Frasa "perang pemikiran" sudah sering saya dengar sejak masih SMA. Dulu, saya mengira perang pemikiran hanyalah adu argumentasi, dialektika. Nyatanya, perang pemikiran adalah aksi masif terorganisir merusak nalar masyarakat. Setiap hari saya membaca komentar-komentar yang tidak logis di media sosial bahkan membahas persoalan yang tidak jelas, absurd. Hal ini bukan hanya disebabkan rendahnya daya literasi bangsa kita, namun juga tingginya intensitas narasi-narasi pembodohan dan informasi palsu yang sengaja disuguhkan kepada netizen.
Dengan narasi ambigu, awalnya netizen digiring untuk menafsirkan secara sinis sesuai keinginan propagandis. Salah menafsirkan adalah kondisi awal dari kesalahan berpikir (logical fallacy). Pada tahap selanjutnya rasa keadilan diusik supaya netizen emosi bahkan benci. Pada tahap terakhir inilah netizen yang sudah dibakar benci dicekoki hoax bahkan fitnah secara bertubi-tubi. Dalam kondisi emosi, nalar dirusak, kebenaran fakta diputarbalikkan. Fakta adalah dasar untuk menyusun argumentasi yang logis, fakta adalah pijakan untuk melakukan penalaran. Hoax merusak nalar masyarakat.
Pesatnya kemajuan teknologi informasi bukan hanya mempercepat distribusi informasi yang benar, namun juga informasi yang salah. Penyebaran informasi palsu bisa saja sengaja dilakukan untuk kepentingan tertentu, baik berdasar alasan etis kedaruratan maupun kejahatan.
Kita bisa melihat Irak yang hancur karena hoax atas Saddam Hussein, Libya yang hancur karena Hoax atas Khaddafi, juga Suriah yang babak belur karena hoax negatif atas Assad dan hoax positif atas ISIS. AS melihat hoax mampu menggantikan serangan artileri saat perang melawan Irak. Perang AS-Irak (1990-2011) awalnya tidak menghasilkan kemenangan bagi AS, hujan rudal tidak membuat Irak takluk. Kemudian AS mencoba memecah belah masyarakat Irak melalui berita bohong dan ternyata sangat sukses, Irak hancur oleh bangsanya sendiri. Ke depan, penyebaran berita palsu (hoax) akan selalu menjadi strategi utama dalam perang apapun, karena sudah terbukti jauh lebih murah namun sangat efektif.
Saat ini bangsa Indonesia terlalu banyak disuguhi hoax, dirusak pikirannya, dilemahkan negaranya. Banyak yang terlanjur merasakan nikmatnya negara Indonesia yang lemah, baik bangsa asing maupun bangsa sendiri, dan ketika negara melawan, negara harus berhadapan dengan zombi, yaitu masyarakat yang sudah rusak nalarnya seperti di Irak, Libya, dan Suriah.
Rhenald Kasali pernah berkata, saat ini hoax tidak hanya dikonsumsi masyarakat kurang terdidik, tapi juga masyarakat berpendidikan tinggi. Pada masyarakat berpendidikan tinggi hoax masuk melalui relung emosi. Emosi dapat menyebabkan penafsiran yang tidak objektif bahkan salah, emosi bisa "mematikan" logika. Emosi bahkan disebut-sebut sebagai musuh para filosof.
...
Saya sering mencermati komentar seorang tokoh yang oleh banyak netizen disebut ahli logika. Saya terkejut ketika menyadari beliau sering sekali berangkat dari premis yang "ngawur" untuk sampai pada sebuah kesimpulan, sampai-sampai saya bertanya dalam hati apakah ia punya dendam pada negara, karena menurut saya, ia sedang merusak pikiran banyak orang. Jadi, kuatkanlah diri kita masing-masing dengan fakta, dengan informasi yang benar. Lakukan cek n ricek untuk informasi penting, atau lupakan 100%, itulah dasar kita untuk bisa bernalar dengan benar, menjadi pemenang dalam gempuran "perang pemikiran." Di jaman digital, menjaga nalar adalah jihad intelektual, kata Buya Syafi'i Ma'arif.
___

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar pada space yang tersedia. Komentar akan muncul setelah disetujui Admin.