Tanpa kejernihan hidup yang bagaimana, manusia bisa berdamai dengan kematian ? Tak ada kebaikan yang tak berbalas, tak ada keburukan yang tak bersanksi. My wisdom goes over the sea of wild wisdom

01 Februari 2021

Soehaeri, Djiong, dan Pitoeng

Penulis : Hamdan Arfani

Seri Cerita Keluarga.  Seandainya museum rumah Pitoeng di kampung Marunda tidak ada, mungkin orang akan bingung dan menganggap tokoh legenda betawi tersebut hanya tokoh mitologi semata. Tapi bagi keluarga saya, tanpa adanya museum Pitoeng-pun, kami meyakini sepenuhnya bahwa Pitoeng si jagoan Betawi itu benar-benar pernah ada. Belakangan, dari berbagai sumber, banyak menguatkan bahwa tokoh Pitoeng adalah benar-benar tokoh historis.  

Ayah saya beberapa kali pernah bercerita tentang si Pitoeng, dan beliau mengatakan tentang keberadaan sebuah foto hasil jepretan di akhir tahun 1800-an. Pada foto tersebut terdapat gambar Pitoeng, kakek buyut saya yang bernama Haji Soehaeri , dan seorang tentara Belanda yang beragama Islam, bernama Sotene (Schot Hijne ?). Terakhir, foto tersebut berada pada kakek saya (cucu Haji Soehaeri, bernama Haji Abdul Manaf Bermawie). Namun sayang, sepeninggal kakek, keberadaan foto tersebut tidak jelas rimbanya. Menurut kabar, foto yang sama ada pula pada keluarga Mualim Jaeni di Gang Ketapang, Kepu, Kemayoran, Jakarta Pusat (Mualim Jaeni kyai nyentrik yang juga pandai main pukulan silat, masih berhubungan darah dengan Haji Soehaeri; rumah beliau waktu itu persis di depan masjid). 

Hubungan Pitoeng, Haji Soehaeri, dan Sotene belum saya ketahui. Kemungkinan, Haji Soehaeri dan Sotene adalah mentor sekaligus rekan kerja, karena menurut cerita Ayahanda, Haji Soehaeri turut serta dalam proses mualafnya Sotene menjadi muslim. Haji Soehaeri adalah pegawai negara, kemungkinan militer. Dari cerita Ayahanda, karena sering melihat pribumi disiksa di rumah tahanan, Haji Soehaeri kemudian melarang anak-anak keturunannya menjadi tentara.  Haji Soehaeri memiliki ranah pergaulan yang luas. Selain akrab dengan kalangan habaib (terutama kalangan Habib-habib al Habsyi dan bin Yahya di Kwitang), juga memilik banyak kenalan orang-orang Belanda, diantaranya Sotene. 

Haji Soehaeri yang tinggal di Cikini ini, kemudian kelak memiliki menantu dari keluarga Arab yang masih berdarah Syarif atau Sayyid, masih memiliki hubungan keluarga dengan Raden Saleh Syarif Bustaman bin Yahya dan Habib Ali Kwitang : ayah saya memanggilnya Kong Ria, beliau Direktur Kebon Binatang Cikini milik Raden Saleh;  selain bermenantu Nor'ain putri sulung jagoan dari kemayoran, Djiong.

Kong Ria, direktur Kebun Binatang Cikini,
masih keluarga Raden Saleh Syarif Bustaman bin Yahya dan Habib Ali Kwitang


Menurut penuturan Ayahanda, Haji Soehaeri masih pula berdarah bangsawan, beliau anak dari Nyi Rahma Bugis dan Haji Muhasyim keturunan Eyang Brojo atau Pangeran Brojogeni yang makamnya di daerah Ngawi, Jawa Timur. 

Kedekatan Haji Soehaeri dengan kalangan orang Belanda tidak terlalu disukai seorang jagoan dari Kemayoran, yang bernama Djiong (meski Djiong adalah haji, namun pada nisan makamnya hanya tertulis Djiong, tanpa embel-embel haji) . Berbeda dengan Haji Soehaeri, Djiong adalah seorang jagoan yang terkenal vokal terhadap kebijakan Belanda. Tapi meski vokal, tidak menyetujui cara-cara anarkis, terutama jika berhadapan dengan tentara berdarah pribumi.  Salah satu anak laki-laki Djiong bernama Aming, pernah merobek-robek setumpukan surat tagihan pajak tanah dan memprovokasi masyarakat agar tidak perlu membayar pajak kepada Tuan Tanah. Kekurangsukaan Djiong kepada Haji Soehaeri ini terlihat ketika Haji Sohaeri melamar untuk menikahkan anaknya, Bermawie, dengan anak perempuan Djiong bernama Norain, yaitu mensyaratkan mas kawin berupa tanduk menjangan berlapis emas. Suatu syarat yang sangat mahal, tapi akhirnya dikabulkan juga.

Selain terkenal sebagai jagoan, saya kurang tahu lagi peranan Djiong bagi masyarakat. Nama Djiong dijadikan nama daerah (jalan) di Kemayoran. Daerah itu adalah Jiung. Namun, pada sekitar tahun 90-an, nama "Jalan Jiung"  tiba-tiba diganti menjadi jalan H. Ung. H. Ung ternyata adalah nama seorang warga yang dulu tinggal di daerah tersebut, yang kebetulan adalah kakek dari aktor betawi legendaries yang waktu itu sedang berada di puncak karier, Benyamin S. 

Menurut cerita ayah saya, Djiong memang tidak tinggal di kawasan yang sekarang bernama Jiung itu, melainkan tinggal di daerah Kepu, sekitar satu-dua kilometer dari kawasan Jiung, dan memiliki rumah pula di daerah Utan Panjang (masuk ke wilayah Cempaka Baru) yang kemudian diwariskan pada salah satu anak perempuannya. Kawasan Jiung sendiri, dahulunya adalah persawahan yang sangat luas. 

Di kawasan yang sekarang bernama Jiung itulah, agak ke selatan, adalah "pasar Jiung lama"  sebelum 1955. Thn 1955 pasar Jiung  bergeser beberapa puluh meter ke utara setelah dibuat jalan tembus dari Jl. Garuda, sbg akses ke airport. "Pasar Jiung Baru" dimulai 1955 bertahan sampai tahun 1992. 

Tentang "pasar Jiung lama" ini berdasar informasi dari ayahanda Chalid Bermawie (beliau lulusan SMA 5 Budi Utomo thn 64, sempat kuliah di IKIP Jakarta dan Akademi Bank; dari riwayat pendidikannya ini saya mengasumsikan beliau termasuk orang yang sadar sejarah, sehingga informasinya lebih bisa dipertanggungjawabkan) : wilayah yang bernama Jiung bukanlah di tempatnya yang sekarang. Tempat bernama Jiung sebelum tahun 1955-an adalah di daerah jembatan tepat di mulut jalan yang mengarah ke Pasar Nangka, Kepu. Menurut Ayahanda (ketika menceritakan usia beliau ketika itu 63 tahun), sebelum tahun 1955an, Jalan Garuda berujung di 'perapatan Damri'. Jalan Garuda hanya terhubung dengan jalan yang mengarah ke Jalan Angkasa, dan sebuah jalan lain yang mengarah ke Pasar Nangka. Dengan demikian, Pasar Nangka menghubungkan Jalan Garuda dan Jiung. Barulah pada tahun 1955 pemerintah membuat jalan baru, tembus dari 'perapatan (pertigaan?) Damri ke Jiung yang sekarang. Jalan baru itu kini seolah-olah perpanjangan dari Jalan Garuda. Pembukaan jalan baru itu ternyata menggeser beberapa puluh meter pusat keramaian dari 'Jiung lama' ke 'Jiung baru'. Seiring waktu berjalan, orang kian melupakan "pasar Jiung lama" , Jiung yang sebenarnya, dan menganggap wilayah baru itu sebagai Jiung (yang baru). 

Dari perkawinan Bermawie bin Soehaeri dan Nor’ain binti Djiong, lahirlah empat orang anak yang semuanya laki-laki, yakni Abdul Wahab Bermawie, Abdul Manaf Bermawie (kakek saya), Abdul Hamid Bermawie, dan Mochammad Noer Bermawie. 

Keturunan Djiong 

Djiong memiliki lima anak, dua lelaki dan tiga perempuan. Kedua anak lelaki Djiong 'hilang' tak jelas keberadaannya dan tak ditemukan jenazahnya. Tinggallah tiga anak perempuannya. Anak perempuan yang tertua bernama Nor'ain, menikah dengan Bermawie, tinggal di Gang Kadiman Kemayoran, dan memiliki empat anak lelaki, yakni Abdul Wahab Bermawie (tinggal dan wafat di Jawa Timur; tak memiliki keturunan), Abdul Manaf Bermawie (tinggal di Gang Kadiman, makam di TPU Karet), Abdul Hamid Bermawie (tinggal di Kepu Gang V Kemayoran), dan Ahmad Noor Bermawie (tinggal di Bandung). 

Anak perempuan kedua Djiong bernama Sopiah (Nyak Sop). Nyak Sop tinggal di Kepu Gang II, Kemayoran. Nyak Sop memiliki beberapa anak, yakni Syafe'i, A'ak, Yakub, dan Rosidi. 

Anak perempuan ketiga Djiong bernama Saribenah. Saribenah tinggal di Utan Panjang-Kemayoran, menikah dengan guru Silat asal Lampung bernama Dalih. Pasangan Saribenah-Dalih tak memiliki keturunan, kemudian mengangkat anak bernama Gawi dan Neneh. 

Djiong dimakamkan di TPU Mangga Dua, Sawah Besar, Jakarta Pusat. Tapi ketika hendak dipindahkan, makam Djiong tidak bisa ditemukan.

Djiong, jagoan Kemayoran.

1 komentar:

  1. Ane baru tau neh klo jembatan Jiung tempo doeloe bukan nyang skarang. I love Jakarta !

    BalasHapus

Silahkan tulis komentar pada space yang tersedia. Komentar akan muncul setelah disetujui Admin.