Mengawali tulisan ini, saya mengutip pandangan Machiavelli tentang kekuasaan yang ditulis Sastrapratedja (2002) dalam Kata Pengantar dari sebuah buku terjemahan berjudul asli “Il Principe”, sebuah buku yang disebut-sebut punya kontribusi dalam proses perubahan dunia, terutama dalam membangun kultur politik pada masa modern ini : Kekuasaan bukan soal legitimasi moral, tapi bagaimana kekuasaan yang tidak stabil menjadi stabil dan lestari; bahwa tugas pemerintah yang sebenarnya adalah mempertahankan serta mengembangkan kekuasaan, karena itu dibutuhkan kekuatan sebagai unsur integral dan elemen paling esensial dalam politik; bahwa tujuan dari semua usaha pennguasa adalah mempertahankan stabiltas suatu negara; dalam mengambil tindakan, pertimbangan penguasa tidak bertolak dari kemauan rakyat, tapi bertolak dari efisiensi secara politik; seandainya kekuasaan sudah stabil, maka langkah politik berikutnya adalah menarik simpati rakyat dengan pelbagai bantuan; negara yang kuat membutuhkan oposisi yang kuat untuk menyempurnakan pola manajemen kekuasaannya, karena tujuan terakhir dari perjuangan sang penguasa adalah kemuliaan dirinya sendiri.”
Kekuasaan
ala Machiavelli
Sebelum membahas hakekat
kekuasaan menurut versi lain, kekuasaan ala Machiaveli masih menarik
diperbincangkan, bukan cuma karena kontroversi sejak awal kemunculannya, tapi
di jaman modern ini nampaknya tidak sedikit politikus yang mengikuti spiritnya.
Menurut Machiavelli,
kekuasaan adalah satu-satunya tujuan dalam politik.  Kekuasaan adalah untuk mendapatkan kekuasaan
yang lebih besar dan lebih langgeng, dengan cara berfokus pada tujuan-tujuan konkrit
jangka pendek, yang untuk mencapainya tidak perlu mempertimbangkan masalah
moral dan pendapat orang banyak. 
Kekuasaan ala Machiavelli
lebih memberi porsi pada apa dan bagaimana memperoleh dan mempertahankan
kekuasaan. Sementara untuk tujuan besar
apa kekuasaan tersebut, Leopold von Ranke, seorang ahli sejarah kebangsaan
Jerman, mengungkapkan asumsi filsafat politik Machiavelli : yang membiarkan
pemerkosaan pedoman-pedoman moral untuk mencapai tujuan etis yang lebih luhur
lagi, dan pencapaian tujuan-tujuan jangka pendek untuk kekuasaan yang lebih
stabil adalah mengamankan pencapaian tujuan-tujuan jangka panjang yang umumnya
diminati golongan moralis.
Pembagian
kekuasaan di Indonesia
Negara Indonesia menganut sistem pembagian kekuasaan. Penerapan
pembagian kekuasaan di Indonesia terdiri dari dua bagian, yaitu pembagian
kekuasaan secara horizontal dan pembagian secara vertikal. Pembagian tersebut
tertuang dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. 
Kekuasaan Horizontal
Pembagian kekuasaan horizontal merupakan pembagian
kekuasaan menurut fungsi lembaga-lembaga tertentu, yakni legislatif, eksekutif,
dan yudikatif. Dalam UUD 1945, kekuasaan secara horizontal pembagian kekuasaan
negara dilakukan pada tingkatan pemerintah pusat dan pemberintah daerah. Pada
pembagian kekuasaan di pemerintah pusat berlangsung antara lembaga-lembaga
negara yang sederajat. Namun adanya perubahana UUD 1945 terjadi pergeseran
pembagian kekuasaan di pemerintah pusat. Dalam buku Kontruksi Hukum Tata Negara
Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945 (2010) karya Titik Triwulan, pada UUD 1945
hasil amandemen menetapkan empat kekuasaan dan tujuh lembaga negara. Terdapat pergeseran
klasifikasi kekuasaan negara yang umumnya terdiri atas tiga jenis menjadi enam
kekuasaan negara, yaitu
(1) Kekuasaan konstitusi 
Kekuasaan konstitusi merupakan kekuasaan untuk mengubah dan
menetapkan UUD. Kekuasaan ini dipegang oleh Majelis Permusyawarar Rakyat (MPR).
Pada Pasal 3 ayat (1) UUD 45 menyatakan “Majelis Permusyawaratan Rakyat
berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.” Dikutip situs Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), hampir semua negara di dunia memiliki konstitusi
tertulis atau UUD yang mengatur pembentukan, pembagian wewenang dan cara
bekerja berbagai lembaga kenegaraan. Konstitusi suatu negara pada hakekatnya
merupakan hukum dasar tertinggi yang memuat hal-hal mengenai penyelenggaraan
negara. Karena suatu konstitusi harus memiliki sifat yang lebih stabil dari
produk hukum lainnya. Adanya konstitusi dapat membawa perubahan bagi sistem
penyelenggaraan negara. Bisa juga negara demokrasi berubah menjadi otoriter
karena terjadi perubahan konstutisi.
(2)
Kekuasaan Eksekutif
Kekuasaan eksekutif merupakan kekuasaan untuk melaksanakan
atau menjalankan undang-undang. Tidak hanya itu tapi juga penyelanggaraan
negara. Pada kekuasaan tersebut dipegang oleh presiden. Di mana itu tertuang
dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa presiden memegang
kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. 
(3) Kekuasaan legislatif 
Kekuasaan legislatif merupakan kekuasaan untuk membuat atau
membentuk undang-undang. Pada Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
Dikutip situs Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), DPR tidak hanya menyusun dan
membuat undang-undang. Tapi juga menyerap, menghimpun, menampung dan
menindaklanjuti aspirasi rakyat. Selain itu memberikan persetujuan kepada
presiden untuk menyatakan perang ataupun membuat perdamaian dengan Negara lain,
mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial. 
Dilansir Encyclopaedia Britannica (2015), sebelum munculnya
badan legislatif, hukum didikte oleh raja. Legislatif awal termasuk parlemen
Inggris dan Icelandic Althing (didirikan sekitar 930). Kekuasaan mereka dapat
mencakup pengesahan undang-undang, penetapan anggaran pemerintah. 
(4) Kekuasaan yudikatif 
Kekuasaan  yudikatif merupakan kekuasaan untuk
mempertahankan undang-undang. Pada kekuasaan tersebut juga untuk mengadili
setiap pelanggaran terhadap undang-undang. Pada kekuasaan tersebut sering
juga  menyelesaikan kasus-kasus administrasi. Pada kekuasaan tersebut dipegang
oleh Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Kekuasaan tersebut
tertuang dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi. 
(5) Kekuasaan eksaminatif 
Kekuasaan eksaminatif merupakan kekuasaan yang berhubungan
dengan penyelenggaraan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab tentang
keuangan. Pada kekuasaan tersebut dijalankan oleh Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK). Ini tertuang dalam Pasal 23 E ayat (1) UUD 1945. 
(6) Kekuasaan moneter  
Kekuasaan moneter merupakan kekuasaan untuk menetapkan dan
melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem
pembayaran. Kekuasaan tersebut dijalankan oleh Bank Indonesia (BI) dan tertuang
dalam Pasal 23 D UUD 1945. Di mana yang berbunyi bahwa negara memiliki suatu
bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan
indepedensinya diatur dalam undang-undang. 
Kekuasaan Vertikal 
Kekuasaan vertikal merupakan pembagian kekuasaan menurut
tingkatnya, yakni pembagian kekuasaan antara beberapa tingkatan pemerintah.
Pada pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi
atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu
mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Pada kekuasaan
vertikal muncul sebagai konsekuensi diterapkannya asa desentralisasi. Di mana
pemerintah pusatmenyerahkan wewenang kepada pemerintah daerah. Sistem yang
dipakai dengan adanya itu dengan otonomi daerah. Di mana pemerintah daerah
mengurusi urusan daerahnya. 
Supremasi Hukum di Indonesia
Bangsa Indonesia sepakat bahwa NKRI
adalah Negara hukum. Negara hukum menjalankan pemerintahan berdasar kedaulatan
hukum bukan kekuasaan, bertujuan menjalankan ketertiban hukum (Pasya dalam
Winarno, 2006).  Yulies Tiena Masriani dalam Pengantar Hukum Indonesia
(2004) menyatakan bahwa hukum adalah perangkat norma atau kaidah yang berfungsi
mengatur tingkah laku manusia dengan tujuan ketentraman dan kedamaian dalam
masyarakat.  Tanpa hukum, manusia akan bertingkah barbar seperti binatang
: menjajah sesamanya, yang terkuat yang akan berkuasa, saling membantai tiada
henti.
Prof. Dr. Soerjono Soekanto berpendapat
bahwa penegakan hukum dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya produk hukum,
penegak hukum, fasilitas hukum, masyarakat, dan budaya. 
Produk hukum misalnya UUD, UU, Perpu,
Permen, Perda, dan sebagainya. UUD dan UU dibuat oleh lembaga legislatif
negara, yaitu DPR. Perpu, Permen, dan Perda dibuat oleh lembaga eksekutif yang
hierarkinya dibawah UUD dan UU, sebagai penjabaran hukum di atasnya.
Masalah-masalah produk hukum di
Indonesia saat ini, diantaranya masalah multitafsir, masalah tumpang-tindih
dengan pasal-pasal dan aturan lain sehingga menimbulkan keruwetan dalam hukum,
dan ketidaksesuaian hukum dengan azaz di atasnya. 
Dalam hal keruwetan hukum, dalam level
eksekutif, Presiden Joko Widodo melalui menterinya melakukan pemangkasan dan
peninjauan kembali hukum. Dalam hal ketidak sesuaian hukum dengan azaz di
atasnya, Penulis menilai UU tentang pemilihan umum secara langsung
 mengabaikan spirit musyawarah mufakat yang tercantum dalam sila ke-4
Pancasila, meski Pancasila tidak termasuk dalam hierarki hukum negara, tapi
Pancasila adalah salah satu Pilar Kebangsaan dan sumber dari segala sumber
hukum yang harus dihormati. Dalam level legislatif, DPR-MPR RI melakukan
amandemen beberapa pasal UUD 45. Amandemen UUD ini berpotensi mengubah negara,
sehingga perlu mendapat perhatian utama.  Amandemen pertama UUD 45 terjadi
pada tahun 1999, mengubah 9 pasal (pasal 5, 7, 9, 13, 14, 15, 17, 20, dan pasal
21). Hingga kini telah terjadi beberapakali amandemen.  Hal terpenting
dari amandemen tersebut menurut Penulis adalah 
(1) Amandemen I tahun 1999 memperkuat
posisi legislatif;
(2) Amandemen II tahun 2000 mengenai
kewenangan DPR, pemerintah daerah, HAM, lambing negara, dan lagu kebangsaan;
(3) Amandemen III tahun 2001 mengenai
kewenangan MPR, kepresidenan, kedaulatan negara, keuangan negara, dan kekuasaan
kehakiman;
(4) Amandemen IV tahun 2002 mengenai
penggantian presiden, DPD sebagai bagian MPR, pernyataan perang, perdamaian dan
perjanjian, pendidikan dan  kebudayaan, perekonomian nasional, mata uang,
dan bank sentral.
Badan-badan penegak hukum di Indonesia
diantaranya : Polri, BNN, Kejaksaan Agung, BNPT, BIN, dan Bakamla (dibawah
Menko Polhukan); Pol.PP (dibawah Mendagri); Dirjen Bea dan Cukai, dan Dirjen
Pajak (dibawah Menkeu); Polisi Kehutanan (dibawah Menteri KLH dan Kehutanan);
Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (dibawah Menhub); Dirjen Imigrasi dan Polisi
Penjara/Sipir (dibawah Menkumham); Polisi Militer (dibawah Panglima TNI); KPK
(independe); dan Wilayaul Hisbah (khusus di Aceh, independen); hakim dan
advokad.
Menurut Penulis, masalah utama dari
penegak hukum adalah rawannya penyuapan dan kinerja yang rendah.  Sudah
dimaklumi bersama bahwa penegak hukum rawan disuap, penulis tidak akan membahas
masalah ini lebih lanjut.  Lembaga penegak hukum secara intern harus
membuat sistem sedemikian rupa agar bisa menghindari penyuapan dan terus
meningkatkan tingkat kepercayaan masyarakat kepada penegak hukum.   
Masalah berikutnya adalah kinerja yang
rendah, entah karena pertambahan kejahatan lebih tinggi daripada percepatan
kasus yang terselesaikan, kurangnya jumlah personil penegak hukum, atau factor
kecakapan yang tidak memadai. Penulis memiliki setidaknya dua pengalaman
meminta bantuan penegak hukum. Pertama, kasus pencurian dengan kerugian materi
kurang dari sepuluh juta rupiah, kasus ditangani dan selesai dengan memuaskan.
Kedua, kasus penipuan penjualan tanah dengan kerugian materi di atas tigapuluh
juta rupiah, kasus bertahun-tahun tidak selesai, kini hampir kadaluarsa. Dari
dua pengalaman tersebut secara umum penulis tidak bisa mengatakan puas dengan
kinerja penegak hukum.
Ketika berhadapan dengan opini
masyarakat, aparat penegak hukum seringkali nampak gamang dalam menegakkan
hukum.  Hal tersebut nyata dalam pengamatan penulis terutama pada kasus
HRS (2020), meski kemudian penegak hukum kembali mampu bersikap dan bertindak
tegas terukur sesuai UU. Dewasa ini, opini masyarakat (opini public) sering
dilihat melalui media online, padahal opini di dunia maya sering tidak sesuai
dengan opini sesungguhnya masyarakat. Opini publik berpotensi memengaruhi
kebijakan public (hukum), oleh karena itu, perlu diketahui opini public yang
orisinil, bukan buatan buzzer atau mesin di media online. Opini publik bisa
mendukung tapi bisa juga justru menghambat penegakkan hukum. 
Kebudayaan sebetulnya berfungsi sebagai
sekolah bagi masyarakat, masyarakat belajar dari nilai-nilai kemudian
mengevaluasi dirinya sendiri (Peursen, 1976). Dalam kebudayaan ada sanksi dan
konsekuensi. Sanksi dan konsekuensi dalam budaya mendahului UU negara.
 Oleh karena itu penegakan hukum di NKRI harus memperhatikan pula budaya
setempat agar tidak menimbulkan gesekan dalam masyarakat. Sangat bagus jika UU
negara menyesuaikan dengan budaya setempat. Contoh sanksi dan konsekuensi
budaya yang kemudian disinkronkan dengan UU negara adalah UU khusus yang
berlaku di Aceh dewasa  ini.
Kekuasaan dan Supremasi Hukum (Simpulan)
Banyak yang khawatir, kuatnya kekuasaan
penguasa akan berpengaruh negatif pada supremasi hukum.  Dengan kekuasaannya yang sangat kuat,
penguasa (pemerintah) dapat mengintervensi hukum dan jalannya peradilan.  Apalagi, jika penguasa (pemerintah) menganut
politik kekuasaan ala Machiavelli, yang tentu saja akan menghalalkan segala
cara untuk melanggengkan kekuasaan, diantaranya dengan melakukan intervensi
kepada hukum.
Namun, politik kekuasaan ala
Machiavelli hanya akan efektif pada model pemerintahan jaman klasik atau
otoriter saja, dimana satu orang biasa memegang kekuasaan rangkap : eksekutif,
legislative, dan yudikatif sekaligus. Di Indonesia, spirit kekuasaan ala
Machiavvelli hanya bisa hidup di dalam spirit orang per orang untuk lingkup
yang kecil di lingkungan yang bersangkutan saja, karena Indonesia menganut
pembagian kekuasaan, dan merupakan negara berkedaulatan hukum.
Daftar Pustaka
Machiavelli, Niccolo. Il Principe, diterjemahkan oleh C. Woekirsari dengan judul Sang 
Penguasa, Surat Seorang Negarawan kepada Pemimpin
Republik.
Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, cetakan ke-6. 2002.
Sastrapratedja, M. dan Parera, Frans. Kata Pengantar, Suatu Alternatif Kaidah
Etika
Politik dalam Sang
Penguasa, Surat Seorang Negarawan kepada Pemimpin Republik. Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama, cetakan le-6. 2002.
Peursen, CA. Strategi Kebudayaan. Penerjemah Dick Hartoko. Jogjakarta :Kanisius.
            1976
https://www.kompas.com/skola/read/2020/03/26/180000169/pembagian-kekuasan-
            di-indonesia?page=all.
Diakses tanggal 10 Juli 2021 jam 21.43
http://hamdanarfani.blogspot.com/2021/05/penegakan-hukum-di-indonesia.html. 
            Diakses
10 Juli2021 jam 21.51


Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar pada space yang tersedia. Komentar akan muncul setelah disetujui Admin.