(MEMBENTUK NORMA DAN BUDAYA DI SEKOLAH)
Penulis : Hamdan Arfani
Idealnya, di sekolah, siswa tidak hanya belajar menjadi
pintar, tapi juga dididik agar berkarakter unggul dan mampu berkontribusi dalam
penciptaan lingkungan yang lebih baik. Upaya mewujudkan sekolah yang ideal ini
perlu sebuah strategi, yaitu strategi kebudayaan meski dalam lingkup mikro.
Kebudayaan sebagai perencanaan masa depan diungkap C. A. Van
Peursen sebagai strategi kebudayaan, yaitu upaya manusia untuk belajar dan
merancang kebudayaannya yang meliputi tujuan hidup, makna hidup, ilmu
pengetahuan, teknologi, seni, bahasa, dan segala hal kehidupan, termasuk
norma-norma. Dalam perspektif Van Peursen, kebudayaan adalah sebuah instrument.
Dalam Prakata buku Strategi Kebudayaan (Van Peursen),
Soedjatmoko (1976) menyatakan bahwa kebudayaan sebagai suatu proses belajar
yang terus menerus, dimana kreativitas dan inventivitas kait mengait dengan
pertimbangan-pertimbangan etis; mampu membimbing proses modernisasi dan
pembangunan. Konsep kebudayaan Van Peursen ditegaskan oleh Soedjatmoko selain
sebagai instrument, kebudayaan adalah juga sebagai sekolah dimana kita dididik
dan mengambil pelajaran.
STRATEGI KEBUDAYAAN SKALA MIKRO DI SEKOLAH
Van Peursen dan Soedjatmoko tentu saja membicarakan strategi
kebudayaan dalam lingkup besar, yaitu lingkup negara bahkan dunia. Namun dari
mereka berdua, saya terinspirasi lalu mewujudkannya pada suatu sekolah,
katakanlah strategi kebudayaan skala mikro, membentuk budaya sekolah dan
norma-norma.
Pada awal tahun 2000-an, saya adalah guru yang baru
bergabung di sebuah sekolah yang kondisi dan suasananya jauh dari nyaman.
Secara fisik, bangunan sekolah belum diplafon seluruhnya, ruang kelas sempit,
skat antar ruang kelas hanya triplek sehingga suara riuh di kelas sebelah
terdengar jelas di kelas yang lain, ubinnya adalah keramik bekas pakai, ruang
kantor dan TU menyatu berukuran 2 x 10 meter, tidak ada meja guru, hanya ada 1
meja TU dan sofa untuk duduk guru plus beberapa bangku kayu. Halaman sekolah
tidak lebih luas dari sebuah lapangan bulu tangkis. Fisik sekolah yang ala
kadarnya diperparah oleh banyaknya sampah dimana-mana selama jam sekolah.
Satu-satunya nilai plus adalah guru-guru yang energik, tapi itupun tidak
terorganisir dengan baik.
Strategi Perdana : Mewujudkan Sekolah Bersih
Sehari-hari, siswa di sekolah hanya belajar dan jajan saja.
Belum pernah ada kegiatan upacara bendera dan tidak ada kegiatan ekskul. Siswa
datang jam 07.30 dan segera pulang jam 11.00.
Maka ketika suatu hari mereka dibariskan dan diajari satu-dua gerakan
baris-berbaris, itu adalah sesuatu yang baru dan amat menarik bagi mereka.
Jelas sekali nampak siswa senang dan antusias.
Esoknya, dan hari-hari berikutnya, acara berbaris dengan satu-dua
gerakan rutin dilakukan meski hanya 5-10 menit sebelum masuk kelas atau sebelum
mereka pulang… tapi kini ditutup dengan memungut sampah yang kami istilahkan
"operasi bersih.” Mereka hanya boleh masuk kelas atau pulang jika sekolah
yang tidak terlalu luas itu bersih dari sampah apapun.
Operasi Bersih kemudian dijadikan bentuk “hukuman resmi”
sekolah bagi siswa yang datang terlambat, tidak mengerjakan PR, dan sebagainya.
Belakangan hari, istilah hukuman berubah menjadi “konsekuensi”. Memungut sampah
menjadi konsekuensi yang disepakati atas
pelanggaran yang dilakukan. Betul-betul terjadi di sekolah saya, ketika siswa
mendapat konsekuensi memungut sampah, sangat sulit menemukan sampah sekecil
apapun.
Ketika memungut sampah setiap hari dan menjaga kebersihan
sekolah sudah menjadi kebiasaan, bahkan menjadi konsekuensi atas pelanggaran,
maka sudah terbentuk norma sekolah bersih. Kebiasaan dan norma yang dijaga
bersama akan menjadi budaya sekolah.
Saya membangun kebiasaan dahulu, kemudian menjadi norma.
Hambatan-hambatan datang jika subjek strategi, yaitu guru, tidak kompak: tidak
se-visi se-misi. Kekompakan adalah energy terbesar dalam strategi kebudayaan
dan membangun norma sekolah.
Mewujudkan sekolah bersih adalah strategi kebudayaan mikro
perdana saya, pada masa-masa selanjutnya disusul dengan mewujudkan budaya
disiplin, budaya semangat datang ke sekolah, budaya berpakaian rapih, budaya
berpenampilan rapih, dan lain-lain. Budaya-budaya itu dibangun dari kebiasaan
yang terorganisir, diulang-ulang, kemudian dijadikan norma sekolah. Ada satu
hal penting sebelum memulai segalanya, dan ini menjadi strategi di tahap paling
awal, yaitu menciptakan atau memanfaatkan yang namanya momentum. Jangan
remehkan momentum.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar pada space yang tersedia. Komentar akan muncul setelah disetujui Admin.