Tanpa kejernihan hidup yang bagaimana, manusia bisa berdamai dengan kematian ? Tak ada kebaikan yang tak berbalas, tak ada keburukan yang tak bersanksi. My wisdom goes over the sea of wild wisdom

04 Februari 2021

Pancasila dalam Masyarakat Multikultur Betawi


Menurut Bung Karno, Pancasila tidak diciptakan, melainkan hasil penggalian nilai-nilai yang sudah ada di bumi Nusantara sejak dahulu.  Nilai-nilai Pancasila yang sudah ada sejak dahulu terumuskan dalam lima sila Pancasila, yaitu berketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan, nasionalisme, demokrasi musyawarah mufakat, dan keadilan sosia

Dari sekian banyak daerah di Nusantara, yang kini bernama Indonesia, salah satu daerah yang masyarakatnya sangat heterogen, multikultural, yang merupakan masyarakat percampuran dari berbagai wilayah dan budaya di Indonesia, adalah masyarakat Betawi, yaitu masyarakat yang mendiami Ibukota Negara Jakarta, dan sekitarnya. Multi berarti “banyak” sedangkan kultur berarti “budaya.” Masyarakat Betawi adalah contoh masyarakat multikultur di Indonesia.

Keluarga besar Penulis, keluarga besar Betawi

Masyarakat Betawi sebagai salah satu contoh masyarakat multikultur di Indonesia tidak lepas dari sejarah asal usulnya.  Istilah Betawi muncul  setelah Pemerintah Kolonial Belanda mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia. Kata ‘betawi’ adalah pengucapan masyarakat lokal dari kata ‘batavia’ tersebut.

Betawi dikenal menjadi nama kaum atau komunitas setidaknya sejak M.H. Thamrin mendirikan perkumpulan Kaum Betawi pada tahun 1918. Saat ini, masyarakat umum mengenal Betawi sebagai salah satu suku bangsa di Indonesia.

Banyak yang percaya bahwa orang Betawi adalah ‘suku’ yang masih muda, yang baru terbentuk pada waktu terkemudian. Pandangan seperti ini disebut--meminjam istilah Ridwan Saidi--pandangan ‘Kali Besar sentris’. Studi Masyarakat Jakarta (Betawi) yang Kali Besar sentries sebagai berikut :

Pieterszon Coen pada tahun 1619 menaklukkan Jayakarta. Seluruh penduduk diusir, lantas budak-budak didatangkan, dan budak inilah yang kemudian menjadi cikal bakal orang Betawi.

Pandangan Kali Besar sentries ini dibantah oleh pakar kebetawian, Ridwan Saidi, pada temu ilmiah Festival Istiqlal II tahun 1996. Ridwan Saidi mengungkapkan keberadaan komunitas asli yang mendiami berbagai daerah di kawasan yang kini bernama Jakarta jauh sebelum kedatangan Belanda di abad ke-16, dan tidak termasuk mereka yang ‘terusir’ pada masa Pieterszon Coen tersebut. Mereka yang terusir menurut Ridwan Saidi, hanyalah kaum menak bangsawan yang memang secara politis memang membahayakan eksistensi kaum penjajah.

Keberadaan masyarakat lampau (kala itu masih sebagai bagian masyarakat Sunda) yang mendiami daerah yang kini disebut Jakarta itu dikuatkan dengan penemuan berbagai prasasti peninggalan kerajaan Tarumanegara yang telah berdiri pada awal-awal tarikh masehi, misalnya prasasti Tugu. Bahkan Prof. Slamet Muljana melaporkan penemuan kapak genggam peninggalan jaman neolithicum di daerah Condet. Pada buku Sejarah Nasional Indonesia III (editor umum: Marwati Djuned Puspanagoro dan Nugroho Notosusanto) dituliskan bahwa orang Belanda yang datang pertama kali tahun 1596 telah mendapati banyak para pencari ikan di daerah Kalapa (kini wilayah Jakarta Utara). Hikayat Banjar menyebutkan bahwa penduduk Jayakarta (sebelum berubah nama menjadi Batavia) berkisar antara 12.000 hingga 15.000 orang. Ridwan Saidi dalam makalah Masyarakat Betawi: Asal-usul, dan Peranannya dalam Integrasi Nasional (1996) menuliskan bahwa ketika kerajaan Sunda mendirikan pelabuhan Sunda Kalapa pada abad ke-12, di Kalapa sudah ada penduduk asli; pada peta-peta yang dibuat Inggris tahun 1811 terlihat dengan jelas petak-petak sawah terbentang luas mulai dari Sawah Besar (daerah Lapangan Banteng) sampai Ulu Jami, petak-petak sawah itu telah mapan sejak berabad-abad sebelumnya. Demikianlah asal-usul orang Betawi yang bermula dari komunitas di Kalapa, yang awalnya merupakan bagian dari masyarakat Sunda.

Asimilasi berbagai budaya Nusantara bahkan dunia lambat laun melunturkan budaya Sunda masyarakat Kalapa, dan melahirkan bentuk budaya baru yang bercorak Melayu Polinesia (Melayu Borneo) yang terpengaruh oleh budaya Arab dan Tiongkok. Budaya bercorak Melayu Polinesia plus Arab dan Tingkok inilah yang kemudian disebut-sebut sebagai budaya Betawi, dan bahasa Melayu Polinesia berdialek lokal menjadi bahasa Betawi.

Pengaruh budaya dan bahasa Betawi terus meluas ke selatan hingga daerah Tangerang, Bekasi, Depok, dan bagian utara Bogor. Lambat laun, daerah-daerah di selatan tersebut pun menjadi bagian wilayah ‘orang Betawi’. Maka benarlah pendapat ahli bahwa batas bahasa menjadi batas pula bagi budaya. Betawi yang bercikal di Kalapa (Jakarta Utara) kini memiliki batas wilayah yang lebih luas dari DKI Jakarta.

Menyebaran budaya dan bahasa Betawi (bahkan agama) hingga jauh ke selatan terutama akibat ekspansi tentara Islam koalisi Banten, Cirebon, dan Demak (Pajang?) yang menyerbu kerajaan Pajajaran pada abad ke-17. Konon, tentara koalisi membangun wilayah pertahanan di daerah selatan (Tangerang, Depok, Bekasi, dan bagian Utara Bogor) sebelum menyerbu masuk ke Ibukota kerajaan Pajajaran. Kemudian tentara Islam koalisi Banten, Cirebon, dan Demak tersebut banyak yang melakukan perkawinan dengan masyarakat lokal.

Semua informasi ini membuktikan bahwa ‘suku’ Betawi bukanlah komunitas yang baru terbentuk. Adapun, karakteristik orang Betawi hingga ke bentuknya yang sekarang, tidak lepas dari sejarah panjangnya menjadi ‘daerah niaga’ sehingga terjadi asimilasi budaya dari berbagai bangsa di Nusantara dan dunia, baik melalui hubungan perdagangan, hubungan pergaulan, maupun melalui perkawinan.

Kepancasilaan pada Masyarakat Multikultur Betawi

Masyarakat Betawi adalah masyarakat religius. Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa sudah ada  pada masyarakat Betawi  sejak dahulu sekali. Menurut Ridwan Saidi (1996), sebelum abad ke-14, orang-orang Betawi (ketika wilayahnya masih bernama Kalapa) menganut agama monotheis yang dipengaruhi ajaran moral Sunda dari Galunggung Sanghyang Siksakanda Ng Karesian. Pada abad ke-14, karena pengaruh dari pergaulan dengan pedagang muslim, kemudian orang Betawi disebut sebagai kaum Langgara atau Kalanggara  (Langgara = yang berubah). Tempat ibadatnya kemudian disebut Langgar.

Badri Yatim (1996) menggambarkan gairah keagamaan orang Betawi, terutama agama Islam, dengan melaporkan begitu banyak orang Betawi yang pergi ke Mekkah sejak awal abad ke-19.  Snouck Hurgronje menemukan sejumlah pemukim asal Betawi di Mekkah, yang menjadi narasumber kuliah-kuliah di Masjidil Haram. Yatim juga menulis bahwa Buya Hamka pernah mengatakan ada nama-nama ulama dengan nama belakang “al Batawi” yang tertulis dalam dokumen perjanjian antara Raja Ali putra Raja Husein (penguasa Mekkah), dengan Ibnu Saud yang berhasil merebut Mekkah pada 1925.

Gairah keagamaan, khususnya Islam di Betawi ditandai dengan banyaknya majelis-majelis ta’lim, seperti majelis Habib Ali al Athas di Bungur, majelis Habib Ali al Habsyi di Kwitang, Habib Abu Bakar Jamalullail di Mangga Dua, majelis Mualim Syafii Hadzami di Kemayoran, Majelis Kyai Romli di Kebon Sirih, dan masih banyak lagi.

Sebagai masyarakat religi yang didominasi nilai-nilai Islam, monotheisme (tauhid) selalu beriringan dengan nilai-nilai kemanusiaan. "Habluminallah" (Ketuhanan) sepaket dengan "habluminannas" (Kemanusiaan) . Nilai Kemanusiaan yang adil dan beradab pada masyarakat Betawi tidak lepas dari kehidupan religi yang sudah turun-temurun, sejak filosofi Sunda kuno Siksakanda Ng Karesian hingga  agama Islam, semua mengajarkan sikap menghormati harkat martabat manusia. 

Itulah sebab, meski penjajahan Belanda selama 350 tahun dipusatkan di Batavia , karena merasa tidak dimanusiakan, kepemilikan tanah diambil, dan perlakuan diskriminatif, orang Betawi menjadi sangat solider dengan sesama pribumi, dan budaya eropa relatif tidak menggoyahkan budaya lama mereka. 

Betawi yang dahulunya bernama Kalapa adalah kawasan niaga tua. Sejak dahulu pedagang dan musafir dari berbagai wilayah singgah dan sebagian menetap di Betawi. Nasionalisme atau nilai Persatuan Indonesia pada masyarakat Betawi nampak pada toleransi yang tinggi terhadap masyarakat pendatang dari berbagai daerah itu.  Laporan Meutia Hatta (1996) pada masyarakat Betawi di kawasan Jakarta Utara, menuliskan bahwa suku Betawi hidup berdampingan dengan harmonis dengan penduduk pendatang dari Bugis, Jawa, Banten, Madura, Bali, Ambon, dan lain-lain. Berdasar riset pada 8 provinsi di Indonesia, perkawinan antar etnik rata-rata sekitar 3%, tapi di di Jakarta, generasi Betawi saat ini melakukan perkawinan antar ernik berkisar 73% (Syuaib, 1996). Hatta (1996) menegaskan bahwa orang Betawi bersikap dewasa dalam menyikapi perubahan, yaitu tidak memusuhi, tidak ingin memisahkan diri, tidak ekslusif.

Orang Betawi juga memiliki sikap egaliter. Nilai Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan atau demokrasi dalam masyarakat Betawi, menurut Syuaib (1996) nampak dari sikap egaliter ini : kebebasan berbahasa  dan kebebasan berekspresi, dan abad tetap patuh kepada orang tua yang kuat. Hal ini menjadi ciri demokrasi masyarakat Betawi.

Nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia pada masyarakat Betawi menurut Syuaib (1996) nampak dari kenyataan bahwa masyarakat Betawi bersikap egaliter, tidak ekslusif. Selain itu pengaruh ajaran kuno Sunda Siksakanda Ng Karesian, kemudian Islam, sangat mengakar dalam kehidupan sosial mereka. Kebiasaan memberi sedekah, infaq, zakat, menolong yang kesulitan sudah menjadi bagian budaya Betawi. Ini adalah nilai-nilai keadilan sosial.

Kesimpulan

Masyarakat Betawi adalah masyarakat multikultur.  Nilai-nilai Pancasila pada masyarakat multikultur Betawi sudah ada sejak dahulu, ketika masih bernama Kalapa. Cikal nilai-nilai luhur Pancasila terutama dipengaruhi oleh ajaran Suda kuno Siksakanda Ng Karesian dan ajaran agama Islam, disamping pengaruh dari para pendatang baik dari Nusantara maupun mancanegara.

 

Kepustakaan

https://bataragemaindonesia.blogspot.com

Hatta, Meutia. 1996. Sistem Nilai dan Etos Kerja Masyarakat Betawi di Pantai Jakarta dalam Ruh Islam dalam Budaya Bangsa, Aneka Budaya di Jawa. Yayasan Festival Istiqlal. Jakarta

Syuaib, M. Fauzie. 1996. Masyarakat Betawi dan Perkembangan Masyarakat Jakarta dalam Ruh Islam dalam Budaya Bangsa, Aneka Budaya di Jawa. Yayasan Festival Istiqlal. Jakarta

Saidi, Ridwan. 1996. Masyarakat Betawi : Asal-usul dan Peranannya dalam Integrasi Nasional dalam Ruh Islam dalam Budaya Bangsa, Aneka Budaya di Jawa. Yayasan Festival Istiqlal. Jakarta

Yatim, Badri. 1996. Peran Ulama dalam Masyarakat Betawi. dalam Ruh Islam dalam Budaya Bangsa, Aneka Budaya di Jawa. Yayasan Festival Istiqlal, Jakarta

 

 

 

4 komentar:

  1. Nambah lagi elmu nich Om...
    Tapi Multikultur ame Multikultural sama ngga Om definisinye

    BalasHapus
    Balasan
    1. InsyaAllah sama, tp klu dikasih isme = multikulturisme, mnjadi beda,artinya jd ideologi atau faham yg mendukung perbedaan budaya.

      Hapus
  2. Jadi suku asli Betawi ini suku Sunda juga?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Asal muasalnya, Jakarta (kalapa) adalah bagian dari Sunda. Seiring waktu perniagaan makin ramai, banyak orang datang dari berbagai daerah dan menetap. Bangsa Betawi sekarang adalah perbauran genetis, budaya, dxn bahasa dari berbagai tempat.

      Hapus

Silahkan tulis komentar pada space yang tersedia. Komentar akan muncul setelah disetujui Admin.