangkan diskriminasi atas hak hukum, hak belajar, hak pekerjaan, hak perlakuan yang sama, hak menikmati fasilitas publik, dan sebagainya, bagi orang-orang pribumi. Pada masa itu kelas sosial masyarakat dipecah dengan jelas. Kelas sosial tertinggi adalah bangsa Eropa, kelas menengah adalah para bangsawan, imigran Arab, dan imigran Cina, dan kelas terendah adalah pribumi rakyat biasa yang merupakan mayoritas penduduk Hindia Belanda.
Ki Hajar Dewantara adalah anak dari Sultan Mataram, masuk dalam kelas sosial menengah bukan yang tertinggi, karena status Raja pada masa itu adalah Pegawai Negara, yang digaji oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pada 1908 Ki Hajar bergabung dengan organisasi Boedi Oetomo, kemudian mendirikan Indische Partij bersama Cipto Mangun Kusumo dan Douwes Dekker. Namun pada 1913--1919 mereka diasingkan ke Belanda. Di negeri Belanda itulah Ki Hajar menyadari jauhnya ketimpangan akses pendidikan antara bangsa Belanda dan bangsa pribumi di Hindia Belanda, padahal pendidikan adalah syarat menuju perubahan yang lebih baik bagi suatu bangsa. Ki Hajar juga menyadari kelebihan serta kekurangan sistem pendidikan Belanda, beliau merumuskan sistem pendidikan yang paling cocok dan paling dibutuhkan bagi bangsa Indonesia.
Sistem pendidikan Ki Hajar menekankan pada kebutuhan murid secara utuh : intelektual, kesehatan jasmani, dan moralitas-spiritual yang sesuai nilai-nilai luhur masyarakat. Guru membimbing agar murid berkembang sesuai potensinya masing-masing.
Pada prinsipnya, menurut Ki Hajar, guru memiliki 3 tugas pokok: memberi contoh (ing laga sing tulada), menstimulasi gagasan (ing madya mangun karsa), dan bertindak sebagai suporter (tut wuri handayani). Memberi contoh, membangun gagasan, dan memberi dukungan, adalah dasar-sadar yang kata Boby dPotter-Gardner, sebagai upaya membangun citra diri positif (self image) dan harga diri positif (self esteem). Tanpa membangun citra diri positif dan harga diri positif, segala ikhtiar pendidikan adalah omong-kosong.
____
Penulis:
Hamdan A Batarawangsa


Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar pada space yang tersedia. Komentar akan muncul setelah disetujui Admin.