Menurut Bung Karno, Pancasila tidak diciptakan, melainkan hasil penggalian nilai-nilai yang sudah ada di bumi Nusantara sejak dahulu. Nilai-nilai Pancasila yang sudah ada sejak dahulu terumuskan dalam lima sila Pancasila, yaitu berketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan, nasionalisme, demokrasi musyawarah mufakat, dan keadilan sosia
Dari sekian banyak daerah di Nusantara, yang kini
bernama Indonesia, salah satu daerah yang masyarakatnya sangat heterogen,
multikultural, yang merupakan masyarakat percampuran dari berbagai wilayah dan
budaya di Indonesia, adalah masyarakat Betawi, yaitu masyarakat yang mendiami
Ibukota Negara Jakarta, dan sekitarnya. Multi berarti “banyak” sedangkan kultur
berarti “budaya.” Masyarakat Betawi adalah contoh masyarakat multikultur di
Indonesia.
![]()  | 
| Keluarga besar Penulis, keluarga besar Betawi | 
Masyarakat Betawi sebagai salah satu contoh masyarakat
multikultur di Indonesia tidak lepas dari sejarah asal usulnya.  Istilah
Betawi muncul  setelah Pemerintah
Kolonial Belanda mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia. Kata ‘betawi’ adalah
pengucapan masyarakat lokal dari kata ‘batavia’ tersebut. 
Betawi dikenal menjadi nama
kaum atau komunitas setidaknya sejak M.H. Thamrin mendirikan perkumpulan Kaum
Betawi pada tahun 1918. Saat ini, masyarakat umum mengenal Betawi sebagai salah
satu suku bangsa di Indonesia.
Banyak yang percaya bahwa orang Betawi adalah
‘suku’ yang masih muda, yang baru terbentuk pada waktu terkemudian. Pandangan
seperti ini disebut--meminjam istilah Ridwan Saidi--pandangan ‘Kali Besar
sentris’. Studi Masyarakat Jakarta (Betawi) yang Kali Besar sentries sebagai
berikut : 
Pieterszon Coen pada tahun 1619 menaklukkan
Jayakarta. Seluruh penduduk diusir, lantas budak-budak didatangkan, dan budak
inilah yang kemudian menjadi cikal bakal orang Betawi. 
Pandangan Kali Besar
sentries ini dibantah oleh pakar kebetawian, Ridwan Saidi, pada temu ilmiah
Festival Istiqlal II tahun 1996. Ridwan Saidi mengungkapkan keberadaan
komunitas asli yang mendiami berbagai daerah di kawasan yang kini bernama
Jakarta jauh sebelum kedatangan Belanda di abad ke-16, dan tidak termasuk
mereka yang ‘terusir’ pada masa Pieterszon Coen tersebut. Mereka yang terusir
menurut Ridwan Saidi, hanyalah kaum menak bangsawan yang memang secara politis
memang membahayakan eksistensi kaum penjajah.
Keberadaan masyarakat lampau (kala itu masih
sebagai bagian masyarakat Sunda) yang mendiami daerah yang kini disebut Jakarta
itu dikuatkan dengan penemuan berbagai prasasti peninggalan kerajaan
Tarumanegara yang telah berdiri pada awal-awal tarikh masehi, misalnya prasasti
Tugu. Bahkan Prof. Slamet Muljana melaporkan penemuan kapak genggam peninggalan
jaman neolithicum di daerah Condet. Pada buku Sejarah Nasional Indonesia III
(editor umum: Marwati Djuned Puspanagoro dan Nugroho Notosusanto) dituliskan
bahwa orang Belanda yang datang pertama kali tahun 1596 telah mendapati banyak
para pencari ikan di daerah Kalapa (kini wilayah Jakarta Utara). Hikayat Banjar
menyebutkan bahwa penduduk Jayakarta (sebelum berubah nama menjadi Batavia)
berkisar antara 12.000 hingga 15.000 orang. Ridwan Saidi dalam makalah
Masyarakat Betawi: Asal-usul, dan Peranannya dalam Integrasi Nasional (1996)
menuliskan bahwa ketika kerajaan Sunda mendirikan pelabuhan Sunda Kalapa pada
abad ke-12, di Kalapa sudah ada penduduk asli; pada peta-peta yang dibuat
Inggris tahun 1811 terlihat dengan jelas petak-petak sawah terbentang luas
mulai dari Sawah Besar (daerah Lapangan Banteng) sampai Ulu Jami, petak-petak
sawah itu telah mapan sejak berabad-abad sebelumnya. Demikianlah asal-usul
orang Betawi yang bermula dari komunitas di Kalapa, yang awalnya merupakan
bagian dari masyarakat Sunda.
Asimilasi berbagai budaya Nusantara bahkan dunia
lambat laun melunturkan budaya Sunda masyarakat Kalapa, dan melahirkan bentuk
budaya baru yang bercorak Melayu Polinesia (Melayu Borneo) yang terpengaruh
oleh budaya Arab dan Tiongkok. Budaya bercorak Melayu Polinesia plus Arab dan
Tingkok inilah yang kemudian disebut-sebut sebagai budaya Betawi, dan bahasa
Melayu Polinesia berdialek lokal menjadi bahasa Betawi.
Pengaruh budaya dan bahasa Betawi terus meluas
ke selatan hingga daerah Tangerang, Bekasi, Depok, dan bagian utara Bogor.
Lambat laun, daerah-daerah di selatan tersebut pun menjadi bagian wilayah
‘orang Betawi’. Maka benarlah pendapat ahli bahwa batas bahasa menjadi batas
pula bagi budaya. Betawi yang bercikal di Kalapa (Jakarta Utara) kini memiliki batas
wilayah yang lebih luas dari DKI Jakarta.
Menyebaran budaya dan bahasa Betawi (bahkan
agama) hingga jauh ke selatan terutama akibat ekspansi tentara Islam koalisi
Banten, Cirebon, dan Demak (Pajang?) yang menyerbu kerajaan Pajajaran pada abad
ke-17. Konon, tentara koalisi membangun wilayah pertahanan di daerah selatan
(Tangerang, Depok, Bekasi, dan bagian Utara Bogor) sebelum menyerbu masuk ke
Ibukota kerajaan Pajajaran. Kemudian tentara Islam koalisi Banten, Cirebon, dan
Demak tersebut banyak yang melakukan perkawinan dengan masyarakat lokal.
Semua informasi ini membuktikan bahwa ‘suku’ Betawi bukanlah komunitas yang baru terbentuk. Adapun, karakteristik orang Betawi hingga ke bentuknya yang sekarang, tidak lepas dari sejarah panjangnya menjadi ‘daerah niaga’ sehingga terjadi asimilasi budaya dari berbagai bangsa di Nusantara dan dunia, baik melalui hubungan perdagangan, hubungan pergaulan, maupun melalui perkawinan.
Kepancasilaan pada Masyarakat Multikultur Betawi.
Masyarakat Betawi adalah masyarakat religius. Nilai Ketuhanan Yang Maha
Esa sudah ada  pada masyarakat
Betawi  sejak dahulu sekali. Menurut
Ridwan Saidi (1996), sebelum abad ke-14, orang-orang Betawi (ketika wilayahnya
masih bernama Kalapa) menganut agama monotheis yang dipengaruhi ajaran moral Sunda dari Galunggung Sanghyang Siksakanda Ng Karesian. Pada
abad ke-14, karena pengaruh dari pergaulan dengan pedagang muslim, kemudian
orang Betawi disebut sebagai kaum Langgara atau Kalanggara  (Langgara = yang berubah). Tempat ibadatnya
kemudian disebut Langgar. 
Badri Yatim (1996)
menggambarkan gairah keagamaan orang Betawi, terutama agama Islam, dengan
melaporkan begitu banyak orang Betawi yang pergi ke Mekkah sejak awal abad
ke-19.  Snouck Hurgronje menemukan
sejumlah pemukim asal Betawi di Mekkah, yang menjadi narasumber kuliah-kuliah
di Masjidil Haram. Yatim juga menulis bahwa Buya Hamka pernah mengatakan ada
nama-nama ulama dengan nama belakang “al Batawi” yang tertulis dalam dokumen
perjanjian antara Raja Ali putra Raja Husein (penguasa Mekkah), dengan Ibnu
Saud yang berhasil merebut Mekkah pada 1925.
Gairah keagamaan,
khususnya Islam di Betawi ditandai dengan banyaknya majelis-majelis ta’lim,
seperti majelis Habib Ali al Athas di Bungur, majelis Habib Ali al Habsyi di
Kwitang, Habib Abu Bakar Jamalullail di Mangga Dua, majelis Mualim Syafii
Hadzami di Kemayoran, Majelis Kyai Romli di Kebon Sirih, dan masih banyak lagi.
Sebagai masyarakat religi yang didominasi nilai-nilai Islam, monotheisme (tauhid) selalu beriringan dengan nilai-nilai kemanusiaan. "Habluminallah" (Ketuhanan) sepaket dengan "habluminannas" (Kemanusiaan) . Nilai Kemanusiaan yang adil dan beradab pada masyarakat Betawi tidak lepas dari kehidupan religi yang sudah turun-temurun, sejak filosofi Sunda kuno Siksakanda Ng Karesian hingga agama Islam, semua mengajarkan sikap menghormati harkat martabat manusia.
Itulah sebab, meski penjajahan Belanda selama 350 tahun dipusatkan
di Batavia , karena merasa tidak dimanusiakan, kepemilikan tanah diambil, dan
perlakuan diskriminatif, orang Betawi menjadi sangat solider dengan sesama
pribumi, dan budaya eropa relatif tidak menggoyahkan budaya lama mereka. 
Betawi yang dahulunya bernama Kalapa adalah kawasan niaga tua. Sejak dahulu pedagang dan musafir dari berbagai wilayah singgah dan sebagian menetap di Betawi. Nasionalisme atau nilai Persatuan Indonesia pada masyarakat Betawi nampak pada toleransi yang tinggi
terhadap masyarakat pendatang dari berbagai daerah itu.  Laporan Meutia Hatta (1996) pada
masyarakat Betawi di kawasan Jakarta Utara, menuliskan bahwa suku Betawi hidup
berdampingan dengan harmonis dengan penduduk pendatang dari Bugis, Jawa,
Banten, Madura, Bali, Ambon, dan lain-lain. Berdasar riset pada 8 provinsi di
Indonesia, perkawinan antar etnik rata-rata sekitar 3%, tapi di di Jakarta,
generasi Betawi saat ini melakukan perkawinan antar ernik berkisar 73% (Syuaib,
1996). Hatta (1996) menegaskan bahwa orang Betawi bersikap dewasa dalam
menyikapi perubahan, yaitu tidak memusuhi, tidak ingin memisahkan diri, tidak
ekslusif.
Orang Betawi juga memiliki sikap egaliter. Nilai Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan atau
demokrasi dalam masyarakat Betawi, menurut Syuaib (1996) nampak dari sikap
egaliter ini : kebebasan berbahasa  dan
kebebasan berekspresi, dan abad tetap patuh kepada orang tua yang kuat. Hal ini
menjadi ciri demokrasi masyarakat Betawi.
Nilai keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia pada masyarakat Betawi menurut Syuaib (1996)
nampak dari kenyataan bahwa masyarakat Betawi bersikap egaliter, tidak
ekslusif. Selain itu pengaruh ajaran kuno Sunda Siksakanda Ng Karesian,
kemudian Islam, sangat mengakar dalam kehidupan sosial mereka. Kebiasaan
memberi sedekah, infaq, zakat, menolong yang kesulitan sudah menjadi bagian
budaya Betawi. Ini adalah nilai-nilai keadilan sosial.
Kesimpulan
Masyarakat Betawi adalah masyarakat
multikultur.  Nilai-nilai Pancasila pada
masyarakat multikultur Betawi sudah ada sejak dahulu, ketika masih bernama
Kalapa. Cikal nilai-nilai luhur Pancasila terutama dipengaruhi oleh ajaran Suda
kuno Siksakanda Ng Karesian dan ajaran agama Islam, disamping pengaruh dari
para pendatang baik dari Nusantara maupun mancanegara.
Kepustakaan
https://bataragemaindonesia.blogspot.com
Hatta, Meutia. 1996. Sistem Nilai dan Etos Kerja Masyarakat
Betawi di Pantai Jakarta dalam Ruh
Islam dalam Budaya Bangsa, Aneka Budaya di Jawa. Yayasan Festival Istiqlal.
Jakarta
Syuaib, M. Fauzie. 1996. Masyarakat Betawi dan Perkembangan
Masyarakat Jakarta dalam Ruh Islam
dalam Budaya Bangsa, Aneka Budaya di Jawa. Yayasan Festival Istiqlal.
Jakarta
Saidi,
Ridwan. 1996. Masyarakat Betawi :
Asal-usul dan Peranannya dalam Integrasi Nasional dalam Ruh Islam dalam Budaya Bangsa, Aneka Budaya
di Jawa. Yayasan Festival Istiqlal. Jakarta
Yatim, Badri.
1996. Peran Ulama dalam Masyarakat Betawi.
dalam Ruh Islam dalam Budaya Bangsa,
Aneka Budaya di Jawa. Yayasan Festival Istiqlal, Jakarta

Nambah lagi elmu nich Om...
BalasHapusTapi Multikultur ame Multikultural sama ngga Om definisinye
InsyaAllah sama, tp klu dikasih isme = multikulturisme, mnjadi beda,artinya jd ideologi atau faham yg mendukung perbedaan budaya.
HapusJadi suku asli Betawi ini suku Sunda juga?
BalasHapusAsal muasalnya, Jakarta (kalapa) adalah bagian dari Sunda. Seiring waktu perniagaan makin ramai, banyak orang datang dari berbagai daerah dan menetap. Bangsa Betawi sekarang adalah perbauran genetis, budaya, dxn bahasa dari berbagai tempat.
Hapus