Hamdan Arfani
Awalnya saya malas membahas soal pilkada ini, I don’t care …
tapi dari waktu kewaktu nampaknya makin jelas ada sebagian oknum memaksakan
pendapatnya yang mengatasnamakan ‘rakyat’ … lha, saya juga kan rakyat, dan saya
tidak sependapat!
Lebih parah lagi dikatakan bahwa pemilihan tidak langsung itu tidak demokratis dan merampas hak rakyat ... weleh ... jangan lupa Bung kita orang Indonesia, demokrasi kita demokrasi pancasila bukan demokrasi ala 'amrik' atau ala 'euro'... Para "Founding Father" tidak alpa saat merumuskan dasar negara sila ke-4 ...
Lebih parah lagi dikatakan bahwa pemilihan tidak langsung itu tidak demokratis dan merampas hak rakyat ... weleh ... jangan lupa Bung kita orang Indonesia, demokrasi kita demokrasi pancasila bukan demokrasi ala 'amrik' atau ala 'euro'... Para "Founding Father" tidak alpa saat merumuskan dasar negara sila ke-4 ...
Lebih ngaco lagi ada yang bilang pemilihan tidak langsung adalah kemunduran dan tidak reformis. Tahun 1998 saya ikut demonstrasi sama seperti mahasiswa lainnya kala itu. Saya mendengar langsung pemikiran ‘neo
liberalism-neo kapitalism’ dari Bung BS . Saya
juga pernah ‘berhadap-hadapan’ dengan Mr. AA yang sekarang jadi staf khusus Presiden. Saya juga mengikuti sepak terjang Sdr. S dengan Forkot-nya … intinya sedikit
banyak saya mengalami dan menyimak apa yang terjadi kala itu. Reformasi tidak 'ngurusi' soal pilih langsung atau tidak ... itu terlalu remeh ... langsung atau tidak keduanya sama-sama demokratis, sama derajatnya, tinggal disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta kultur bangsa.
Demonstrasi mahasiswa 1998 menuntut reformasi (pembaruan)
dengan tiga agenda perang, yaitu perang terhadap (1) Korupsi, (2) Kolusi, dan (3)
Nepotisme. Kini di tahun 2014 kita semua
tahu bahwa reformasi telah gagal.
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang dulu ingin dibasmi sekarang
telah nyata kemenangannya.
Justru, sejauh pengamatan awam saya, pukulan pertama yang
merontokkan gerakan reformasi adalah diberlakukannya otonomi daerah dan
pemilihan umum langsung. Otonomi Daerah
(otda) merupakan penjelmaan ide ‘Negara Federasi Indonesia’ yang pernah ‘Bapak
Reformasi’, Pak Amien Rais lontarkan.
Pak Amien berasumsi dengan pemberian otonomi pada daerah, daerah akan
lebih cepat mencapai kesejahteraan karena kontrol lokal menyangkut KKN lebih cermat. Kini di tahun 2014 sudah sangat nyata, bahwa
asumsi Pak Amien itu salah, bahkan beliau sendiri pernah mengatakan dengan
gentleman tentang kesalahan asumsinya itu dibeberapa kesempatan.
Setelah berlaku Otonomi Daerah, apa yang terjadi ? Yang terjadi adalah munculnya raja-raja kecil
di tiap daerah, yang terjadi adalah
berkurangnya pengawasan pusat karena kini yang mengawasi adalah rakyat
jelata yang sebagian besar terbelit
kemiskinan … miskin harta, miskin informasi, dan miskin pengetahuan bagaimana
melakukan kontrol yang terorganisir.
Munculnya ‘raja’ dan kurangnya pengawasan akhirnya membiakkan KKN
yang jauh lebih dahsyat.
Tentang Pemilihan Langsung. Di Indonesia, sejatinya para ‘wakil rakyat’ sudah ada sejak
jauh sebelum pemilu dikenal. Kala itu segala sesuatu diputuskan dengan cara
musyawarah – mufakat. Kultur Indonesia adalah kultur musyawarah- mufakat, bukan voting… seperti halnya kultur toleransi bukan konflik. Maka musyawarah dan pemilihan tidak langsung (perwakilan) sebetulnya adalah budaya asli Indonesia. Itulah sebabnya
sila ke-4 Pancasila berbunyi :
KERAKYATAN YANG DIPIMPIN OLEH HIKMAT KEBIJAKSANAAN DALAM
PERMUSYAWARATAN/ PERWAKILAN. Sekarang, tinggal para elite negara ini ... konsisten atau tidak, setia atau tidak dengan Pancasila !!!
Kini, kita diberi hak untuk memilih langsung calon presiden,
memilih calon anggota DPR, memilih calon Gubernur, memilih calon Bupati …
memilih orang-orang yang sesungguhnya tidak
kita kenal… kecuali hanya meraba-raba, menduga-duga saja. Apalagi informasi yang kita terima menjelang
‘pemilihan’ sangat tendensius. Alih-alih
memilih orang jujur … yang terpilih bisa
jadi justru penipu, koruptor, dan tukang
kawin … weleh. Pemilihan secara langsung menebar benih perilaku sogok
(money politic). Jika terpilih, maka
yang menyogok akan segera mengembalikan ‘ongkos’ dengan cara korupsi.
Kesimpulan. Saya tidak ambil pusing soal pilkada langsung atau
tidak. Buat oknum yang mengatasnamakan
rakyat bahwa rakyat menghendaki langsung
… menghendaki tidak … tolong jangan
mengklaim sembarangan. Yang penting
bukan langsung atau tidak, yang penting fokus saja dengan agenda reformasi,
yaitu perang pada KKN : Korupsi, Kolusi, Nepotisme. Itu saja.
Serta stop kebiasaan menjelek-jelekkan kelompok lain, kelompok yang dijelek-jelekkan belum tentu kejelekannya. Tapi kelompok yang menjelek-jelekkan sudah PASTI jeleknya !
Serta stop kebiasaan menjelek-jelekkan kelompok lain, kelompok yang dijelek-jelekkan belum tentu kejelekannya. Tapi kelompok yang menjelek-jelekkan sudah PASTI jeleknya !

Pilkada langsung atau tidak ... bukan masalah. Yang penting jangan pilih orang yg tidak Anda kenal sebagai pemimpin atau wali Anda ...
BalasHapus