Tanpa kejernihan hidup yang bagaimana, manusia bisa berdamai dengan kematian ? Tak ada kebaikan yang tak berbalas, tak ada keburukan yang tak bersanksi. My wisdom goes over the sea of wild wisdom

30 September 2009

Kontribusi Etnis Tionghoa pada Penyebaran Islam Abad XIII-XIV di Nusantara

Oleh :
Hamdan Arfani

Raden Fatah, Raja pertama Demak, bernama asli Jin Bun. Jin Bun adalah anak Raja Majapahit Prabu Kertabumi dari istri yang berasal dari Cina anak dari saudagar bernama Ban Hong. Setelah dewasa Jin Bun belajar agama kepada Bong Swi Ho alias Raden Rahmat alias Sunan Ampel yang berasal dari Campa (Kamboja) cucu dari Bong Tak Keng, Raja Campa. Pada 1445 Bong Swi Ho mengunjungi bibinya yang juga istri raja Majapahit Prabu Wikrawardana atau Hyang Wisesa (dari istri lain, yakni permaisuri Kusumawardani anak hayam Wuruk, Wikrawardana mempunyai anak bernama Rani Suhita yang menjadi raja sebelum Prabu Kertabumi). Di tanah Jawa, Bong Swi Ho menikah dengan anak dari Gan Eng Cu (alias Aria Teja atau Nambe), mantan Bupati Manila (Filipina) yang telah ditempatkan di Tuban sebagai Ngabei, yang juga ayah dari Gan Si Cang alias Raden Said atau Sunan Kalijaga. Sementara itu, adik Gan Eng Cu yang berarti pula paman dari Gan Si Cang yang bernama Gan Eng Wan (alias Wira), diangkat menjadi Bupati Tuban dengan nama baru Tumenggung Wilatikta. Tumenggung Wilatikta adalah bupati pertama Majapahit yang beragama Islam. 

Sedemikian akrab hubungan Majapahit dengan Tiongkok, sehingga dengan leluasa Raja Tiongkok menawarkan bantuan 'keamanan' yang amat disambut baik Majapahit. Bantuan keamanan Tiongkok terealisasi dengan penugasan Laksamana Sam Po Bo (Cheng Ho) tahun 1402 yang ternyata memiliki misi khusus penyebaran agama Islam di Asia Tenggara terutama Nusantara. Dalam penyebaran Agama Islam, Sam Po Bo melibatkan pejabat Majapahit muslim beretnis Tionghoa, yang kebetulan banyak diantaranya yang masih berkerabat (hubungan keluarga) dengan pejabat-pejabat dari Tiongkok. Sehingga dalam menjalankan tugas pemerintahan Majapahit, sekaligus pula menjalankan tugas dakwah Islam yang dikoordinasi oleh Tionghoa yang dalam hal ini adalah Laksamana Sam Po Bo.

Demikianlah uraian potongan laporan Poortman sebagai suatu prae advies kepada Pemerintah Hindia Belanda tahun 1928 yang menerangkan kontribusi etnis Tionghoa pada penyebaran Islam abad ke-13 dan 14 di Nusantara, dimana peran Wali Songo sangat strategis. Bagi orang kebanyakan, informasi yang menyebutkan para Wali Songo adalah keturunan Tionghoa mungkin menjadi pengetahuan baru.

Pada tahun 1964 terpublikasi sebuah buku berjudul Tuanku Rao yang ditulis oleh Ir. Mangaraja Onggang Parlindungan, yang pada bagian lampiran terdapat informasi penting tentang kontribusi etnis Tionghoa dalam penyebaran Islam abad ke-14 dan 15 di Nusantara yang bersumber dari Poortman. Poortman pada tahun 1928 dengan kapasitasnya sebagai Residen Kolonial Hindia Belanda pernah menggeledah dan menyita catatan-catatan penting terutama dari Kelenteng Sam Po Khong di Semarang (Jawa Tengah) dan Talang (Cirebon, Jawa Barat). Konon catatan yang disita dari Kelenteng Semarang saja sebanyak tiga bak pedati dan sebagian berusia di atas 400 tahun. Apa yang tertulis dalam Tuanku Rao rupanya menarik minat Prof. Dr. Slamet Muljana yang kemudian menindaklanjuti dengan upaya penelitian dan publikasi pada International Congress of Orientalists di Ann Arbor Amerika Serikat pada tahun 1967, kemudian penerbitan sebuah buku pada tahun 1968. Meski Muljana telah mempublikasikan pada tahun 1960-an, namun tulisan tentang kontribusi etnis Tionghoa pada penyebaran Islam di Nusantara abad XIII-XIV sempat mengalami 'pembredelan' dan dilarang untuk diterbitkan selama rezim Orde Baru sehingga masyarakat luas baru dapat menjumpainya kembali mulai tahun 2005, itupun hanya berupa ringkasannya saja.

Seperti yang dijelaskan oleh Poortman sendiri dalam laporannya, bahwa penggeledahan Klenteng Sam Po Khong berawal dari tugas rahasia yang diembannya untuk memastikan berita bahwa Raden Fatah, Sultan Demak pertama, adalah beretnis Tionghoa dengan nama Jin Bun. Secara kebetulan pada tahun 1928 terjadi instbilitas politik yang dimotori oleh orang komunis, yang kemudian dimanfaatkan Poortman sebagai dalih untuk melakukan penyitaan dokumen-dokumen di beberapa Klenteng, terutama Klenteng Sam Po Khong di Semarang dan Talang, setelah sebelumnya diketahui bahwa klenteng-klenteng tersebut terbiasa mencatat peristiwa-peristiwa penting yang berhubungan dengan klenteng.

Laporan hasil penelitian Poortman tentang hal di atas saat ini disimpan di Gedung Negara Rijswijk, Netherland. Sedangkan tentang keberadaan dokumen asli yang disita dari Klenteng Sam Po Khong pada tahun 1928 tidak pernah disebutkan keberadaannya.

Di bawah ini kami sajikan sebagian dari laporan Poortman yang bersumber dari catatan Klenteng Sam Po Khong tersebut, namun perlu ditegaskan bahwa meski telah disosialisasikan pada forum internasional di tahun 1967, namun apa yang tertulis di bawah ini masih merupakan bahan penelitian lebih lanjut para ahli. Kiranya untuk dijadikan sumber sejarah masih dibutuhkan pembuktian keberadaan naskah asli sitaan dari Klenteng Sam Po Kong, bahkan pembuktian bahwa tokoh Residen Poortman sebagai tokoh historis.

Ringkasan Laporan Poortman Berdasar Catatan Klenteng Sam Po Khong Semarang dan Talang

Uraian Ringkasan Laporan Poortman kurang lebih seperti di bawah ini dan telah kami beri tambahan penjelasan dari sumber lain.

1405 - 1425 Armada Tiongkok dinasti Ming di bawah Laksamana Haji Sam Po Bo (Ceng Ho) berada di perairan Asia Tenggara. Pada 1415 menara mercu suar dibangun di Gunung Jati oleh Kung Wu Ping (Sam Po Bo alias Cheng Ho) keturunan dari Kung Hu Cu. Di Sembung, Sirindil, dan Talang dibentuk masyarakat muslim Tionghoa.

1407 (Atas permintaan majapahit) Armada Tiongkok Laksamana Sam Po Bo membebaskan Kukang (wilayah Palembang) yang sudah turun temurun menjadi sarang perampok orang-orang Tionghoa non muslim dari Hokkian. Cen Cu Yi, kepala perampok, ditawan dan dihukum mati di Peking. Didibentuk masyarakat Tionghoa muslim pertama di Kukang. Pada tahun itu pula, dibentuk masyarakat muslim Tionghoa di Sambas, Kalimantan.

1413 Armada Lasamana Sam Po Bo singgah di Semarang selama satu bulan untuk perbaikan kapal. Sam Po Bo, Ma Huan, dan Fe Tsin sering sekali datang ke masjid Tionghoa Hanafi di Semarang untuk melakukan sembahyang. Bong Tak Keng (kakek Sunan Ampel) di tempatkan di Campa. Bong Tak Keng menempatkan Haji Gan Eng Cu (ayah dari Sunan Kalijaga) di Manila (Filipina).

1423 Haji Gan Eng Cu (Aria Teja) dipindahkan ke Jawa kemudian karena jasanya diberi gelar A Lu Ya (Aria) oleh Raja Majapahit Su King Ta (Rani Suhita) yang memerintah pada tahun 1427-1447.

1424 - 1449 M Hong Fu ditempatkan sebagai duta besar Tiongkok untuk Majapahit. Ma Hong Fu adalah menantu Bong Tak Keng.

1425 - 1431 Laksamana Sam Po Bo diangkat menjadi gubernur di Nan King otomatis sebagai Wali Raja Tiongkok. Di masjid Hanafi di Semarang diadakan sembahyang hajat dan doa selamat untuk Sam Po Bo.

1430 Laksamana Sam Po Bo merebut Tu Ma Pan di Jawa Timur dan menyerahkan daerah itu kepada raja Su King Ta (Rani Suhita). Gang Eng Wan, saudara Gan Eng Cu (ayah Sunan Kalijaga) dijadikan gubernur di Tu Ma Pan, ialah Bupati pertama majapahit yang beragama Islam.

1431 Laksamana sam Po Bo wafat. Masyarakat Tionghoa muslim di Semarang melakukan sholat gaib.

1436 Haji Gan Eng Cu pergi ke Tiongkok menghadap Kaisar Yang Yu. Kaisar Yang Yu memberikan kepada haji Gan Eng Cu tingkatan dan pakaian Mandarin Besar lengkap dengan tanda pangkat (tanda penghargaan) berupa ikat pinggang emas.

1443 Swan Liong kepala pabrik mesiu di Semarang ditempatkan oleh Haji Gan Eng Cu sebagai Kapten Cina di Kukang (Palembang) yang sering diserang oleh bajak laut Tionghoa non muslim.

1445 Bong Swi Ho (Raden Rahmat atau Sunan Ampel) diperbantukan kepada Swan Liong di Kukang. Bong Swi Ho adalah cucu dari Haji Bong Tak Keng di Campa.

1446 Bong Swi Ho singgah di masyarakat Tionghoa muslim di Semarang.

1447 Bong Swi Ho menikah dengan putri Gan Eng Cu di Tuban (sehingga menjadi kakak ipar Gan Si Cang atau Raden Said alias Sunan kalijaga).

1447 - 1451 Bong Swi Ho ditugaskan oleh Gan Eng Cu ke Bangil /muara Brantas Kiri (kali Porong).

1448 Bupati Gan Eng Wan (Tumenggung Wilatikta atau Aria Suganda) terbunuh oleh orang-orang Hindu Jawa dalam kerusuhan di Tu Ma Pan.

1449 Duta Besar Tiongkok Haji Ma Hong Fu singgah ke Semarang dalam perjalanan kembali ke Tiongkok. Istri Ma Hong Fu telah wafat dan dimakamkan secara islam di Majapahit.

1450 - 1475 Kekuasaan dinasti Ming telah merosot, armada Tiongkok tidak pernah datang lagi ke Majapahit. Perkembangan Islam turut merosot pula, banyak masjid yang berubah menjadi Klenteng lengkap dengan Patung Demi God Sam Po Kong di setiap mimbarnya. Masjid di Sirindil sudah menjadi pertapaan, masjid di Talang menjadi klenteng Sam Po Kong. Sebaliknya, perkembangan Islam di Sembung maju pesat. Haji Bong Tak Keng dan Haji Gan Eng Cu wafat, Bong Swi Ho berinisiatif mengambil alih koordinasi dakwah Islam di Jawa, Kukang, dan Sambas, tanpa berhubungan lagi dengan Tiongkok. Bong Swi Ho mengganti bahasa komunikasi Tiongkok dengan bahasa Jawa.

1451 Campa yang beragama Islam Hanafi direbut oleh orang beragama Budha dari Sing Fu An (Pnom Penh). Bong Swi Ho pindah ke Ngampel.

1451 - 1457 Sepeninggal Bong Swi Ho, masjid di Jiaotung (Bangil) berubah menjadi Klenteng, orang Jawa muslim di sana masih sangat sedikit. Masyarakat Jawa muslim mulai terbentuk di Ngampel dan semakin kuat hingga ke Madura. Koordinasi dengan Tuban, Kukang, dan Sambas tetap terjalin.

1445 Kota Jiaotung hilang dilanda banjir. Pelayaran kali Porong menjadi sepi.

1456 - 1474 Swan Liong di Kukang membesarkan dua orang peranakan Tionghoa yang lahir dari ibu Tionghoa, yakni Jin Bun yang katanya anak dari Kung Ta Bu Mi dan Kin San (Jin Bun adalah anak Prabu Kertabumi yang lebih dikenal dengan nama Raden Fatah, sedangkan Kin San adalah saudara seibu Jin Bun yang dikenal juga dengan nama Husein atau Kusen).

1474 Jin Bun dan Kin San singgah di Masjid Hanafi Semarang dalam perjalanan menemui Bong Swi Ho di Ngampel. Dalam Masjid Hanafi Semarang, Jin Bun menangis melihat ada patung Sam Po Kong di dalamnya. Ia berdoa semoga dapat mendirikan masjid yang tidak akan lagi berubah menjadi Klenteng di Semarang.

1475 Jin Bun ditempatkan oleh Bong Swi Ho di daerah tak bertuan di sebelah timur Semarang. Jin Bun mendapat tugas membentuk masyarakat muslim baru sebagai pengganti masyarakat muslim Tionghoa di Semarang yang telah murtad. Kin San diperintah menjadi barisan kelima di Majapahit karena sepeninggal Ma Hong Fu tidak ada lagi sumber berita bagi orang Tionghoa. Kin San melamar ke Majapahit dengan menunjukkan keahliannya membuat mercon (petasan) yang amat disukai Prabu Kertabumi.

1475 - 1518 Dengan tangan besi Jin Bun menjadi penguasa di Demak yang baru menjadi kerajaan Islam.

1447 Jin Bun menguasai semarang dengan kekuatan 1.000 orang pasukan berani mati. Jin Bun mendahulukan Klenteng Sam Po Kong dan tidak membunuh muslim Tiongkok yang telah murtad. Orang Tiongkok non muslim Semarang mendukung kerajaan Islam Demak. Atas permintaan Bong Swi Ho, raja Kung Ta Bu Mi (Kertabumi) mengangkat Jin Bun sebagai bupati Bing To Lo (Bintara) yang berkedudukan di Demak dengan nama Pangeran Jin Bun. Jin Bun menghadap Kertabumi dan diakui oleh Kertabumi sebagai anaknya.

1478 Bong Swi Ho wafat di Ngampel. Jin Bun tidak melayat ke Ngampel namun dengan pasukannya merebut pedalaman Jawa, sedangkan Bong Swi Ho seumur hidup tidak pernah mengizinkan penggunaan senjata terhadap orang-orang Jawa yang masih beragama Hindu. Jin Bun menaklukkan Majapahit. Kung Ta Bu Mi (Kertabumi) ditawan dan dibawa ke Demakan diperlakukan dengan sangat hormat selaku ayahnya. Jin Bun memerintahkan mendirikan masjid yang baru di Semarang.

1478 - 1529 Kin San selama setengah abad menjadi Bupati Semarang yang sangat toleran menjadi bapak rakyat, melindungi segala bangsa dan agama. Gan Si Cang (Raden Said alias Sunan kalijaga), seorang putra yang murtad dari mendiang Haji Gan Eng Cu, ditunjuk sebagai kapten Cina non muslim di Semarang. Kin San dan Gan Si Cang mendirikan kembali penggergajian kayu dan galangan kapal yang telah tiga turunan ditinggalkan, sisa peninggalan Sam Po Bo.

1479 Seorang putra (Bong Ang atau Sunan Bonang, anak Bong Swi Ho) dan seorang bekas murid Bong Swi Ho (Sunan Giri) datang melihat-lihat galangan kapal dan klenteng sam Po Bo di Semarang. Mereka berdua tidak pandai bahasa Tionghoa.

1481 Atas permintaan tukang-tukang di galangan kapal, Gan Si Cang memohon kepada Kin San agar masyarakat Tionghoa non muslim diperbolehkan secara sukarela membatu penyelesaian Masjid Demak. Permintaan tersebut dikabulkan oleh Jin Bun.

1488 Pa Bu Ta La (Prabu Daha atau Batara Prabu Girindrawardana), seorang menantu dari Kung Ta bu Mi (Kertabumi) menjadi Bupati Majapahit yang beragama Hindu. Majapahit menjadi kerajaan bawahan Demak.

1509 Yat Sun (Pati Unus), seorang putra dari Jin Bun, mendampingi Kin San di galangan kapal Semarang. Pembuatan kapal dilipatgandakan karena Yat Sun katanya hendak merebut Moa Lok Sa (Malaka) dengan armada Demak.

1512 Yat Sun sangat tergesa-gesa menyerang Moa Lok Sa yang sudah direbut oleh orang-orang biadab berambut merah dan yang mempunyai senjata-senjata api jarak jauh.

1513 Seorang bangsa Ta Cih bernama Ta Jik Su, kapalnya rusak dan diperbaiki di galangan kapal semarang. Ja Tik Su diantar Kin San serta Yat Sun ke Demak. Kapal model Ta Jik Su ditiru untuk memperbesar kecepatan dari kapal-kapal besar model jung Tiongkok.

1517 Atas undangan Pa Bu Ta la orang-orang biadab dari Moa Lok Sa (Portugis) datang berdagang dengan orang-orang Majapahit. Jin Bun untuk kali kedua menyerang Majapahit. Kota dan Keraton habis, tapi Pa Bu Ta La dan keluarga tetap menjadi bupati di Majapahit karena salah satu istri Pa Bu T La adalah adik bungsu Jin Bun sendiri.

1518 Jin Bun wafat dalam usia 63 tahun.

1518 - 1521 Yat Sun (Pati Unus) memerintah selaku raja di Demak. Pati Unus memiliki 3 putra lelaki, yang pertama Pangeran Seda Lepen alias Raden Kikin, yang tengah bernama Trenggono (Tung Ka Lo), dan yang bungsu bernama Pangeran Timur (Toh A Bo).

1521 Yat Sun menyerang Moa Lok Sa kembali. Yat Sun wafat. Terjadi huru-hara tentang penggantinya di Demak. Pa Bu Ta La melakukan hubungan dengan Moa Lok Sa dan Tiongkok.

1521 - 1546 Tung Ka Lo (Trenggono) menjadi raja di Demak.

1526 Kin San yang sudah tua namun pandai berbahasa Tiongkok bersama Panglima Demak Toh A Bo dikirim ke Sembung (Cirebon) untuk menundukkan orang-orang Tionghoa. Dari Talang pergi ke Sirindil dimana Haji Tan Eng Hoat keturunan Hokkian, imam Sembung, sedang melakukan tapa. Di Sembung, Tan Eng Hoat diberi gelar atas nama raja Demak berbunyi Mu La Na Fu Di Li Ha Na Fi (Maulana Ifdil Hanafi). Tentara Demak satu bulan bertamu pada Tan Eng Hoat.

1527 Pa Bu Ta La wafat. Panglima Toh A Bo (Sunan Gunung Jati), seorang putra Tung Ka Lo, dengan tentara Demak menduduki kraton Majapahit. Putra-putri Tung Ka Lo tak bersedia masuk Islam dan melarikan diri ke Pasuruan dan Panarukan. Pada tahun yang sama Demak menyerbu wilayah Pajajaran di Banten yang akan dijadikan markas Portugis (Ayatrohaedi, 2006).

1529 Kin San wafat dalam usia 74. Jenazahnya diantar ke Demak. Ikut seluruh penduduk Semarang yang muslim maupun non muslim.

1529 - 1546 Muk Ming (Sunan Prawoto, anak Trenggono atau Tung Ka Lo) menggantikan Kin San.

1541 - 1546 Dengan bantuan masyarakat Tionghoa non muslim, Muk Ming menyelesaikan 1.000 kapal jung besar yang masing-masing memuat 400 orang prajurit. Tung Ka Lo hendak merebut pulau-pulau rempah di laut timur.

1546 Tung Ka Lo menyerbu ke timur. Tung Ka Lo wafat. Muk Ming naik tahta. Tentara Ji Pang Kang (pasukan dari Jipang dipimpin Arya Penangsang, cucu Jin Bun dari Raden Kikin atau Pangeran Seda Lepen, anak sulung Jin Bun) merebut Demak. Ji Pang Kang adalah juga cucu Jin Bun. Perang saudara di Demak. Kecuali masjid, seluruh keraton dan kota Demak musnah. Tentara Muk Ming terdesak mundur dan bertahan di galangan kapal Semarang. Galangan kapal habis dibakar tentara Ji Pang Kang. Muk Ming wafat beserta putranya. Tentara Ji Pang diserang pula oleh tentara Peng King Kang (Jaka Tingkir dari Pengging, Jaka Tingkir adalah menantu Sultan Trenggono yang juga cucu Adipati Dayaningrat). Ji Pang Kang wafat. Peng King Kang mendirikan kerajaan di pedalaman (Pajang). Habis riwayat raja-raja Islam turunan Tionghoa/Yunan di Demak. Galangan kapal di Semarang tidak dibuka kembali.

1552 Panglima tentara Demak (Toh A Bo) setelah seperempat abad datang lagi ke Sembung sendiri tanpa pasukan hendak bertapa di Sirindil, yang membuat heran Tan Eng Hoat. Tan Eng Hoat kecewa dengan perang saudara di Demak. Tan Eng Hoat meminta kepada bekas Panglima Demak untuk membimbing umat muslim di Sembung dan mendirikan kesultanan seperti Jin Bun. Walau sudah tua, bekas Panglima Demak setuju.

1552 - 1570 Dengan bantuan umat Tionghoa di Sembung, berdiri kesultanan Cirebon dengan kedudukan di kraton Kasepuhan yang sekarang dengan sultan bekas Panglima Demak. Sembung ditinggalkan dan menjadi kuburan Islam. Penduduk Sembung boyong sedesa dengan nama-nama Islam. Laporan Poortman ini bertentangan dengan cerita yang selama ini dipercaya, seperti yang ditulis Djamhur dkk (2006) bahwa pendiri Cirebon (yang identik dengan Tan Eng Hoat) adalah Pangeran Cakrabuana alias Walangsungsang alias Kiansantang, putra Prabu Siliwangi. Sedangkan Sunan Gunung Jati yang menjadi raja pertama Cirebon adalah anak dari Larasantang yang berarti keponakan dari Walangsungsang dari ayah keturunan Arab, bukan Pati Unus yang berdarah Tiongkok.

1553 Sultan Cirebon yang sudah tua menikah dengan putri Tan Eng Hoat. Pernikahan dikawal kemenakan yang masih muda bernama Tan Sam Cai.

1553 - 1564 Tan Eng Hoat dengan nama Pangeran Adipati Wirasenjaya menjadi vice roy bawahan kesultanan Cirebon yang banyak jasanya dalam pengembangan Islam di daerah Priangan Timur hingga Garut.

1564 Tan Eng Hoat wafat dalam ekspedisi ke Galuh yang beragama Hindu. Jenazahnya dimakamkan di sebuah pulau di tengah danau di Garut. Pada masa ini menurut Ayatrohaedi (2005), kerajaan Galuh telah bergabung kembali dengan kerajaan Sunda dan Kawali karena hubungan perkawinan dengan nama kerajaan baru Pajajaran. Galuh sendiri berubah menjadi kerajaan bawahan setingkat kadipaten. Menurut Saleh Danasasmita (2006) dalam 'Mencari Gerbang Pakuan dan Kajian Lainnya Mengenai Budaya Sunda' sehubungan dengan perkembangan kerajaan Islam di Majapahit, pusat kerajaan Pajajaran telah pindah dari Kawali yang dekat dengan Cirebon ke Pakuan yang terletak di sekitar Bogor.

1570 Sultan Cirebon yang pertama wafat dan digantikan oleh putranya yang lahir dari putri Cina. Karena raja masih belia, maka diwakilkan oleh Tan Sam Cai, suami dari Nurleila binti Abdullah Nazir Loa Sek Cong.

Demikian kurang lebih isi laporan Poortman.


Sebagai catatan tambahan, sebelum kedatangan Laksamana Cheng Ho tahun 1405, sebetulnya Agama Islam telah lama masuk ke Nusantara. Ayatrohaedi (2005) dalam Sundakala : Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-naskah Panitia Wangsakerta Cirebon dan Ekadjati (2005) dalam Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta menginformasikan bahwa di daerah Gresik, Jawa Timur, terdapat makam Islam bernama Fatimah binti Maimun yang wafat pada tahun 1082, dan di Pasai telah berdiri kerajaan Islam dengan raja Sultan Muhammad Saleh pada tahun 1014 - 1040, dan catatan niagawan Arab muslim bernama Sulaiman yang menyebutkan bahwa Maharaja Zabag berkuasa di Sribuza (Sriwijaya) pada tahun 851, yang berarti 650 tahun sebelum kedatangan Laksamana Cheng Ho di Nusantara.

Tidak tersangkal bahwa salah satu dampak kolonialisme Belanda di Indonesia adalah berpindahnya catatan-catatan penting Nusantara yang banyak mengandung nilai sejarah ke Negeri Belanda, mulai dari prasasti hingga buku-buku yang berupa kertas daluang maupun lontar. Salah satu contoh saja, seperti yang dilaporkan Suganda (2006) dalam Kampung Naga Mempertahankan Tradisi, bahwa kolonial Belanda telah membawa catatan-catatan tentang karuhun (leluhur) Kampung Naga dan Pangeran Singaparna, terutama catatan yang ditulis pada sebuah lempeng logam kuningan yang hingga sekarang tak lagi terdengar kabar keberadaannya.

Maka wajar jika kemudian bangsa Belanda justru lebih mengenal Nusantara ketimbang penduduk aslinya, dan wajar pula jika hingga detik ini alur sejarah bangsa kita masih dalam 'kendali' mereka. Namun sisi positifnya, kita berterima kasih pula bahwasanya dokumen-dokumen penting yang bernilai sejarah tersebut berada di tangan yang lebih ahli dan disiplin dalam hal pengarsipan, sehingga selalu masih terbuka kesempatan bagi para ahli kita di masa kini atau masa depan untuk melakukan penelitian tentang bangsanya sendiri.



Pustaka

Muljana, Slamet. 2009. Runtuhnya Kerajaan Hindu - Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. Cetakan ke-7. Penerbit PT LKiS Printing Cemerlang. Yogyakarta

Ekadjati, Edi. 2005. Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta. Penerbit PT Dunia Pustaka
Jaya. Jakarta

Ekadjati, Edi, dkk. 2006. Mencari Gerbang Pakuan dan Kajian Lainnya Mengenai Budaya
Sunda
. Seri Sundalana. Penerbit Pusat Studi Sunda. Bandung

Ayatrohaedi. 2005. Sundakala : Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-naskah
Panitia Wangsakerta Cirebon
. Penerbit PT Dunia Pustaka Jaya. Jakarta

Suganda, Her. 2006. Kampung Naga Mempertahankan Tradisi. Penerbit PT Kiblat Buku
Utama. Bandung

Djamhur, Ibrahim, dan Yakin. 2007. Jejak Langkah Islam di Depok : Kembali ke Akar
sejarah kembali ke Sumber Syariah
. Penerbit Majelis Ulama Indonesia Kota Depok. Depok

__________________


27 September 2009

SEJARAH KELUARGA

Sejarah keluarga atau  "cerita keluarga" urgensinya sering tidak terpikirkan oleh setiap keluarga. Pentingnya setiap keluarga memiliki catatan yang disebut "sejarah keluarga", berangkat dari kenyataan bahwa banyak klan-klan kuno semakin jaya dalam segala hal dari masa ke masa, yang salah satu sebab utamanya adalah mereka secara konsisten menuliskan keunggulan-keunggulan keluarganya sehingga memunculkan motivasi dan hasrat untuk berprestasi. 

Betapa banyak orang-orang besar yang muncul dari keluarga yang bangga dengan sejarah keluarganya. Mengutip David Mac Clelland dalam buku karya Jalaluddin Rakhmat—Catatan Kang Jalal : Visi Media, Politik, dan Pendidikan (1997)—bahwasanya ada hubungan antara rasa bangga dengan hasrat berprestasi. Rasa bangga positif dapat dikembangkan dari dasar sejarah yang baik. Oleh karena itu, hal-hal baik memang perlu dipublikasikan untuk membangun citra diri (self image) dan harga diri positif (self esteem). Sebaliknya, informasi negatif yang tidak produktif harus dipendam dalam-dalam.

Mempublikasikan hal baik dan memendam hal buruk—yang tidak produktif jika dibicarakan—bukan hanya harus diterapkan untuk kepentingan keluarga, namun juga harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari di dalam masyarakat, kepada siapapun. Sebagaimana sifat Allah yang selalu menonjolkan keindahan dan menyembunyikan yang buruk, subhana man azhharal jamil wa sataral qabih.

Perlu pula diketahui bahwa fakta yang tidak tertulis lambat laun akan menjadi dongeng (mitologi) yang sukar dipertanggung jawabkan kebenarannya, demikian pula sebaliknya.

Pada banyak kesempatan saya seringkali berpesan kepada siswa-siswa saya untuk memulai menulis keunggulan-keunggulan keluarga masing-masing. Bahkan pernah pula saya meyakinkan beberapa orang tua siswa betapa pentingnya setiap keluarga memiliki catatan yang berisi hal-hal yang dapat diteladani oleh generasi di bawahnya.

Bukankah setiap orang menginginkan kebaikan, kemuliaan, dan keselamatan bagi anak-anaknya? Bukankah untuk itu setiap orang tua harus seringkali memberi nasehat atau berwasiat mengutarakan keinginan hatinya? Sayangnya betapa banyak orang tua yang baru berwasiat justru ketika ajal menjelang menjemput sehingga bukan saja tidak jelas apa pesan penting yang hendak disampaikannya itu, namun banyak pula yang gagal mengucapkan satu patah kata pun.

Apakah tidak lebih baik setiap nasehat dan wasiat itu ditulis, agar berkali-kali bisa dibaca kembali, sehingga tidak mudah terlupakan atau lekang dimakan waktu ?

Berikut ini simak dan hayatilah semangat yang terkandung pada potongan wasiat Badden Powell, Bapak Pandu sedunia, semoga kita dapat meneladani apa yang dicontohkannya:

Jika kamu pernah melihat sandiwara Peter Pan, kamu akan ingat, mengapa pemimpin bajak laut selalu membuat pesan-pesan sebelum meninggal. Itu karena ia takut kalau-kalau tak sempat lagi mengeluarkan isi hatinya jika saat ajalnya telah tiba. Demikianlah halnya diriku, meski saat ini waktu ajal itu belum tiba, namun kelak akan datang jua. Oleh karena itu, aku ingin menyanpaikan pesan kepadamu sekedar kata perpisahan untuk berpamitan …


Penulis :  
Hamdan A Batarawangsa









21 September 2009

PUASA SERUAN UNIVERSAL : Ketuhanan dan Kemanusiaan

Oleh
Hamdan Arfani


Setiap tahun kaum muslimin melaksanakan ritual puasa satu bulan penuh pada siang hari, kemudian setelah satu bulan ditutup dengan kewajiban berzakat sebelum shalat Ied.

Menarik, karena meski puasa ramadlan ditunaikan oleh hampir semua kaum muslimin, namun Allah SWT ternyata hanya menyeru kepada 'orang yang beriman', secara letterleg  bukan kepada kaum muslimin : Hai Orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu ...

Banyak penafsiran atas maksud 'orang yang beriman' di atas. Namun Al Qur'an menjelaskan bahwa yang dimaksud orang yang beriman adalah yang memiliki ciri-ciri : percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, percaya kepada datangnya hari kiamat beserta kehidupan setelah mati, dan melakukan kebajikan atau amal sholeh (Nurcholish Madjid).

Dengan demikian, tidak semua kaum muslimin (Islam) itu termasuk orang yang beriman, bahkan sebagian ulama menyebutkan bahwa tidak semua orang beriman itu adalah kaum muslimin! Hal ini berdasarkan hadits dialog Rasulullah SAW dengan Jibril tentang ISLAM, IMAN, DAN IHSAN yang masing-masing memiliki definisinya sendiri. 

Al Quran sebagai kitab suci  dari agama Islam yang kosmopolitan tidak menyeru kepada satu golongan saja, melainkan kepada seluruh manusia akhir jaman umat nabi terakhir Muhammad SAW.  Seruan puasa adalah seruan universal kepada seluruh umat manusia yang "terpanggil hatinya" atau "percaya" (beriman), lintas ras dan lintas agama. Iman, sejatinya adalah urusan privat antara individu dengan Tuhannya, tanpa penghalang legalitas apapun. 

Pada akhirnya, puasa selalu diiringi zakat. Hubungan puasa dan zakat sama dekatnya seperti sholat dan beramal shaleh (kebajikan). Ayat al Qur'an secara konsisten menghubungkan pasangan-pasangan kata tersebut. Hal ini merupakan penegasan bahwa jika inputnya puasa maka outputnya mestilah zakat, atau dengan terjemahan lain : jika inputnya Ketuhanan maka outputnya adalah kemanusiaan. Seperti juga halnya sholat yang diawali takbir dan diakhiri salam : diawali dengan hablumminallah, dan diakhiri dengan hablumminannas... Ketuhanan sepaket dengan kemanusiaan. 



10 September 2009

Inti Shalat : Berprasangka Baik Kepada Allah

Oleh :
HamdanA Batarawangsa

Sholat 5 waktu adalah oleh-oleh dari peristiwa maha hebat Isra Miraj Nabi Muhammad Saw yang sulit dicerna logika, tapi sangat menarik jika dihubungkan dengan fisika kuantum saat ini.

Secara syar’i, shalat adalah gerakan ibadat yang diawali takbir dan diakhiri salam. Gerakan ibadat shalat adalah berdiri, ruku, sujud, dan duduk. Apabila mencermati gerakan-gerakan shalat, maka secara psikis, gerakan yang dirasa paling dekat kepada Allah SWT adalah posisi sujud. Pada saat sujud itulah seorang hamba mempersembahkan cinta, takut, takjub, serta penyerahan jiwa dan raga kepada Allah Rabbul'alam.

Hal yang menarik, pada saat sujud shalat tersebut, kalimat yang diucapkan seorang hamba bukanlah permohonan ampun, bukan Allahu Akbar (Allah Maha Besar), dan lain-lain, melainkan kalimat tasbih Subhana Rabb… yang artinya Maha Suci Allah …

Apakah misteri di balik kalimat tasbih ? Ada seorang alim memberitahukan Penulis bahwa apabila kita mengucapkan kalimat yang berasal dari ayat-ayat Qur’an secara berulang-ulang dan penuh konsentrasi, maka si pelaku akan mendapatkan kesan hati yang berupa pemahaman sehubungan dengan apa yang diucapkan secara berulang tersebut, walaupun pada awalnya si pembaca tidak mengetahui makna harfiahnya. Wallahualam, sampai akhirnya Penulis membuktikan sendiri.

Maka pada suatu hari Penulis mengucapkan kalimat tasbih secara berulang-ulang dengan penuh konsentrasi. Penulis ingin merasakan kesan hati dari pengucapan tasbih tersebut.

Setelah sekian lama hingga berhari-hari, Penulis akhirnya merasakan kesan dari pengucapan tasbih, yakni kesan rasa kepasrahan, kepatuhan, dan penyerahan total kepada Allah SWT.

Adapun sebelum munculnya kesan-kesan tersebut, Penulis telah lebih dulu merasakan tumbuhnya rasa berprasangka baik kepada Allah SWT. Penulis merasakan kesan hati bahwa kalimat tasbih Subhana Rabb… yang artinya Maha Suci Tuhan…, berarti mensucikan Allah dari segala prasangka buruk kita.

Tasbih berarti mengingatkan kita bahwa apapun yang terjadi—yang membahagiakan ataupun yang menyedihkan—adalah yang terbaik untuk kita semua, bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Bijaksana, bahwa Allah adalah Sang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Akhirnya, tasbih adalah mempercayakan apapun hanya kepada Allah SWT. Jika sujud adalah gerakan inti dari shalat, maka inti dari shalat adalah berprasangka baik kepada Allah SWT. Hanyalah penyerahan total yang didasari prasangka baik, yang menjadi wujud sejati penyembahan seorang hamba kepada Tuhannya.

Jika wudhu adalah pembersihan, maka shalat adalah pelekatan. Dan hanyalah dengan penyerahan total, seorang hamba dapat 'mendekat-lekat' kepada Tuhannya, Allah Rabb al Alam.



Kampung Jemblongan Depok, 13 September 2007
1 Ramadhan 1425 H

Soal Matematika No.12

Diameter sebuah kerucut adalah 14 cm. Berapakah luas permukaan kerucut apabila diketahui tinggi kerucut = 10 cm !

Soal Matematika No.11

Sebuah kerucut berdiameter 12 cm. Jika ketinggiannya 8 cm, hitunglah :
a. luas selimutnya
b. luas alasnya
c. luas selimutnya

07 September 2009

Emansipasi Wanita: Jenis Perbudakan Baru ?

Oleh :
Jalaluddin Rakhmat

Emansipasi seharusnya membebaskan wanita dari perbudakan dan bukan malah menjerumuskan pada perbudakan baru. Pada masyarakat kapitalis, wanita telah menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Mereka dijadikan sumber tenaga kerja yang murah atau eksploitasi untuk menjual barang. Beberapa jenis industri mutakhir seperti mode, kosmetik, dan hiburan, hamper sepenuhnya memanfaatkan wanita. Pendidikan dan media menampilkan citra wanita yang penuh glamour – sensual dan fisikal. Pada masyarakat yang bebas, wanita didik untuk melepaskan segala ikatan normative kecuali kepentingan industri. Tubuh mereka dipertunjukkan untuk menarik selera konsumen. Mobil mewah tidaklengkap tanpa perempuan setengah telanjang tidur di atasnya, Kopi tidak enak jika tidak disajikan oleh perempuan belia yang seronok, rokok baru memuaskan jika diselipkan di sela bibir yang menantang.

Ketika wanita mulai memberontak peran yang diberikan oleh masyarakat industri, segera dituduh kolot. Ketika wanita berjilbab berbaris panjang di London dan Paris, masyarakat barat tercengang. Pemakaian jilbab bukan saja lambing kesucian, tapi juga mencerminkan penolakan terhadap peran wanita yang mengorbankan kewanitaannya di altar laba.

Kehadiran wanita di pasaran kerja, kegiatan mereka di pabrik-pabrik, perlombaan mereka mengejar karier, telah mengacaukan peran wanita. Kegelisahan wanita sekarang terjadi karena kekacauan peran (role confusion). Citra wanita yang menjadi rujukan (frame of reference) tumpang tindih. Ibunya mengajarkan untuk berkhidmat kepada suami, desakan ekonomi menuntutnya bekerja di samping lelaki yang bukan keluarganya. Anaknya meminta kehadiran ibu untuk menentramkan hatinya dan mendidiknya cara hidup yang baik. Persaingan karier mmaksanya untuk meninggalkan anak-anak bersama pembantunya.

Wanita sebenarnya tidak menghadapi dilema antara pekerjaan dan keluarga, antara karier dan anak-anaknya. Yang mereka hadapi adalah krisis identitas. Mereka memerlukan acuan untuk mendefinisikan peran mereka !

(Petikan dari artikel berjudul Sosok Ideal Wanita Muslimah; telah disunting agar lebih ringkas).
_______



03 September 2009

Kematian Seorang Pangeran

Oleh :
KH Abdurrahman Wahid


Pernah saya memperoleh permintaan untuk bertemu. Seorang teman menyatakan bahwa gurunya ingin berjumpa saya sebelum ia meninggalkan dunia fana ini. Orang itu adalah seorang guru kebatinan, yakni yang percaya kepada Tuhan dalam konteks kejawen, bukan konteks agama saya sendiri.

Tokoh itu adalah seorang Pangeran, yang oleh masyarakat setempat sudah tidak dikenal lagi dengan nama demikian. Ia dipanggil embah, alias kakek. Dahulunya Pangeran Papak, kini Mbah Papak, di Banyuwangi. Tinggalnya di kawasan hutan sepi pantai ujung timur pulau Jawa, lebih sejam berkendaraan mobil dari Kota Banyuwangi.

Sesampai di sana, yang saya jumpai adalah seorang tua yang sudah mersik kulitnya karena ketuaan. Mata sudah tidak melihat lagi. Sisa umur dihabiskan di atas bale-bale. Saya sampai ketika ia masih tertidur, karena demikianlah adanya. Sudah tidak merencanakan lagi antara bangun dan tidur, sewaktu-waktu bias bangun, sewaktu-waktu bias tidur pula.

Ketika masa tidurnya selesai, sepuluh menitan setelah kedatangan saya, ia langsung bertanya, “Siapa kamu?” Saya jawab bahwa nama saya adalah Abdurrahman Wahid. Dalam bahasa Jawa tentu. “Wakid?” Tanyanya dalam logat yang medok. “Kamu Islam ya?” Lanjut pertanyaannya. Setelah saya benarkan, ia langsung mengajukan pertanyaan yang membuat saya terpana: “Mengapa kamu tidak mau mengakui saya sebagai saudara sebangsa? Saya ini hongwilaheng, orang Budha”. Saya jawab, bahwa saya bersedia mengakuinya sebagai saudara sebangsa. “Berani jamin?” Tanyanya. “Saya jamin”, kata saya. Dan iapun menyatakan kebahagiannya dengan ucapan pendek saja: “Bahagialah kita semua kalau begitu”.

Beberapa waktu kemudian saya mendengar ia meninggalkan dunia fana ini, dan oleh murid-muridnya dinyatakan bahwa ia ‘mengundurkan’ saat kematiannya hanya untuk menunggu pertemuan dengan saya… (?)

Mengapakah saya terpana dengan pernyataan Pangeran Papak ? Karena disitulah saya menyadari, bahwa masih cukup banyak warga bangsa ini yang ketakutan dengan agama saya. Konon, agama saya datang dengan damai, melalui perdagangan dan perkawinan, melalui tasawuf, melalui pendidikan, dan seterusnya. Semuanya cara-cara damai.

Kalau memang klaim itu benar, mengapakah masih ada yang ketakutan kepada umat Islam di sini ?

(Tulisan di atas telah melalui proses editing agar lebih ringkas)

Gempa 7,3 SR di Tasikmalaya

Gempabumi Berkekuatan 7.3 SR Guncang Tasikmalaya

Gempabumi tektonik kembali terjadi. Hari ini tanggal 2 September 2009, telah terjadi gempabumi di laut dengan kekuatan gempa 7,3SR. Gempa yang berpusat di 142 km BaratDaya Tasikmalaya Jawa Barat dengan kedalaman 30km dirasakan hampir seluruh pulau Jawa.

Di Jakarta sendiri kekuatan gempa mencapai IV Skala MMI (Modified Mercalli Intensity). Sedangkan di Denpasar mencapai III Skala MMI. Gempa tersebut berpotensi tsunami. Namun setelah 1 jam setelah gempabumi, BMKG mencabut kesiagaan terhadap tsunami.

Menurut data yang diperoleh, tsunami memang terjadi, namun sangat kecil. Tercatat di sensor Tide Gauge yang dipasang di Pelabuhan Ratu, Tsunami setinggi 15cm. Sedangkan Korban jiwa menurut laporan saat ini mencapai 15 orang. Mereka tersebar di Tasikmalaya, Sukabumi dan Cianjur.

Adapun gempa susulan masih diperkirakan akan terjadi. Masyarakat di wilayah bencana diharapkan untuk tidak panik, dan tetap waspada akan gempa susulan. Dan jangan terpengaruh oleh isu-isu yang menyesatkan.

9/2/2009 11:53:43 AM>Akbar
(sumber : BMKG 2 September 2009)

02 September 2009

Tuhan dan Bajunya

Oleh :
KH Abdurrahman Wahid


Suatu ketika Sang Sufi Mansur al Hallaj melihat salah seorang muridnya memaki-maki seorang Nasrani. Al Hallaj segera menyimpang dari arah tempat kejadian itu dan seharian beliau tidak mau berbicara kepada Si Murid kasar tersebut.

Sang Murid lalu menjadi masygul hatinya. Maklum, orang tasawuf sangat bergantung pada kerelaan gurunya. Ditanyakan kepada Sang Guru, apa gerangan kesalahan yang telah diperbuatnya. Sang Sufi lalu menjawab, bahwa sifat Sang Murid yang selalu memandang rendah orang yang beragama lain itulah yang membuatnya tidak rela. Ketahuilah, demikian kira-kita kata sang Guru, bahwa Tuhan kamu dan Tuhan mereka adalah Tuhan Yang Satu jua, yang berbeda adalah ‘baju’ Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri. Kalau kau anggap baju Tuhan sama dengan Tuhan itu sendiri, maka adalah seorang musyrik, yakni orang yang mempersekutukan Tuhan. Maka yang demikian bukan seorang muslim lagi karena telah meninggalkan tauhid, faham pengesaan Tuhan.

Demikianlah, suatu masalah yang sangat sepele dan mudah difahami. Tapi sejarah semua agama justru menunjukkan ketidaksanggupan manusia untuk memahami kenyataan sederhana tersebut.

Bahwa Tuhan ada, bahwa Ia hanya satu, bahwa Ia menghendaki persaudaraan bagi kita semua. Kalaulah benar seseorang beriman kepada Tuhan, tentulah ia tidak akan membenci seseorang karena perbedaan agama. Itu berarti ia mengutamakan baju Tuhan, yaitu rumusan agamanya sendiri tentang hakikatNya, lebih dari kenyataan adanya Tuhan itu sendiri.

Saya seorang muslim karena ‘baju Tuhan’ yang saya percayai adalah rumusan Islam tentang tauhid. Saya yakin akan kebenaran rumusan tersebut. Adalah hak mereka untuk memperoleh kebenaran, sama dengan hak saya. Dan terserah nantinya Tuhan sendiri yang menimbang , apakah saya yang akan dibenarkan atau bukan, di hari akherat kelak.

Saya serahkan sepenuhnya kepada Tuhan, karena Ia-lah tempat menyerahkan diri. Sungguh bijak Al Hallaj yang membedakan antara Tuhan dan ‘baju’nya itu. Sayang ia tidak dimengerti oleh kaumnya, dan mati dibakar karena pembangkangannya terhadap ‘baju-baju Tuhan’ di jamannya. Tapi saya yakin, Al Hallaj tidak keberatan diperlakukan sedemikian itu. Bahwa ia akhirnya kembali kepada Sang Pemakai baju, itulah nilai yang lebih tinggi dari sekedar mencarikan pembenaran atas baju-baju yang ada. Di situlah terletak kemenangan Al Hallaj.

(tulisan di atas telah mengalami proses editing agar lebih ringkas).
_______

Hamdan A Batarawangsa
Pengelola Bataragema.Com