Tanpa kejernihan hidup yang bagaimana, manusia bisa berdamai dengan kematian ? Tak ada kebaikan yang tak berbalas, tak ada keburukan yang tak bersanksi. My wisdom goes over the sea of wild wisdom

27 September 2024

DEMOKRASI INDONESIA MEMBAGONGKAN

Penulis : Hamdan Arfani, SPt. MPd.

Hidup di negara merdeka adalah hidup tanpa diskriminasi dan untuk itu bangsa Indonesia telah mengorbankan apa saja. Ketika dibacakan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, hari itu disambut gegap gempita karena rakyat merasa benar-benar menjadi manusia seutuhnya. Kemiskinan dan kebodohan tidak menghilangkan kemanusiaan, diskriminasilah yang membuat orang merasa kehilangan kemanusiaannya. Kekayaan dan kecerdasan pun tidak mampu memanusiakan jika hidup dalam diskriminasi. Maka di negara merdeka, “keadilan sosial” harusnya menjadi frasa paling diingat, paling penting dan paling sakral, terpatri di tempat tertinggi dalam hierarki prinsip aturan bernegara.

Bebas dari diskriminasi yang dengan istilah lain ditulis keadilan sosial disebut-sebut sebagai tujuan negara jika sila ke-5 Pancasila dilabeli sebagai aksiologinya Pancasila.  Seharusnya, keadilan sosial adalah aksiologi sekaligus ontologi dan epistemologi karena keadilan sosial harus nampak sejak awal negara berdiri dan seterusnya, tanpa syarat.

Demokrasi sebagai Cara Mencapai Tujuan Negara.  Saya sependapat dengan yang mengatakan bahwa sila ke-3 dan ke-4 Pancasila sebagai cara mencapai tujuan negara.  Persatuan nasional yang dimotori prinsip gotong-royong telah diidentifikasi oleh para pendiri bangsa sebagai satu dari dua kunci keberhasilan negara. Bagi negara multikultur dengan jumlah penduduk sangat banyak, persatuan nasional (sila ke-3) adalah harga mati untuk bisa bergerak sehat mencapai tujuan negara. Perpecahan bangsa adalah salah satu bahaya terbesar bagi negara.  Oleh karena itu pentingnya menjaga stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat harus dipahami oleh segenap rakyat Indonesia, setidaknya dimufakati oleh kaum elite bangsa baik di tingkat paling atas maupun di tingkat paling bawah.  Namun sejauh pengamatan saya, kaum elite masih banyak yang kurang paham atau kurang peduli dengan masalah ini. Lebih menyedihkan, ketidakstabilan keamanan-ketertiban ternyata dipengaruhi pula oleh sistem dan cara kita berdemokrasi sekarang ini.  Demokrasi yang seharusnya berfungsi mengantarkan bangsa Indonesia dari pintu gerbang kemerdekaan menuju tujuan negara yang tertulis dalam Pembukaan UUD 1945, malah mengalami disfungsi kronis sejak 2004.

Bersama sila ke-3, sila ke-4 Pancasila disebut-sebut sebagai epistemologinya Pancasila. Selain persatuan nasional (gotong-royong), demokrasi adalah cara mencapai tujuan negara.  Demokrasi negara Republik Indonesia yang dirumuskan oleh para pendiri negara adalah demokrasi musyawarah mufakat/perwakilan yang menjunjung tinggi hikmah kebijaksanaan. Inilah yang disebut sebagai Demokrasi Pancasila yang cocok dengan karakteristik bangsa Indonesia yang multikultur dan berpopulasi sangat besar. Demokrasi Pancasila murah secara ekonomi, serta efisien dan efektif dalam mengelola politik warga negara.

Memilih Kucing dalam Karung. Dalam sistem demokrasi sekarang ini, bagi saya memilih artis yang tidak tercela adalah lebih masuk akal daripada memilih siapapun yang tidak dikenal. Artis selebritis sebagai sosok terkenal selalu diawasi oleh media, mulai dari aktivitas harian hingga kehidupan pribadinya sehingga masyarakat tahu kapasitasnya. Namun, sebagian masyarakat masih “asal coblos” sehingga sering kita dapati orang-orang bermasalah terpilih menjadi pejabat publik. Terpilihnya orang-orang brengsek sebagai pejabat publik adalah bencana bagi rakyat dan negara. Asal coblos terjadi selain karena kurangnya kesadaran politik, juga karena sistem demokrasi saat ini telah mengkondisikannya demikian. Pemilu sistem proporsional terbuka dalam pencoblosan langsung oleh individu pemilik hak suara sangat bagus hanya jika masyarakat mengenal dengan baik para kandidat, dan itu mustahil dalam kancah pemilihan pejabat publik untuk level kampung ke atas, alias hanya cocok untuk level RT, RW, dan kelurahan/desa saja.  Teknologi informasi memang sudah sangat berkembang, tapi tidak mampu membuat masyarakat mengenali calon-calon wakilnya.  Konyol sekali sumber daya yang sangat bersar habis hanya untuk ilusi demokrasi yang tidak efektif karena memilih kucing dalam karung. Sistem demokrasi (apalagi proporsional terbuka) harus dilakukan berjenjang secara musyawarah mufakat dengan menjunjung tinggi hikmah kebijaksanaan sesuai prinsip sila ke-4 Pancasila, bukan dengan cara-cara  demokrasi liberal.

Demokrasi yang Terlampau Mahal. Sudah maklum bahwa NKRI adalah negara dengan populasi sangat besar dan multikultur, namun toh penyelenggara negara tetap nekat menerapkan pemilu langsung dimana kepala daerah, legislatif daerah, legislatif nasional, dan presiden dipilih langsung oleh rakyat yang jumlahnya ratusan juta orang.  Biaya akan lebih dahsyat lagi jika pemilu harus diulang karena kecurangan, kerusakan, atau paslon melawan kotak kosong.  Demokrasi memang mahal, tapi seharusnya tidak semahal demokrasi yang sekarang kita jalani.  Sangat banyak hal-hal yang lebih mendasar yang harus dibiayai daripada habis hanya untuk pemilu. Demokrasi musayarah mufakat yang direkomendasikan para pendiri bangsa tidak mahal, setidaknya tidak semahal cara demokrasi liberal yang sekarang kita jalani.

Demokrasi Sekarang Merintangi  Pencapaian Tujuan Negara. Demokrasi yang harusnya mewujudkan tujuan negara kini malah berkontribusi merintangi karena memunculkan perilaku anti persatuan, padahal bersama-sama demokrasi, persatuan nasional adalah cara mewujudkan cita-cita bangsa. Fakta, bahwa sistem pemilihan langsung telah memunculkan perpecahan di tengah masyarakat, terutama sejak pilkada DKI Jakarta 2012, pilpres 2014, dan seterusnya hingga saat ini. Wajah plural masyarakat Indonesia tidak secantik ketika Gus Dur masih hidup karena sistem demokrasi saat ini memberi kesempatan politik identitas tumbuh dan berkembang di negara yang rakyatnya sangat heterogen. Mau sampai kapan energi bangsa ini terkuras hanya untuk demokrasi yang penuh huru-hara?  Sebagai bangsa yang mayoritas muslim, mengapa tidak mencontoh demokrasi ala Rasulullah Saw yang mendidik orang menghargai ilmu dan kebijaksanaan, melalui musyawarah mufakat yang diwakili oleh tokoh-tokoh teladan ?

Kesimpulan

(1)   Pemilu secara langsung, meskipun dengan sistem proporsional terbuka di jaman teknologi informasi yang telah berkembang pesat, tidak menjamin pemilik hak suara mengenal tokoh yang dipilihnya.  Masyarakat terjebak pada situasi memilih kucing dalam karung, khususnya pada pemilihan DPR RI dan DPRD.

(2)   Pemilu secara langsung sangat mahal, tidak cocok untuk negara berpendapatan rendah-menengah dengan populasi sangat besar.

(3)   Pemilu secara langsung terbukti telah memecah belah masyarakat, padahal persatuan nasional adalah syarat mewujudkan tujuan negara.

(4)   Demokrasi NKRI yang sekarang sedang dijalani sangat membagongkan (membingungkan, palsu, mahal, tidak efisien, dan tidak efektif).

(5)   MPR RI, DPR RI, dan Presiden perlu merumuskan kembali cara NKRI berdemokrasi dengan memperhatikan rekomendasi para pendiri negara pada sila ke-4 Pancasila.

   

25 September 2024

MULTIKULTUR BETAWI DEPOK-INDONESIA

Indonesia memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda namun tetap bersatu.  Perbedaan itu meliputi perbedaan sosial seperti jenis pekerjaan, tingkat pendidikan, dan latar belakang agama; dan perbedaan budaya seperti suku, etnis, bahasa, makanan khas, bentuk rumah adat, pakaian, tarian, dan alat musik daerah. Pada tanggal 28 Oktober 1928 seluruh pemuda dari Indonesia berkumpul di Jakarta dan mengucapkan sumpah sebagai satu bangsa dan satu tanah air, serta menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia (Sumpah Pemuda).

Depok adalah salah satu kota di Indonesia yang secara administratif termasuk wilayah Provinsi Jawa Barat yang bercorak Sunda, namun secara kultural (sosial-budaya) lebih bercorak Betawi. Seperti halnya Indonesia pada umumnya, Depok yang bercorak Betawi pun memiliki keberagaman sosial-budaya (multikultur). Keberagaman sosial budaya di Depok meliputi agama, suku, ras, status sosial, busana, tata krama, profesi, tingkat pendidikan, latar belakang keluarga, dan lain-lain. Meski masyarakat Depok sangat heterogen, toleransi dalam masyarakat sangat tinggi. Populasi muslim Depok 90% lebih namun bisa dijumpai banyak gereja dan klenteng. Menelisik multikultural di Depok tidak lepas dari kultur dan spirit Betawi.

Betawi pada awalnya adalah nama daerah di sekitar Pelabuhan Kalapa, suatu kawasan niaga tua. Sejak dahulu pedagang dan musafir dari berbagai wilayah singgah dan sebagian menetap di Betawi. Masyarakat Betawi memiliki toleransi yang tinggi terhadap masyarakat pendatang dari berbagai daerah itu.  Meutia Hatta dalam makalah ilmiahnya tahun 1996 menulis bahwa suku Betawi hidup berdampingan dengan harmonis dengan penduduk pendatang dari Bugis, Jawa, Banten, Madura, Bali, Ambon, dan lain-lain. Meutia menulis pula bahwa orang Betawi bersikap dewasa dalam menyikapi perubahan, yaitu tidak memusuhi, dan selalu membaur.  Syuaib pada tahun 1996 melaporkan hasil penelitian pula bahwa 73% orang Betawi melakukan perkawinan antar ernik/antar suku. Orang Betawi juga memiliki sikap egaliter (menganggap semua orang sederajat), nampak dari kebebasan berbahasa  dan kebebasan berekspresi, namun tetap patuh dan hormat kepada orang tua.  

Alun-alun Barat Depok

Keberagaman di Depok sebetulnya adalah miniatur keberagaman nasional Indonesia. 

KEBERAGAMAN INDONESIA

Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki keragaman budaya, ras, suku bangsa, kepercayaan, agama, dan bahasa.  Sesuai semboyang Bhineka Tunggal Ika, maka meskipun memiliki keragaman budaya, Indonesia tetap satu.
Keragaman yang ada di Indonesia adalah kekayaan dan keindahan bangsa Indonesia. Untuk itu pemerintah akan terus mendorong keberagaman tersebut menjadi suatu kekuatan untuk bisa mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional menuju indonesia yang lebih baik.

Bentuk keberagaman di Indonesia
Indonesia adalah negara yang kaya, baik dari segi sumber daya alam maupun keberagamannya. Ada beberapa bentuk keberagaman di Indonesia, mulai dari keberagaman suku, keberagaman agama, keberagaman ras, dan juga keberagaman anggota golongan.

Keberagaman Suku
Indonesia adalah negara kepulauan. Dari geografis yang berbeda-beda tersebut, Indonesia memiliki banyak sekali suku. Suku bangsa atau yang disebut juga etnik dapat diartikan sebagai pengelompokan atau penggolongan orang-orang yang memiliki satu keturunan. Selain itu, kelompok suku bangsa ditandai dengan adanya kesamaan budaya, bahasa, agama, perilaku atau ciri-ciri biologis yang dimiliki.
Setiap suku bangsa mempunyai ciri atau karakter tersendiri, baik dalam aspek sosial maupun budaya. Indonesia memiliki lebih dari 300 kelompok suku, lebih tepatnya 1.340 suku bangsa. 

Keberagaman Agama
Indonesia adalah negara yang religius (beragama). Hal itu dibuktikan dalam sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Kebebasan dalam beragama dijamin dalam UUD Negara RI pasal 29 yang menyatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Di Indonesia ada enam agama yang diakui oleh negara. Agama-agama yang diakui oleh negara adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan juga Konghucu. Keenam agama harus hidup berdampingan di masyarakat dengan prinsip toleransi antarumat beragama.
Keberagaman Ras
Ras merupakan klasifikasi (pengelompokan)  untuk mengenal manusia melalui ciri  fisik dan asal usul daerahnya. Asal mula keberagaman ras di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor seperti singgahnya bangsa asing yang kemudian menetap di suatu daerah di Indonesia dan dan kondisi alam (geografis). 
Ada beberapa ras yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Ras Melayu yang berada di Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan, dan Sulawesi. Ras Melanesoid mendiami wilayah Papua, Maluku, dan juga Nusa Tenggara Timur.  Ras Mongoloid yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, yaitu seperti orang Tionghoa, Jepang, dan Korea. Ras Kaukasoid, yaitu orang-orang Australia, Eropa, dan Amerika. Ras Semit yaitu orang-orang dari jazirah Arab.

Keberagaman Golongan
Dalam masyarakat multikultural (multi = banyak; kultural = sosial budaya), keberagaman golongan bisa terjadi misalnya karena status sosial, pendidikan, jabatan, profesi atau pekerjaan, dan perbedaan pendapat.  Perbedaan pendapat dapat mengakibatkan perpecahan jika banyak yang merasa golongannya paling benar sehingga merendahkan anggota golongan lainnya. 

Toleransi dalam Keberagaman
Meskipun Indonesia adalah negara yang kaya akan perbedaan dan keberagaman, hal tersebut membuat Indonesia rentan terpecah-belah akibat perbedaan yang ada. Perpecahan di masyarakat bisa memicu konflik yang menimbulkan kerugian banyak pihak. Oleh karenanya, diperlukan sifat toleran dan juga tenggang rasa terhadap perbedaan dan kemajemukan di masyarakat. Sifat toleransi haruslah ditanamkan sejak dini supaya bisa menerima perbedaan yang ada.
Contoh perilaku toleransi seperti memberikan kesempatan kepada tetangga melakukan ibadahnya, tolong-menolong antarwarga ketika melaksanakan hari raya, dan tidak membeda-bedakan tetangga, dan menghargai perbedaan budaya yang ada.
Sikap dan perilaku toleransi terhadap keberagaman masyarakat merupakan kunci untuk meningkatkan persatuan dan kesatuan, serta mencegah proses perpecahan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia. Setiap individu hendaknya mengaplikasikan perilaku toleran terhadap keberagaman suku, agama, ras, budaya, dan antargolongan.


12 September 2024

MERDEKA BELAJAR

Oleh : Hamdan Arfani, SPt. MPd.

Kunjungan Fasilitator Kurikulum Merdeka, Dr.Rusdi, MSi di SMA BINTARA DEPOK

Merdeka Belajar adalah sebuah konsep belajar yang melayani anak sesuai karakter, bakat, dan minat sehingga tumbuh secara optimal. Merdeka Belajar memungkinkan peserta didik bisa belajar secara lebih mendalam dan tidak terburu-buru dalam proses pembelajaran; guru lebih leluasa untuk mengajar sesuai tahap capaian dan perkembangan peserta didik.  Merdeka Belajar memangkas hal-hal yang bersifat prosedural dan administratif yang dinilai menghambat efektivitas dan esensi pembelajaran.

Merdeka Belajar adalah sebuah program pendidikan yang berupaya mewujudkan kemerdekaan dalam belajar (merdeka dalam berpikir dan berekspresi). Merdeka belajar mengutamakan kemerdekaan berpikir guru sebagai syarat memunculkan kemerdekaan berpikir siswa dalam belajar (Kemendikbud 2006).  Merdeka Belajar bertujuan menggali potensi pendidik dan peserta didik serta meningkatkan kualitas pembelajaran secara mandiri.

Sehubungan dengan Merdeka Belajar, menindaklanjuti inovasi Kurikulum KTSP 2006 yang memberikan kemerdekaan kepada sekolah dan guru untuk mengembangkan kurikulum sendiri sesuai potensi daerahnya masing-masing dan gagasan tentang Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan (PAKEM), maka dalam rangka memperkuat inovasi kurikulum, pada tanggal 11 Februari 2022 Kemendikbudristek meluncurkan inovasi kurikulum yang diberi nama Kurikulum Merdeka.

Ada tiga keunggulan yang dijanjikan dalam kurikulum merdeka ini, yaitu;

  1. Fokus pada materi esensial agar ada pendalaman dan pengembangan kompetensi yang lebih bermakna dan menyenangkan,
  2. Kemerdekaan guru mengajar sesuai dengan tahap capaian dan perkembangan peserta didik dan,
  3. Pembelajaran melalui kegiatan proyek untuk pengembangan karakter dan kompetensi Profil Pelajar Pancasila melalui eksplorasi isu-isu aktual.

 

Beberapa hal penting menyangkut Kurikulum Merdeka, yaitu :

·         Pendekatan pembelajaran Merdeka Belajar lebih berpusat pada siswa (student-centered).

·         Strategi pembelajaran (kegiatan guru-murid) Merdeka Belajar berupa exposition-discovery learning dan group-individual learning.

·         Metode pembelajaran (cara guru mengimplementasikan rencana) Merdeka Belajar mengutamakan metode diskusi, brainstorming, debat, simposium dan sejanisnya dibandingkan metode ceramah.

·         Menekankan pada pemecahan masalah

Kurikulum Merdeka adalah kurikulum dengan pembelajaran intrakurikuler yang beragam dimana konten akan lebih optimal agar peserta didik memiliki cukup waktu untuk mendalami konsep dan menguatkan kompetensi.

 

11 September 2024

MATERIALISME, DIALEKTIKA, LOGIKA

Penulis : Hamdan Arfani, SPt. MPd.

Materialisme, Dialektika, dan Logika (Madilog) adalah sebuah judul buku yang ditulis Tan Malaka, seorang tokoh senior penyumbang pemikiran untuk Indonesia merdeka. Tan Malaka meyakini bahwa tujuan negara Republik Indonesia akan tercapai hanya jika melalui materialisme, dialektika, dan logika.  Apa yang diyakini Tan Malaka memancing orang untuk mencari tahu apa itu materialisme, dialektika, dan logika; apakah setelah memahaminya kita sepakat dengan pendapat Tan Malaka ?

Materialisme

Konsep materialisme Tan Malaka adalah materialisme dialektis, yakni berpikir rasional berdasarkan apa yang dapat dialami oleh panca indera dan menggunakan hukum dialektika untuk memahami perkembangan suatu materi. Memahami perkembangan suatu materi adalah proses intelektual yang menurut Karl Mark didahului oleh kondisi (kebutuhan) material kehidupan manusia. Kebutuhan material mendahului kesadaran.  Sampai disini materialisme tidak bertentangan dengan agama.  Materialisme menjadi kontra agama ketika materialisme meyakini bahwa materi sebagai satu-satunya keberadaan yang mutlak, menolak keberadaan apapun selain materi yang dapat dialami panca indera. Materialisme  menyatakan bahwa pada dasarnya segala hal terdiri atas materi, dan semua fenomena adalah hasil interaksi material, materi adalah satu-satunya substansi. 

Materialisme mendapat kritik dari eksistensialisme, bahwa manusia tidak bisa dipandang sebagai objek materi semata, karena manusia memiliki kompleksitas yang tak dapat diukur, misalnya saja ketika berhadapan dengan momen-momen eksistensial seperti pengambilan keputusan, kecemasan, takut, dan sebagainya.

Menurut Penulis, sebagian materialisme baik dalam kehidupan, tapi materialisme tidak dapat menjawab segala persoalan. Materialisme hanya mampu menjawab topik-topik empirik-rasional, padahal kehidupan tidak pernah serasional yang manusia pikirkan.

Dialektika

Dialektika berasal dari kata dialog, yang berarti komunikasi dua arah.  Dialektika adalah memperoleh pengetahuan yang lebih baik tentang suatu topik melalui pertukaran pandangan-pandangan dan argument-argumen yang rasional. Dalam kehidupan umum sehari-hari,  ngobrol pun menjadi sebuah momen dialektika ketika bertukar pandangan dengan argumen yang rasional dan sesuai fakta.  Dialektika adalah proses belajar, mencerdaskan pikiran, selama rasional dan sesuai fakta, bukan hoax. Lebih jauh, dialektika adalah cara menalar dan menganalisis yang melibatkan rekonsiliasi ide atau perspektif yang berbeda bahkan berlawanan.   Hegel berpendapat bahwa dalam dialektika ada tesis, antitesis, dan sintesis. Menurut Tan Malaka, dialektika mengandung 4 hal, yakni waktu, pertentangan, timbal-balik, dan pertalian. 

Dalam budaya barat, dialektika terwujud sebagai debat dimana pikiran sebagai satu-satunya  panglima, menyampingkan faktor perasaan dan sopan-santun tata  bicara.   Dalam budaya timur, dialektika bisa muncul dalam wujud yang sangat lunak (ngobrol atau sharing) tanpa kehilangan ketajamannya. 

Dialektika sejatinya adalah proses belajar alamiah tanpa henti sepanjang hayat.  Bangsa Indonesia adalah bangsa yang gemar bercakap-cakap, gemar berkumpul bersilaturahmi, maka mewujudkan dialektika dan menjadikannya budaya hanya tinggal satu langkah lagi menjadi bangsa yang paling cerdas, yaitu membiasakan berkata sesuai fakta (premis yang benar).

Logika

Logika adalah perangkat kecakapan untuk berpikir lurus, tepat, dan teratur.     Dasar-dasar dari logika adalah penalaran deduktif dan penalaran induktif. Baik deduktif maupun induktif, penalaran harus berangkat dari premis yang benar (pernyataan atau asumsi yang benar). Fakta adalah contoh premis yang benar. Premis yang ambigu dapat menjebak, berakhir pada kesimpulan yang salah. Premis yang ambigu sering muncul dari asumsi. Ketajaman logika dengan demikian sangat dipengaruhi validitas dan reliabilitas informasi.

Tan Malaka dalam buku Madilog, menulis bahwa bangsa Indonesia selain memiliki logika yang berlaku umum, memiliki pula logika mistis dan dogmatis, yang bagi Tan Malaka menghambat perkembangan berpikir bangsa. Logika mistika dan dogmatika bagi Tan Malaka yang materialis tentu dianggap berasal dari premis yang ambigu bahkan salah, wallahu’alam.


Kesimpulan

Tan Malaka dalam buku Madilog mengajarkan materialisme, dialektika, dan logika sebagai dasar membangun pikiran bangsa.

Materialisme sangat kontroversial karena tidak selaras dengan alam pikiran bangsa Indonesia yang spiritualis, bahkan mendapat kritik pula dari kelompok eksistensialis.

Dialektika Tan Malaka sejatinya adalah proses belajar alamaiah manusia. Bangsa Indonesia sebagai bangsa gotong-royong yang sarat momen-momen berkumpul hanya tinggal selangkah untuk proses dialektika, dihambat hanya oleh satu hal saja yaitu hoax dan sejenisnya. Bangsa yang berdialektika akan menjadi bangsa yang cerdas. 

Tan Malaka menulis, ada 2 logika bangsa Indonesia yang menghambat kemajuan berpikir, yaitu logika magis dan logika dogma.  Sebagai seorang muslim, penulis meyakini bahwa satu-satunya magis dan dogma yang pasti memberikan premis benar hanyalah magis dan dogma Islam, yang dalam sains modern telah banyak terkonfirmasi kebenarannya (al Quran). Sebagai bangsa yang mayoritas muslim, kaum muslimin Indonesia harus memilah mana mistis dan dogma yang kuat dasar pijakannya, dan mana yang tidak.