Tanpa kejernihan hidup yang bagaimana, manusia bisa berdamai dengan kematian ? Tak ada kebaikan yang tak berbalas, tak ada keburukan yang tak bersanksi. My wisdom goes over the sea of wild wisdom

26 Juli 2021

STRATEGI KEBUDAYAAN SKALA MIKRO

 

(MEMBENTUK NORMA DAN BUDAYA DI SEKOLAH)

Penulis : Hamdan Arfani

Idealnya, di sekolah, siswa tidak hanya belajar menjadi pintar, tapi juga dididik agar berkarakter unggul dan mampu berkontribusi dalam penciptaan lingkungan yang lebih baik. Upaya mewujudkan sekolah yang ideal ini perlu sebuah strategi, yaitu strategi kebudayaan meski dalam lingkup mikro.

Kebudayaan sebagai perencanaan masa depan diungkap C. A. Van Peursen sebagai strategi kebudayaan, yaitu upaya manusia untuk belajar dan merancang kebudayaannya yang meliputi tujuan hidup, makna hidup, ilmu pengetahuan, teknologi, seni, bahasa, dan segala hal kehidupan, termasuk norma-norma. Dalam perspektif Van Peursen, kebudayaan adalah sebuah instrument.

Dalam Prakata buku Strategi Kebudayaan (Van Peursen), Soedjatmoko (1976) menyatakan bahwa kebudayaan sebagai suatu proses belajar yang terus menerus, dimana kreativitas dan inventivitas kait mengait dengan pertimbangan-pertimbangan etis; mampu membimbing proses modernisasi dan pembangunan. Konsep kebudayaan Van Peursen ditegaskan oleh Soedjatmoko selain sebagai instrument, kebudayaan adalah juga sebagai sekolah dimana kita dididik dan mengambil pelajaran.

STRATEGI KEBUDAYAAN SKALA MIKRO DI SEKOLAH

Van Peursen dan Soedjatmoko tentu saja membicarakan strategi kebudayaan dalam lingkup besar, yaitu lingkup negara bahkan dunia. Namun dari mereka berdua, saya terinspirasi lalu mewujudkannya pada suatu sekolah, katakanlah strategi kebudayaan skala mikro, membentuk budaya sekolah dan norma-norma.

Pada awal tahun 2000-an, saya adalah guru yang baru bergabung di sebuah sekolah yang kondisi dan suasananya jauh dari nyaman. Secara fisik, bangunan sekolah belum diplafon seluruhnya, ruang kelas sempit, skat antar ruang kelas hanya triplek sehingga suara riuh di kelas sebelah terdengar jelas di kelas yang lain, ubinnya adalah keramik bekas pakai, ruang kantor dan TU menyatu berukuran 2 x 10 meter, tidak ada meja guru, hanya ada 1 meja TU dan sofa untuk duduk guru plus beberapa bangku kayu. Halaman sekolah tidak lebih luas dari sebuah lapangan bulu tangkis. Fisik sekolah yang ala kadarnya diperparah oleh banyaknya sampah dimana-mana selama jam sekolah. Satu-satunya nilai plus adalah guru-guru yang energik, tapi itupun tidak terorganisir dengan baik.

Strategi Perdana : Mewujudkan Sekolah Bersih

Sehari-hari, siswa di sekolah hanya belajar dan jajan saja. Belum pernah ada kegiatan upacara bendera dan tidak ada kegiatan ekskul. Siswa datang jam 07.30 dan segera pulang jam 11.00.  Maka ketika suatu hari mereka dibariskan dan diajari satu-dua gerakan baris-berbaris, itu adalah sesuatu yang baru dan amat menarik bagi mereka. Jelas sekali nampak siswa senang dan antusias.  Esoknya, dan hari-hari berikutnya, acara berbaris dengan satu-dua gerakan rutin dilakukan meski hanya 5-10 menit sebelum masuk kelas atau sebelum mereka pulang… tapi kini ditutup dengan memungut sampah yang kami istilahkan "operasi bersih.” Mereka hanya boleh masuk kelas atau pulang jika sekolah yang tidak terlalu luas itu bersih dari sampah apapun.

Operasi Bersih kemudian dijadikan bentuk “hukuman resmi” sekolah bagi siswa yang datang terlambat, tidak mengerjakan PR, dan sebagainya. Belakangan hari, istilah hukuman berubah menjadi “konsekuensi”. Memungut sampah menjadi konsekuensi  yang disepakati atas pelanggaran yang dilakukan. Betul-betul terjadi di sekolah saya, ketika siswa mendapat konsekuensi memungut sampah, sangat sulit menemukan sampah sekecil apapun.

Ketika memungut sampah setiap hari dan menjaga kebersihan sekolah sudah menjadi kebiasaan, bahkan menjadi konsekuensi atas pelanggaran, maka sudah terbentuk norma sekolah bersih. Kebiasaan dan norma yang dijaga bersama akan menjadi budaya sekolah.

Saya membangun kebiasaan dahulu, kemudian menjadi norma. Hambatan-hambatan datang jika subjek strategi, yaitu guru, tidak kompak: tidak se-visi se-misi. Kekompakan adalah energy terbesar dalam strategi kebudayaan dan membangun norma sekolah.

Mewujudkan sekolah bersih adalah strategi kebudayaan mikro perdana saya, pada masa-masa selanjutnya disusul dengan mewujudkan budaya disiplin, budaya semangat datang ke sekolah, budaya berpakaian rapih, budaya berpenampilan rapih, dan lain-lain. Budaya-budaya itu dibangun dari kebiasaan yang terorganisir, diulang-ulang, kemudian dijadikan norma sekolah. Ada satu hal penting sebelum memulai segalanya, dan ini menjadi strategi di tahap paling awal, yaitu menciptakan atau memanfaatkan yang namanya momentum. Jangan remehkan momentum.

Hambatan-hambatan

Membangun norma dan budaya di sekolah tentu saja tidak tanpa hambatan.  Hambatan-hambatan tersebut diantaranya :

1). Sumber Daya Manusia (SDM) yang tidak memadai.  SDM yang tidak memadai misalnya tidak memiliki keinginan membuat sesuatu yang lebih baik, tidak memiliki kemampuan mengorganisir program, tidak memiliki kemampuan kerja kelompok yang semestinya, sikap masa bodoh, apatis, pesimis, dan sebagainya.

2). Budaya lama. Budaya lama yang bertolak-belakang atau tidak paralel dengan pembangunan norma yang sedang dijalankan akan menjadi hambatan karena dianggap aneh, berlebihan, bahkan tidak perlu oleh banyak orang. 

3). Program yang tidak terkelola dengan baik.  Program membangun norma dan budaya unggul, sebagus apapun programnya tidak akan segera terwujud jika tidak ada pengorganisasian yang baik, tidak terkontrol, dan tidak berkesinambungan. Saya sering melihat peraturan sekolah yang begitu banyaknya bahkan sangat bagus, namun tidak terlaksana dengan baik. Sehingga aturan-aturan yang tertulis indah itu tidak lebih hanya menjadi hiasan saja. Padahal, peraturan adalah salah satu instrumen dalam pembentukan norma dan budaya di sekolah.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis komentar pada space yang tersedia. Komentar akan muncul setelah disetujui Admin.