Menutup tahun 2009, kita kehilangan seorang tokoh nasional, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.  Pada awalnya Gus Dur dikenal sebagai pengajar agama Islam biasa lulusan universitas di Irak dan pernah juga mukim di Mesir.  Pada tahun 1979 beliau bergabung dengan organisasi Nahdatul Ulama (NU) yang didirikan oleh kakeknya. 
Gus Dur adalah anak dari KH. Wahid Hasyim yang pernah menjadi menteri agama RI era Bung Karno, sekaligus juga cucu dari KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdatul Ulama.  Baik Hasyim Asy’ari maupun Wahid Hasyim, keduanya adalah Pahlawan Nasional kita. 
Popularitas Gus Dur semakin cemerlang manakala terpilih sebagai Ketua Umum  Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) setelah bersaing ketat dengan tokoh muda cerdas dan berani Sri Bintang Pamungkas pada tahun 1980-an.  Pada masa itu  beliau mulai dikenal sebagai cendekiawan dan tokoh pertama yang berani ‘vokal’ terhadap rezim Soeharto.    Pemikiran-pemikiran Gus Dur banyak ditulis di berbagai media massa, sebagian lagi tersampaikan pada berbagai diskusi. 
 Pada tahun 1990—2000an, Gus Dur telah diakui oleh khalayak sebagai salah seorang  Guru Bangsa, bersanding dengan tokoh besar lainnya  seperti Nurcholish Madjid dan Mangunwijaya.  Pada Pemilu pertama di era reformasi, Gus Dur dipilih sebagai Presiden ke-4 RI. 
 Secara geneaologis, seperti yang konon pernah diucap Gus Dur sendiri, beliau adalah keturunan Raden Fatah, seorang raja sekaligus pendiri Kerajaan Demak yang notabene adalah putra raja Majapahit Prabu Kertabumi.  Raden Fatah yang bernama asli Jin Bun adalah seorang peranakan Tionghoa dari pihak ibu.  Asal keturunan Gus Dur ini pernah beliau utarakan sehubungan munculnya wacana anti cina pada tahun 1990-an lalu.  Komentar Gus Dur tentang perkerabatannya dengan etnik Tionghoa sekaligus mengajak semua orang tersadar bahwa bangsa Indonesia sesungguhnya lahir sebagai bangsa  perbauran. 
 Gus Dur dipuji bahkan hingga wafatnya karena memperjuangkan pluralisme yang berinti pada semangat memaklumi segala perbedaan untuk kebaikan dan kemajuan bersama. Namun, pun karena perjuangan pluralisme itu, Gus Dur dibenci oleh beberapa golongan.   Gus Dur dicap sebagai tokoh liberalisme – sekulerisme, dicap sebagai antek Yahudi. 
 Adapula yang berkomentar bahwa Gus Dur itu gila.  Tapi kegilaan Gus Dur segera disanggah  oleh pendukungnya dengan kalimat :  dalam sebuah komunitas orang gila, satu-satunya yang gila justru adalah satu-satunya yang waras !  
Sebagai cendekiawan, budayawan, dan agamawan, Gus Dur terkenal sangat kontroversial.  Namun kontroversi Gus Dur segera pula dimaklumi sebagai produk cara pandang kreatif sehingga banyak pula pendukungnya.  Cara pandang kreatif Gus Dur terhadap berbagai permasalahan masyarakat bak besi berani  karena mampu menggelitik nalar bahkan menggoncang keyakinan normatif. 
  
Moralitas Kebangsaan Gus Dur 
 Gus Dur adalah tokoh nasional dan internasional.  Sebagai tokoh nasional, Gus Dur berhasil mencontohkan perilaku yang didasari  moralitas kebangsaan yang kini banyak dilupakan para elite negeri ini.  Apalagi meski Gus Dur adalah seorang tokoh politik, pendiri sebuah partai politik,  namun nyata beliau bukan seorang politikus.  Gus Dur ternyata seorang negarawan sejati.
Seharusnyalah seorang politikus sekaligus pula seorang negarawan.  Namun sayang, politikus bangsa kita umumnya adalah politikus Machiavellian, sehingga tujuan para politikus bukan lagi tujuan etis, namun semata kekuasaan.  Maka hanya negarawan sajalah yang tetap pada tujuan etis itu. 
 Beberapa moralitas kebangsaan Gus Dur yang membuktikan bahwa beliau adalah seorang negarawan sejati adalah 
 1. Gus Dur mendorong lahirnya UU tentang hal yang sebelumnya sangat tidak popular bagi pencari kekuasaan, atau ‘ditakuti’ untuk disentuh seperti halnya masalah agama Kong Hu Cu, tapol/napol eks PKI, etnik Tionghoa, penyesuaian gaji PNS, dll.  Para politikus sangat takut berurusan dengan UU ini.  Dasar-dasar ajaran politik Machiavellian yang banyak dianut politikus kita menyatakan “… tidak ada hal yang lebih sulit pengaturannya, lebih meragukan keberhasilannya, dan lebih berbahaya pelaksanaannya selain prakarsa mengubah undang-undang.  Pembaruan mengubah UU akan membuat orang-orang yang selama ini telah hidup enak akan menjadi musuh…” 
 2. Gus Dur menolak menjadi bunglon.  Gus Dur menolak pula untuk berbuat khianat kepada masyarakat.  Padahal dasar ajaran politik yang banyak dianut politikus kita menyatakan “Orang yang ingin mempertahankan kekuasaan harus bisa berbuat kstatria dan tidak ksatria, berbuat baik atau tercela, mampu menggunakan cara-cara binatang dan manusia,  bilamana diperlukan. Dan seorang Penguasa tidak harus memegang janji.” 
 3. Gus Dur menolak perilaku ‘cari muka’ untuk memperoleh simpati rakyat.  Sikap kontroversial Gus Dur membuktikan beliau jauh dari upaya-upaya sengaja penggalangan simpati umum. Beliau tidak mengorbankan kaum minoritas untuk menyenangkan hati kaum mayoritas.  Dalam membela kaum minoritas Gus Dur menjaminkan dirinya sendiri.  Pembelaan Gus Dur terhadap kaum minoritas ini tidak selalu disukai orang kebanyakan.  Padahal, ajaran politik yang umum berlaku menyatakan “… menunjuk orang lain untuk melaksanakan tindakan-tindakan yang tidak disenangi masyarakat, namun melakukan sendiri tindakan-tindakan yang menyenangkan hati masyarakat itu.” 
 4. Gus Dur menolak menjadi antek asing atau kekuasaan lain, karena mendukung kekuasaan lain atau asing itu berujung kompromi yang bisa mengurangi kemajuan bangsa sendiri.  Padahal ajaran politik yang umum dianut menyatakan bahwa “untuk mempertahankan kekuasaan, seseorang harus terang-terangan memihak atau bersekutu pada kekuatan yang lebih besar atau kekuatan yang selama ini telah menjadi pemenang.” 
 Demikianlah beberapa tindakan Gus Dur yang membuktikan kenegarawanan beliau melalui aplikasi moralitas kebangsaannya.

Ya, anda benar.
BalasHapusKarena beliau dan tokoh dunia lainnya, maka saya mampu membuat tulisan tentang Teori Kedermawanan - Solusi penanggulangan Pengangguran dan Kemiskinan aspiratif yang telah berbentuk buku.
Salam.