Oleh : 
Hamdan Arfani
Raden Fatah, Raja pertama Demak, bernama asli Jin Bun. Jin Bun adalah anak Raja Majapahit Prabu Kertabumi dari istri yang berasal dari Cina anak dari saudagar bernama Ban Hong. Setelah dewasa Jin Bun belajar agama kepada Bong Swi Ho alias Raden Rahmat alias Sunan Ampel yang berasal dari Campa (Kamboja) cucu dari Bong Tak Keng, Raja Campa. Pada 1445 Bong Swi Ho mengunjungi bibinya yang juga istri raja Majapahit Prabu Wikrawardana atau Hyang Wisesa (dari istri lain, yakni permaisuri Kusumawardani anak hayam Wuruk, Wikrawardana mempunyai anak bernama Rani Suhita yang menjadi raja sebelum Prabu Kertabumi). Di tanah Jawa, Bong Swi Ho menikah dengan anak dari Gan Eng Cu (alias Aria Teja atau Nambe), mantan Bupati Manila (Filipina) yang telah ditempatkan di Tuban sebagai Ngabei, yang juga ayah dari Gan Si Cang alias Raden Said atau Sunan Kalijaga. Sementara itu, adik Gan Eng Cu yang berarti pula paman dari Gan Si Cang yang bernama Gan Eng Wan (alias Wira), diangkat menjadi Bupati Tuban dengan nama baru Tumenggung Wilatikta. Tumenggung Wilatikta adalah bupati pertama Majapahit yang beragama Islam.
Hamdan Arfani
Raden Fatah, Raja pertama Demak, bernama asli Jin Bun. Jin Bun adalah anak Raja Majapahit Prabu Kertabumi dari istri yang berasal dari Cina anak dari saudagar bernama Ban Hong. Setelah dewasa Jin Bun belajar agama kepada Bong Swi Ho alias Raden Rahmat alias Sunan Ampel yang berasal dari Campa (Kamboja) cucu dari Bong Tak Keng, Raja Campa. Pada 1445 Bong Swi Ho mengunjungi bibinya yang juga istri raja Majapahit Prabu Wikrawardana atau Hyang Wisesa (dari istri lain, yakni permaisuri Kusumawardani anak hayam Wuruk, Wikrawardana mempunyai anak bernama Rani Suhita yang menjadi raja sebelum Prabu Kertabumi). Di tanah Jawa, Bong Swi Ho menikah dengan anak dari Gan Eng Cu (alias Aria Teja atau Nambe), mantan Bupati Manila (Filipina) yang telah ditempatkan di Tuban sebagai Ngabei, yang juga ayah dari Gan Si Cang alias Raden Said atau Sunan Kalijaga. Sementara itu, adik Gan Eng Cu yang berarti pula paman dari Gan Si Cang yang bernama Gan Eng Wan (alias Wira), diangkat menjadi Bupati Tuban dengan nama baru Tumenggung Wilatikta. Tumenggung Wilatikta adalah bupati pertama Majapahit yang beragama Islam.
Sedemikian akrab hubungan Majapahit dengan Tiongkok, sehingga dengan leluasa Raja Tiongkok menawarkan bantuan 'keamanan' yang amat disambut baik Majapahit. Bantuan keamanan Tiongkok terealisasi dengan penugasan Laksamana Sam Po Bo (Cheng Ho) tahun 1402 yang ternyata memiliki misi khusus penyebaran agama Islam di Asia Tenggara terutama Nusantara. Dalam penyebaran Agama Islam, Sam Po Bo melibatkan pejabat Majapahit muslim beretnis Tionghoa, yang kebetulan banyak diantaranya yang masih berkerabat (hubungan keluarga) dengan pejabat-pejabat dari Tiongkok. Sehingga dalam menjalankan tugas pemerintahan Majapahit, sekaligus pula menjalankan tugas dakwah Islam yang dikoordinasi oleh Tionghoa yang dalam hal ini adalah Laksamana Sam Po Bo.
Demikianlah uraian potongan laporan Poortman sebagai suatu prae advies kepada Pemerintah Hindia Belanda tahun 1928 yang menerangkan kontribusi etnis Tionghoa pada penyebaran Islam abad ke-13 dan 14 di Nusantara, dimana peran Wali Songo sangat strategis. Bagi orang kebanyakan, informasi yang menyebutkan para Wali Songo adalah keturunan Tionghoa mungkin menjadi pengetahuan baru.
Pada tahun 1964 terpublikasi sebuah buku berjudul Tuanku Rao yang ditulis oleh Ir. Mangaraja Onggang Parlindungan, yang pada bagian lampiran terdapat informasi penting tentang kontribusi etnis Tionghoa dalam penyebaran Islam abad ke-14 dan 15 di Nusantara yang bersumber dari Poortman. Poortman pada tahun 1928 dengan kapasitasnya sebagai Residen Kolonial Hindia Belanda pernah menggeledah dan menyita catatan-catatan penting terutama dari Kelenteng Sam Po Khong di Semarang (Jawa Tengah) dan Talang (Cirebon, Jawa Barat). Konon catatan yang disita dari Kelenteng Semarang saja sebanyak tiga bak pedati dan sebagian berusia di atas 400 tahun. Apa yang tertulis dalam Tuanku Rao rupanya menarik minat Prof. Dr. Slamet Muljana yang kemudian menindaklanjuti dengan upaya penelitian dan publikasi pada International Congress of Orientalists di Ann Arbor Amerika Serikat pada tahun 1967, kemudian penerbitan sebuah buku pada tahun 1968. Meski Muljana telah mempublikasikan pada tahun 1960-an, namun tulisan tentang kontribusi etnis Tionghoa pada penyebaran Islam di Nusantara abad XIII-XIV sempat mengalami 'pembredelan' dan dilarang untuk diterbitkan selama rezim Orde Baru sehingga masyarakat luas baru dapat menjumpainya kembali mulai tahun 2005, itupun hanya berupa ringkasannya saja.
Seperti yang dijelaskan oleh Poortman sendiri dalam laporannya, bahwa penggeledahan Klenteng Sam Po Khong berawal dari tugas rahasia yang diembannya untuk memastikan berita bahwa Raden Fatah, Sultan Demak pertama, adalah beretnis Tionghoa dengan nama Jin Bun. Secara kebetulan pada tahun 1928 terjadi instbilitas politik yang dimotori oleh orang komunis, yang kemudian dimanfaatkan Poortman sebagai dalih untuk melakukan penyitaan dokumen-dokumen di beberapa Klenteng, terutama Klenteng Sam Po Khong di Semarang dan Talang, setelah sebelumnya diketahui bahwa klenteng-klenteng tersebut terbiasa mencatat peristiwa-peristiwa penting yang berhubungan dengan klenteng.
Laporan hasil penelitian Poortman tentang hal di atas saat ini disimpan di Gedung Negara Rijswijk, Netherland. Sedangkan tentang keberadaan dokumen asli yang disita dari Klenteng Sam Po Khong pada tahun 1928 tidak pernah disebutkan keberadaannya.
Di bawah ini kami sajikan sebagian dari laporan Poortman yang bersumber dari catatan Klenteng Sam Po Khong tersebut, namun perlu ditegaskan bahwa meski telah disosialisasikan pada forum internasional di tahun 1967, namun apa yang tertulis di bawah ini masih merupakan bahan penelitian lebih lanjut para ahli. Kiranya untuk dijadikan sumber sejarah masih dibutuhkan pembuktian keberadaan naskah asli sitaan dari Klenteng Sam Po Kong, bahkan pembuktian bahwa tokoh Residen Poortman sebagai tokoh historis.
Ringkasan Laporan Poortman Berdasar Catatan Klenteng Sam Po Khong Semarang dan Talang
Uraian Ringkasan Laporan Poortman kurang lebih seperti di bawah ini dan telah kami beri tambahan penjelasan dari sumber lain.
1405 - 1425 Armada Tiongkok dinasti Ming di bawah Laksamana Haji Sam Po Bo (Ceng Ho) berada di perairan Asia Tenggara. Pada 1415 menara mercu suar dibangun di Gunung Jati oleh Kung Wu Ping (Sam Po Bo alias Cheng Ho) keturunan dari Kung Hu Cu. Di Sembung, Sirindil, dan Talang dibentuk masyarakat muslim Tionghoa.
1407 (Atas permintaan majapahit) Armada Tiongkok Laksamana Sam Po Bo membebaskan Kukang (wilayah Palembang) yang sudah turun temurun menjadi sarang perampok orang-orang Tionghoa non muslim dari Hokkian. Cen Cu Yi, kepala perampok, ditawan dan dihukum mati di Peking. Didibentuk masyarakat Tionghoa muslim pertama di Kukang. Pada tahun itu pula, dibentuk masyarakat muslim Tionghoa di Sambas, Kalimantan.
1413 Armada Lasamana Sam Po Bo singgah di Semarang selama satu bulan untuk perbaikan kapal. Sam Po Bo, Ma Huan, dan Fe Tsin sering sekali datang ke masjid Tionghoa Hanafi di Semarang untuk melakukan sembahyang. Bong Tak Keng (kakek Sunan Ampel) di tempatkan di Campa. Bong Tak Keng menempatkan Haji Gan Eng Cu (ayah dari Sunan Kalijaga) di Manila (Filipina).
1423 Haji Gan Eng Cu (Aria Teja) dipindahkan ke Jawa kemudian karena jasanya diberi gelar A Lu Ya (Aria) oleh Raja Majapahit Su King Ta (Rani Suhita) yang memerintah pada tahun 1427-1447.
1424 - 1449 M Hong Fu ditempatkan sebagai duta besar Tiongkok untuk Majapahit. Ma Hong Fu adalah menantu Bong Tak Keng.
1425 - 1431 Laksamana Sam Po Bo diangkat menjadi gubernur di Nan King otomatis sebagai Wali Raja Tiongkok. Di masjid Hanafi di Semarang diadakan sembahyang hajat dan doa selamat untuk Sam Po Bo.
1430 Laksamana Sam Po Bo merebut Tu Ma Pan di Jawa Timur dan menyerahkan daerah itu kepada raja Su King Ta (Rani Suhita). Gang Eng Wan, saudara Gan Eng Cu (ayah Sunan Kalijaga) dijadikan gubernur di Tu Ma Pan, ialah Bupati pertama majapahit yang beragama Islam.
1431 Laksamana sam Po Bo wafat. Masyarakat Tionghoa muslim di Semarang melakukan sholat gaib.
1436 Haji Gan Eng Cu pergi ke Tiongkok menghadap Kaisar Yang Yu. Kaisar Yang Yu memberikan kepada haji Gan Eng Cu tingkatan dan pakaian Mandarin Besar lengkap dengan tanda pangkat (tanda penghargaan) berupa ikat pinggang emas.
1443 Swan Liong kepala pabrik mesiu di Semarang ditempatkan oleh Haji Gan Eng Cu sebagai Kapten Cina di Kukang (Palembang) yang sering diserang oleh bajak laut Tionghoa non muslim.
1445 Bong Swi Ho (Raden Rahmat atau Sunan Ampel) diperbantukan kepada Swan Liong di Kukang. Bong Swi Ho adalah cucu dari Haji Bong Tak Keng di Campa.
1446 Bong Swi Ho singgah di masyarakat Tionghoa muslim di Semarang.
1447 Bong Swi Ho menikah dengan putri Gan Eng Cu di Tuban (sehingga menjadi kakak ipar Gan Si Cang atau Raden Said alias Sunan kalijaga).
1447 - 1451 Bong Swi Ho ditugaskan oleh Gan Eng Cu ke Bangil /muara Brantas Kiri (kali Porong).
1448 Bupati Gan Eng Wan (Tumenggung Wilatikta atau Aria Suganda) terbunuh oleh orang-orang Hindu Jawa dalam kerusuhan di Tu Ma Pan.
1449 Duta Besar Tiongkok Haji Ma Hong Fu singgah ke Semarang dalam perjalanan kembali ke Tiongkok. Istri Ma Hong Fu telah wafat dan dimakamkan secara islam di Majapahit.
1450 - 1475 Kekuasaan dinasti Ming telah merosot, armada Tiongkok tidak pernah datang lagi ke Majapahit. Perkembangan Islam turut merosot pula, banyak masjid yang berubah menjadi Klenteng lengkap dengan Patung Demi God Sam Po Kong di setiap mimbarnya. Masjid di Sirindil sudah menjadi pertapaan, masjid di Talang menjadi klenteng Sam Po Kong. Sebaliknya, perkembangan Islam di Sembung maju pesat. Haji Bong Tak Keng dan Haji Gan Eng Cu wafat, Bong Swi Ho berinisiatif mengambil alih koordinasi dakwah Islam di Jawa, Kukang, dan Sambas, tanpa berhubungan lagi dengan Tiongkok. Bong Swi Ho mengganti bahasa komunikasi Tiongkok dengan bahasa Jawa.
1451 Campa yang beragama Islam Hanafi direbut oleh orang beragama Budha dari Sing Fu An (Pnom Penh). Bong Swi Ho pindah ke Ngampel.
1451 - 1457 Sepeninggal Bong Swi Ho, masjid di Jiaotung (Bangil) berubah menjadi Klenteng, orang Jawa muslim di sana masih sangat sedikit. Masyarakat Jawa muslim mulai terbentuk di Ngampel dan semakin kuat hingga ke Madura. Koordinasi dengan Tuban, Kukang, dan Sambas tetap terjalin.
1445 Kota Jiaotung hilang dilanda banjir. Pelayaran kali Porong menjadi sepi.
1456 - 1474 Swan Liong di Kukang membesarkan dua orang peranakan Tionghoa yang lahir dari ibu Tionghoa, yakni Jin Bun yang katanya anak dari Kung Ta Bu Mi dan Kin San (Jin Bun adalah anak Prabu Kertabumi yang lebih dikenal dengan nama Raden Fatah, sedangkan Kin San adalah saudara seibu Jin Bun yang dikenal juga dengan nama Husein atau Kusen).
1474 Jin Bun dan Kin San singgah di Masjid Hanafi Semarang dalam perjalanan menemui Bong Swi Ho di Ngampel. Dalam Masjid Hanafi Semarang, Jin Bun menangis melihat ada patung Sam Po Kong di dalamnya. Ia berdoa semoga dapat mendirikan masjid yang tidak akan lagi berubah menjadi Klenteng di Semarang.
1475 Jin Bun ditempatkan oleh Bong Swi Ho di daerah tak bertuan di sebelah timur Semarang. Jin Bun mendapat tugas membentuk masyarakat muslim baru sebagai pengganti masyarakat muslim Tionghoa di Semarang yang telah murtad. Kin San diperintah menjadi barisan kelima di Majapahit karena sepeninggal Ma Hong Fu tidak ada lagi sumber berita bagi orang Tionghoa. Kin San melamar ke Majapahit dengan menunjukkan keahliannya membuat mercon (petasan) yang amat disukai Prabu Kertabumi.
1475 - 1518 Dengan tangan besi Jin Bun menjadi penguasa di Demak yang baru menjadi kerajaan Islam.
1447 Jin Bun menguasai semarang dengan kekuatan 1.000 orang pasukan berani mati. Jin Bun mendahulukan Klenteng Sam Po Kong dan tidak membunuh muslim Tiongkok yang telah murtad. Orang Tiongkok non muslim Semarang mendukung kerajaan Islam Demak. Atas permintaan Bong Swi Ho, raja Kung Ta Bu Mi (Kertabumi) mengangkat Jin Bun sebagai bupati Bing To Lo (Bintara) yang berkedudukan di Demak dengan nama Pangeran Jin Bun. Jin Bun menghadap Kertabumi dan diakui oleh Kertabumi sebagai anaknya.
1478 Bong Swi Ho wafat di Ngampel. Jin Bun tidak melayat ke Ngampel namun dengan pasukannya merebut pedalaman Jawa, sedangkan Bong Swi Ho seumur hidup tidak pernah mengizinkan penggunaan senjata terhadap orang-orang Jawa yang masih beragama Hindu. Jin Bun menaklukkan Majapahit. Kung Ta Bu Mi (Kertabumi) ditawan dan dibawa ke Demakan diperlakukan dengan sangat hormat selaku ayahnya. Jin Bun memerintahkan mendirikan masjid yang baru di Semarang.
1478 - 1529 Kin San selama setengah abad menjadi Bupati Semarang yang sangat toleran menjadi bapak rakyat, melindungi segala bangsa dan agama. Gan Si Cang (Raden Said alias Sunan kalijaga), seorang putra yang murtad dari mendiang Haji Gan Eng Cu, ditunjuk sebagai kapten Cina non muslim di Semarang. Kin San dan Gan Si Cang mendirikan kembali penggergajian kayu dan galangan kapal yang telah tiga turunan ditinggalkan, sisa peninggalan Sam Po Bo.
1479 Seorang putra (Bong Ang atau Sunan Bonang, anak Bong Swi Ho) dan seorang bekas murid Bong Swi Ho (Sunan Giri) datang melihat-lihat galangan kapal dan klenteng sam Po Bo di Semarang. Mereka berdua tidak pandai bahasa Tionghoa.
1481 Atas permintaan tukang-tukang di galangan kapal, Gan Si Cang memohon kepada Kin San agar masyarakat Tionghoa non muslim diperbolehkan secara sukarela membatu penyelesaian Masjid Demak. Permintaan tersebut dikabulkan oleh Jin Bun.
1488 Pa Bu Ta La (Prabu Daha atau Batara Prabu Girindrawardana), seorang menantu dari Kung Ta bu Mi (Kertabumi) menjadi Bupati Majapahit yang beragama Hindu. Majapahit menjadi kerajaan bawahan Demak.
1509 Yat Sun (Pati Unus), seorang putra dari Jin Bun, mendampingi Kin San di galangan kapal Semarang. Pembuatan kapal dilipatgandakan karena Yat Sun katanya hendak merebut Moa Lok Sa (Malaka) dengan armada Demak.
1512 Yat Sun sangat tergesa-gesa menyerang Moa Lok Sa yang sudah direbut oleh orang-orang biadab berambut merah dan yang mempunyai senjata-senjata api jarak jauh.
1513 Seorang bangsa Ta Cih bernama Ta Jik Su, kapalnya rusak dan diperbaiki di galangan kapal semarang. Ja Tik Su diantar Kin San serta Yat Sun ke Demak. Kapal model Ta Jik Su ditiru untuk memperbesar kecepatan dari kapal-kapal besar model jung Tiongkok.
1517 Atas undangan Pa Bu Ta la orang-orang biadab dari Moa Lok Sa (Portugis) datang berdagang dengan orang-orang Majapahit. Jin Bun untuk kali kedua menyerang Majapahit. Kota dan Keraton habis, tapi Pa Bu Ta La dan keluarga tetap menjadi bupati di Majapahit karena salah satu istri Pa Bu T La adalah adik bungsu Jin Bun sendiri.
1518 Jin Bun wafat dalam usia 63 tahun.
1518 - 1521 Yat Sun (Pati Unus) memerintah selaku raja di Demak. Pati Unus memiliki 3 putra lelaki, yang pertama Pangeran Seda Lepen alias Raden Kikin, yang tengah bernama Trenggono (Tung Ka Lo), dan yang bungsu bernama Pangeran Timur (Toh A Bo).
1521 Yat Sun menyerang Moa Lok Sa kembali. Yat Sun wafat. Terjadi huru-hara tentang penggantinya di Demak. Pa Bu Ta La melakukan hubungan dengan Moa Lok Sa dan Tiongkok.
1521 - 1546 Tung Ka Lo (Trenggono) menjadi raja di Demak.
1526 Kin San yang sudah tua namun pandai berbahasa Tiongkok bersama Panglima Demak Toh A Bo dikirim ke Sembung (Cirebon) untuk menundukkan orang-orang Tionghoa. Dari Talang pergi ke Sirindil dimana Haji Tan Eng Hoat keturunan Hokkian, imam Sembung, sedang melakukan tapa. Di Sembung, Tan Eng Hoat diberi gelar atas nama raja Demak berbunyi Mu La Na Fu Di Li Ha Na Fi (Maulana Ifdil Hanafi). Tentara Demak satu bulan bertamu pada Tan Eng Hoat.
1527 Pa Bu Ta La wafat. Panglima Toh A Bo (Sunan Gunung Jati), seorang putra Tung Ka Lo, dengan tentara Demak menduduki kraton Majapahit. Putra-putri Tung Ka Lo tak bersedia masuk Islam dan melarikan diri ke Pasuruan dan Panarukan. Pada tahun yang sama Demak menyerbu wilayah Pajajaran di Banten yang akan dijadikan markas Portugis (Ayatrohaedi, 2006).
1529 Kin San wafat dalam usia 74. Jenazahnya diantar ke Demak. Ikut seluruh penduduk Semarang yang muslim maupun non muslim.
1529 - 1546 Muk Ming (Sunan Prawoto, anak Trenggono atau Tung Ka Lo) menggantikan Kin San.
1541 - 1546 Dengan bantuan masyarakat Tionghoa non muslim, Muk Ming menyelesaikan 1.000 kapal jung besar yang masing-masing memuat 400 orang prajurit. Tung Ka Lo hendak merebut pulau-pulau rempah di laut timur.
1546 Tung Ka Lo menyerbu ke timur. Tung Ka Lo wafat. Muk Ming naik tahta. Tentara Ji Pang Kang (pasukan dari Jipang dipimpin Arya Penangsang, cucu Jin Bun dari Raden Kikin atau Pangeran Seda Lepen, anak sulung Jin Bun) merebut Demak. Ji Pang Kang adalah juga cucu Jin Bun. Perang saudara di Demak. Kecuali masjid, seluruh keraton dan kota Demak musnah. Tentara Muk Ming terdesak mundur dan bertahan di galangan kapal Semarang. Galangan kapal habis dibakar tentara Ji Pang Kang. Muk Ming wafat beserta putranya. Tentara Ji Pang diserang pula oleh tentara Peng King Kang (Jaka Tingkir dari Pengging, Jaka Tingkir adalah menantu Sultan Trenggono yang juga cucu Adipati Dayaningrat). Ji Pang Kang wafat. Peng King Kang mendirikan kerajaan di pedalaman (Pajang). Habis riwayat raja-raja Islam turunan Tionghoa/Yunan di Demak. Galangan kapal di Semarang tidak dibuka kembali.
1552 Panglima tentara Demak (Toh A Bo) setelah seperempat abad datang lagi ke Sembung sendiri tanpa pasukan hendak bertapa di Sirindil, yang membuat heran Tan Eng Hoat. Tan Eng Hoat kecewa dengan perang saudara di Demak. Tan Eng Hoat meminta kepada bekas Panglima Demak untuk membimbing umat muslim di Sembung dan mendirikan kesultanan seperti Jin Bun. Walau sudah tua, bekas Panglima Demak setuju.
1552 - 1570 Dengan bantuan umat Tionghoa di Sembung, berdiri kesultanan Cirebon dengan kedudukan di kraton Kasepuhan yang sekarang dengan sultan bekas Panglima Demak. Sembung ditinggalkan dan menjadi kuburan Islam. Penduduk Sembung boyong sedesa dengan nama-nama Islam. Laporan Poortman ini bertentangan dengan cerita yang selama ini dipercaya, seperti yang ditulis Djamhur dkk (2006) bahwa pendiri Cirebon (yang identik dengan Tan Eng Hoat) adalah Pangeran Cakrabuana alias Walangsungsang alias Kiansantang, putra Prabu Siliwangi. Sedangkan Sunan Gunung Jati yang menjadi raja pertama Cirebon adalah anak dari Larasantang yang berarti keponakan dari Walangsungsang dari ayah keturunan Arab, bukan Pati Unus yang berdarah Tiongkok.
1553 Sultan Cirebon yang sudah tua menikah dengan putri Tan Eng Hoat. Pernikahan dikawal kemenakan yang masih muda bernama Tan Sam Cai.
1553 - 1564 Tan Eng Hoat dengan nama Pangeran Adipati Wirasenjaya menjadi vice roy bawahan kesultanan Cirebon yang banyak jasanya dalam pengembangan Islam di daerah Priangan Timur hingga Garut.
1564 Tan Eng Hoat wafat dalam ekspedisi ke Galuh yang beragama Hindu. Jenazahnya dimakamkan di sebuah pulau di tengah danau di Garut. Pada masa ini menurut Ayatrohaedi (2005), kerajaan Galuh telah bergabung kembali dengan kerajaan Sunda dan Kawali karena hubungan perkawinan dengan nama kerajaan baru Pajajaran. Galuh sendiri berubah menjadi kerajaan bawahan setingkat kadipaten. Menurut Saleh Danasasmita (2006) dalam 'Mencari Gerbang Pakuan dan Kajian Lainnya Mengenai Budaya Sunda' sehubungan dengan perkembangan kerajaan Islam di Majapahit, pusat kerajaan Pajajaran telah pindah dari Kawali yang dekat dengan Cirebon ke Pakuan yang terletak di sekitar Bogor.
1570 Sultan Cirebon yang pertama wafat dan digantikan oleh putranya yang lahir dari putri Cina. Karena raja masih belia, maka diwakilkan oleh Tan Sam Cai, suami dari Nurleila binti Abdullah Nazir Loa Sek Cong.
Demikian kurang lebih isi laporan Poortman.
Sebagai catatan tambahan, sebelum kedatangan Laksamana Cheng Ho tahun 1405, sebetulnya Agama Islam telah lama masuk ke Nusantara. Ayatrohaedi (2005) dalam Sundakala : Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-naskah Panitia Wangsakerta Cirebon dan Ekadjati (2005) dalam Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta menginformasikan bahwa di daerah Gresik, Jawa Timur, terdapat makam Islam bernama Fatimah binti Maimun yang wafat pada tahun 1082, dan di Pasai telah berdiri kerajaan Islam dengan raja Sultan Muhammad Saleh pada tahun 1014 - 1040, dan catatan niagawan Arab muslim bernama Sulaiman yang menyebutkan bahwa Maharaja Zabag berkuasa di Sribuza (Sriwijaya) pada tahun 851, yang berarti 650 tahun sebelum kedatangan Laksamana Cheng Ho di Nusantara.
Tidak tersangkal bahwa salah satu dampak kolonialisme Belanda di Indonesia adalah berpindahnya catatan-catatan penting Nusantara yang banyak mengandung nilai sejarah ke Negeri Belanda, mulai dari prasasti hingga buku-buku yang berupa kertas daluang maupun lontar. Salah satu contoh saja, seperti yang dilaporkan Suganda (2006) dalam Kampung Naga Mempertahankan Tradisi, bahwa kolonial Belanda telah membawa catatan-catatan tentang karuhun (leluhur) Kampung Naga dan Pangeran Singaparna, terutama catatan yang ditulis pada sebuah lempeng logam kuningan yang hingga sekarang tak lagi terdengar kabar keberadaannya.
Maka wajar jika kemudian bangsa Belanda justru lebih mengenal Nusantara ketimbang penduduk aslinya, dan wajar pula jika hingga detik ini alur sejarah bangsa kita masih dalam 'kendali' mereka. Namun sisi positifnya, kita berterima kasih pula bahwasanya dokumen-dokumen penting yang bernilai sejarah tersebut berada di tangan yang lebih ahli dan disiplin dalam hal pengarsipan, sehingga selalu masih terbuka kesempatan bagi para ahli kita di masa kini atau masa depan untuk melakukan penelitian tentang bangsanya sendiri.
Pustaka
Muljana, Slamet. 2009. Runtuhnya Kerajaan Hindu - Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. Cetakan ke-7. Penerbit PT LKiS Printing Cemerlang. Yogyakarta
Ekadjati, Edi. 2005. Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta. Penerbit PT Dunia Pustaka
Jaya. Jakarta
Ekadjati, Edi, dkk. 2006. Mencari Gerbang Pakuan dan Kajian Lainnya Mengenai Budaya
Sunda. Seri Sundalana. Penerbit Pusat Studi Sunda. Bandung
Ayatrohaedi. 2005. Sundakala : Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-naskah
Panitia Wangsakerta Cirebon. Penerbit PT Dunia Pustaka Jaya. Jakarta
Suganda, Her. 2006. Kampung Naga Mempertahankan Tradisi. Penerbit PT Kiblat Buku
Utama. Bandung
Djamhur, Ibrahim, dan Yakin. 2007. Jejak Langkah Islam di Depok : Kembali ke Akar
sejarah kembali ke Sumber Syariah. Penerbit Majelis Ulama Indonesia Kota Depok. Depok
__________________

Artikel tentang muslim Tionghoa ini cukup menarik, banyak hal baru terutama sehubungan kedatangan Cheng Ho ke Nusantara dan para Walisongo yang merupakan turunan muslim Tionghoa.
BalasHapusArtikel ini menampilkan wajah 'wajar' dari beberapa tokoh yang selama ini terlalu disakralkan (Walisongo), sebaliknya memberi kesan lebih mulia pada tokoh lain yang selama ini tidak lebih dominan dari Walisongo.
Informasi tentang leluhur Sultan Cirebon sangat menarik minat untuk tahu lebih banyak.
Apabila narasumber dari Poortman bisa dipercaya, maka harus ada penulisan ulang pada sebagian sejarah nasional kita.
Kronik di kelenteng Sam po kong semarang yang merupakan dasar laporan portman sangat tidak bisa dijadikan sebagai sumber referensi karena lebih berbau politis daripada sebagai sumber sejarah( bandingkan dengan referensi lain berupa babad ada spt : babad cirebon, babad banten dan beberapa naskah lainnya). bahkan penulisnya tidak diketahui beberapa penelitian menyebutkan bahwa kronik itu dibuat oleh orang2 tionghoa untuk siasat pembauran mereka agar lebih dapat diterima di nusantara khususnya tanah jawa. bahkan putri campa juga bukan berasal dari china (yang hingga kini masih jadi perdebatan apakah campa itu kamboja atau Pasai/Aceh ?) peyebutan jin bun sama dengan penyebutan kung ta bu mi (kerthabumi raja majapahit) pa bu ta la dll nya lebih karena permasalahan dialek, juga sebutan swan liong (yg artinya naga berlian) lebih mengarah gelar2 yang memang orang tionghoa mengatas namakan kepada seseorang atas kedudukan atau lainnya bukan kepada geneologi nya. juga kepada sunan ampel dll nya, coba baca sumber2 lain, karena memang kronik po kong jauh lebih berbau politik daripada sumber sejarah hal itu sudah umum pada saat itu spt juga hikayat atau babad2 yang berlebihan tentang seorang tokoh atau raja pada masa masa lalu.yang diceritakan sangat berlebihan untuk mendapatkan legitimasi dari rakyat atau pihak2 lain
BalasHapusternyata hingga sekarang para peneiti sejarah belum memberikan komentar serius terhadap tulisan profesor Muljana tentang msalah ini.padahal komentar serius dari pihak yang kompeten sangat perlu, bak komentar dukungan maupun bantahan.
BalasHapusIkut lomba blog depok ya mas ?? Saya lihat belum pasang tag "lombablogdepok 17 Juli - 17 September 2010". Kalau gak salah itu salah satu syaratlombanya...
BalasHapusSetelah lomba tag dan gambar sy delete kembali.
HapusMemang ada 1-2 yg blm sempat ganti tag. Thanx Yulia sdh mengingatkan.
BalasHapus