Senang sekali mendengar bahwa perbedaan adalah rahmat, dengan catatan, jika perbedaan itu dipelopori atau disponsori oleh orang yang terpercaya dibidangnya. Sebagai seorang muslim, saya menghormati dan tidak alergi dengan perbedaan-perbedaan fiqh yang berasal dari ulama-ulama terpercaya seperti imam Hanafi, imam Maliki, imam Syafii, imam Hanbali, imam Ja'far ash Shadiq, imam Musa al Kadzim, imam Muhammad al Baqir, dan lain-lain.
Imam Syafii berbeda pendapat dalam beberapa urusan fiqh dengan gurunya : imam Malik dan imam Hanafi. Baik imam Maliki maupun imam Hanafi, keduanya ridla dan menghormati perbedaan pendapat dari muridnya itu. Perbedaan pendapat diantara ulama adalah rahmat, karena semua pendapat itu benar sesuai situasi dan kondisi tempat dan jamannya masing-masing. Seorang muslim bebas memilih pendapat ulama / imam mana yang akan diikuti untuk masalah tertentu, dan tidak perlu fanatik mengikuti hanya pendapat satu imam saja untuk segala urusan. Tiap tempat, tiap jaman, dan tiap komunitas, bahkan setiap individu, memiliki situasi dan kondisi yang tidak selalu sama.
Ketika Rasulullah Saw. hidup, masalah fiqh mengikuti apa yang dikatakan Rasul. Rasul berpesan, sepeninggalnya, kaum muslimin berpedoman pada al Qur'an dan Hadits. Berpedoman dengan al Qur'an dan Hadits adalah dengan cara mematuhi orang-orang yang paling faham tentangnya, yaitu para Tabi'in (sahabat Rasul),Tabitabi'in (generasi setelah sahabat), dan ulama. Para imam, baik imam besar sunni maupun syiah, adalah termasuk kelompok ulama. Ulama-ulama terpercaya di jaman sekarang adalah pewaris dari ulama-ulama terdahulu.
Pada era Rasulullah Saw., al Qur'an dengan wujud seperti yang ada sekarang, belum ada. Pada jaman itu potongan-potongan firman Allah tertulis di batu-batu, kulit, pelepah pohon, dan dalam hafalan beberapa orang. Rasulullah Saw. tidak pernah memerintahkan menjilidnya menjadi berbentuk buku seperti sekarang. Ialah Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan yang memerintahkan ditulisnya dan disusunnya firman-firman Allah menjadi sebuah buku yang sekarang kita kenal sebagai al Qur'an mushaf Utsmani. Perintah penyusunan al Qur'an tidak ada dalam hadits Nabi, tapi Nabi memerintahkan untuk mengikuti pendapat para sahabat dan ulama terpercaya sepeninggalnya.
Selain al Qur'an, beberapa hal yang tidak ada di hadits tapi dilakukan para sahabat, tabi'in, tabitabi'in, dan ulama setelahnya diantaranya : penghentian pemberian rampasan perang kepada muallaf oleh Umar bin Khattab, adanya adzan jumat sebanyak dua kali, adanya wirid setelah sholat, adanya doa qunut saat shalat fardu, dan banyak lagi. Doa qunut pertama kalinya dipraktikkan Rasulullah Saw. dibacakan saat shalat fardu adalah pada tahun 4 Hijriyah, dimana kala itu kaum muslimin mendapat musibah wafatnya 70an orang penghafal Qur'an. Qunut yang pernah dipraktikkan Rasulullah Saw kemudian menjadi sering dibacakan pula saat shalat shubuh.
Ketika Rasulullah akan mengutus Muadz ke suatu tempat, Nabi bertanya kepada Muadz, “Bagaimana engkau bersikap jika diajukan kepadamu permintaan menetapkan hukum?”. Muadz pun menjawab, “Aku memutuskan berdasarkan Kitabullah,”.
Nabi bertanya lagi, “Kalau engkau tak temukan dalam Kitabullah?”. Muadz menjawab, “Dengan sunah Rasulullah,”.
Nabi kembali bertanya, "Kalau tidak ada dalam sunah Rasulullah ?”. Muadz dengan tegas menjawab, “Aku mencurahkan daya sekuat mungkin/berijtihad,”.
Mendengar jawaban mantap seperti itu dari Muadz, Nabi kemudian bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah menuju apa yang diridhai oleh Rasulullah,”.
Inilah prinsip pokok dalam fiqh, dimana ulama memiliki hak istimewa dalam melakukan ijtihad dan fatwa, seperti yang telah dilakukan Muadz, para Sahabat Nabi, Tabi'in, Tabitabi'in, dan ulama-ulama selanjutnya.
Kembali Kepada Qur'an dan Hadits
Kembali kepada Qur'an dan Hadits tidak boleh mengabaikan hikmah dari percakapan Rasulullah Saw. dengan Muadz, dan ijtihad para Sahabat dan ulama. Kembali kepada Qur'an dan Hadits terutama meyangkut akidah dan akhlak-adab, karena bersifat esensi dan fundamental. Jika menyangkut fiqh, sifat fiqh adalah relatif, maka harus merujuk pada ulama yang terpercaya ilmu dan akhlaknya, sebagai pewaris Nabi.
Satu hal yang harus disadari, bahwa perbedaan pendapat antar imam/ ulama adalah sunatullah, semuanya benar, jadi tidak boleh menyalahkan salah satunya : menuduh sesat, menuduh menyimpang, bahkan menuduh kafir hanya karena perbedaan fiqh adalah konyol. Ketidakdasaran akan sunatullah ini sangat naif, dan berdampak kerusakan ukhuwah islamiyah. Apa yang dilakukan Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman at-Tamimi (Wahabi) tahun 1700an masih dirasakan kerusakannya hingga saat ini. Diperparah lagi oleh sebaran berita bohong dan fitnah kepada salah satu kelompok mazhab.
Muslim Tanpa Mazhab
Tanpa mazhab disini bukanlah dalam arti yang sebenarnya, justru berarti sebaliknya : MULTI MAZHAB, maksudnya adalah bersikap terbuka dan maklum, bahkan bersyukur dengan keanekaragaman faham ulama sebagai alternatif yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi, tidak fanatik hanya mengikuti satu imam/ulama saja untuk segala hal. Ada kalanya, untuk urusan shalat pendapat imam / ulama A lebih cocok dengan situasi dan kondisi. Ada kalanya pula untuk urusan berpakaian pendapat imam B yang lebih cocok. Semua pendapat imam /ulama terpercaya adalah benar, tidak berdosa mengikuti pendapat yang mana saja dari mereka.
Kita harus berterima kasih kepada para ulama terutama para imam terdahulu yang menulis sekian banyak buku sehingga menjadi rujukan umat sedunia, yang pendapatnya kemudian dijadikan mazhab-mazhab dalam islam.
Mazhab-mazhab hanyalah sumbangan pendapat briliyan, yang semuanya adalah benar. Pada akhirnya kembali kepada diri kita sendiri yang menjalani hidup : memilih dan memilah sumbangan pendapat para imam/ulama untuk diaplikasikan secara situasional sesuai kondisi masing-masing.
Penulis : Bataragema.
----------------

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar pada space yang tersedia. Komentar akan muncul setelah disetujui Admin.