Tanpa kejernihan hidup yang bagaimana, manusia bisa berdamai dengan kematian ? Tak ada kebaikan yang tak berbalas, tak ada keburukan yang tak bersanksi. My wisdom goes over the sea of wild wisdom

02 September 2009

Tuhan dan Bajunya

Oleh :
KH Abdurrahman Wahid


Suatu ketika Sang Sufi Mansur al Hallaj melihat salah seorang muridnya memaki-maki seorang Nasrani. Al Hallaj segera menyimpang dari arah tempat kejadian itu dan seharian beliau tidak mau berbicara kepada Si Murid kasar tersebut.

Sang Murid lalu menjadi masygul hatinya. Maklum, orang tasawuf sangat bergantung pada kerelaan gurunya. Ditanyakan kepada Sang Guru, apa gerangan kesalahan yang telah diperbuatnya. Sang Sufi lalu menjawab, bahwa sifat Sang Murid yang selalu memandang rendah orang yang beragama lain itulah yang membuatnya tidak rela. Ketahuilah, demikian kira-kita kata sang Guru, bahwa Tuhan kamu dan Tuhan mereka adalah Tuhan Yang Satu jua, yang berbeda adalah ‘baju’ Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri. Kalau kau anggap baju Tuhan sama dengan Tuhan itu sendiri, maka adalah seorang musyrik, yakni orang yang mempersekutukan Tuhan. Maka yang demikian bukan seorang muslim lagi karena telah meninggalkan tauhid, faham pengesaan Tuhan.

Demikianlah, suatu masalah yang sangat sepele dan mudah difahami. Tapi sejarah semua agama justru menunjukkan ketidaksanggupan manusia untuk memahami kenyataan sederhana tersebut.

Bahwa Tuhan ada, bahwa Ia hanya satu, bahwa Ia menghendaki persaudaraan bagi kita semua. Kalaulah benar seseorang beriman kepada Tuhan, tentulah ia tidak akan membenci seseorang karena perbedaan agama. Itu berarti ia mengutamakan baju Tuhan, yaitu rumusan agamanya sendiri tentang hakikatNya, lebih dari kenyataan adanya Tuhan itu sendiri.

Saya seorang muslim karena ‘baju Tuhan’ yang saya percayai adalah rumusan Islam tentang tauhid. Saya yakin akan kebenaran rumusan tersebut. Adalah hak mereka untuk memperoleh kebenaran, sama dengan hak saya. Dan terserah nantinya Tuhan sendiri yang menimbang , apakah saya yang akan dibenarkan atau bukan, di hari akherat kelak.

Saya serahkan sepenuhnya kepada Tuhan, karena Ia-lah tempat menyerahkan diri. Sungguh bijak Al Hallaj yang membedakan antara Tuhan dan ‘baju’nya itu. Sayang ia tidak dimengerti oleh kaumnya, dan mati dibakar karena pembangkangannya terhadap ‘baju-baju Tuhan’ di jamannya. Tapi saya yakin, Al Hallaj tidak keberatan diperlakukan sedemikian itu. Bahwa ia akhirnya kembali kepada Sang Pemakai baju, itulah nilai yang lebih tinggi dari sekedar mencarikan pembenaran atas baju-baju yang ada. Di situlah terletak kemenangan Al Hallaj.

(tulisan di atas telah mengalami proses editing agar lebih ringkas).
_______

Hamdan A Batarawangsa
Pengelola Bataragema.Com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis komentar pada space yang tersedia. Komentar akan muncul setelah disetujui Admin.