Tanpa kejernihan hidup yang bagaimana, manusia bisa berdamai dengan kematian ? Tak ada kebaikan yang tak berbalas, tak ada keburukan yang tak bersanksi. My wisdom goes over the sea of wild wisdom

31 Januari 2010

TAREKAT-TAREKAT DI INDONESIA

 Penulis : HamdanA Batarawangsa




Foto : Ayahanda Chalid Bermawie,
Wasillah Ta'lim Muthatohirrin
(1946-2012)
 
Beberapa sumber menyebutkan bahwa ajaran tarekat baru muncul pada abad ke-11, yakni sejak Abdul Qadir Jilani memperkenalkan Tarekat Qadiriyah di Baghdad. Namun praktik kesufian atau tasawuf diduga sudah ada sejak awal agama Islam muncul. Sri Mulyati dkk dalam buku berjudul Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia menyebutkan bahwa praktek tasawuf muncul setidaknya sejak abad ke-2 hijriyah, atau sekitar abad ke-10 masehi.

Sejak wafatnya Rasulullah Saw aspek politik lebih kentara dalam masyarakat muslim, terutama sejak era Khalifah terakhir Ali bin Abi Thalib. Para pengikut Ali (Syiatu Ali) diadu domba dengan pengikut Aisyah Ra (Syiatu Aisyah), pembunuhan Ali dan putranya Hasan al Syarif dan Hussein al Sayid di Karbala, dan seterusnya. Konflik politik yang mengabaikan moral menyebabkan sebagian orang-orang 'alim  menarik diri kemudian berfokus pada dunia ilmu dan pendidikan, yang pada akhirnya melahirkan laku-laku dan  tokoh-tokoh tarekat dengan semangat mempraktikkan dan menegakkan kembali akhlak-adab sesuai teladan Rasulullah Saw.

Pembahasan tentang tarekat kadang dibingungkan dengan istilah ‘tasawuf’ dan ‘sufi’. Dalam tradisi pesantren Jawa, istilah tasawuf dipakai semata-mata dalam kaitan aspek intelektual dari suatu tarekat. Sedangkan tarekat itu sendiri lebih mengarah pada pengertian yang bersifat etis dan praktis. Sedangkan sufi, biasanya dialamatkan kepada orang yang menjalani kegiatan tarekat tersebut.

APA DAN MENGAPA TAREKAT

Bagi kaum muslimin, syariah Islam diyakini mampu membantu setiap manusia dalam upayanya mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dan memperoleh kebahagiaan sejati di dunia dan akherat. Bahkan hanya dengan melaksanakan saja mengikuti bimbingan ulama, tanpa pemahaman pun, banyak manfaat yang akan diperoleh.  Namun demikian, syariah sebagai cara Allah mengedukasi manusia, nyatanya mengandung banyak makna/ pelajaran.  

Dari syariah Islam yang kaya ‘makna’ itulah kemudian lahir terobosan-terobosan spiritual baik berupa pemahaman yang lebih mendalam maupun metodelogi /lelakon seperti dzikir, tafakur,  dll, yang mendukung syariah dalam membantu mencapai tujuan spirituil  manusia secara lebih efektif dan efisien. 

Jika tujuan syariat adalah mengabdi-menyembah-beribadah kepada Allah, maka tarekat menguak dan ingin lebih jauh daripada itu dengan tuntutan aspek akhlak dan adab yang lebih ketat. Tanpa disertai akhlak-adab, laku tarekat tidak mungkin berhasil.

Maka dengan tarekat, setiap kaum Muslimin dapat menghayati syariah Islam yang dijalaninya secara lebih bermakna. Tarekat dengan demikian adalah ikhtiar mengenal, memahami, dan memaknai syariat Islam. 

TOKOH-TOKOH PERINTIS TAREKAT DI INDONESIA

Beberapa tokoh yang dianggap sebagai perintis ajaran tarekat di Indonesia diantaranya : Hamzah Fansuri (w.1590), Syamsuddin al Sumatrani (w.1630), Nuruddin al Raniri (1637-1644), Syekh Yusuf al Makasari (1626-1699), Abdul Basir al Dharir al Khalwati alias Tuang Rappang I Wodi, Abdul Shamad al Palimbani, Nafis al Banjari, Syekh Ahmad Khatib Sambas (w.1873), Syekh Abdul Karim al Bantani, Kyai Thalhah dari Cirebon, dan Kyai Ahmad Hasbullah dari Madura.

Tiga nama terakhir, yakni Syekh Abdul Karim al Bantani, Kyai Thalhah, dan Kyai Ahmad Hasbullah adalah murid-murid dari Syekh Ahmad Khatib Sambas, ketiganya bertemu dan belajar dari Khatib Sambas di Makkah. Syekh Abdul Karim al Bantani beberapa tahun pulang ke Banten kemudian kembali lagi ke Makkah menjadi Syaikh menggantikan Khatib Sambas. Kyai Thalhah mengajarkan tarekat di Cirebon, dari garis beliau lahir beberapa tokoh tarekat diantaranya Syekh Abdul Mu’in yang mendirikan pesantren di Ciasem-Subang, Pangeran Sulendraningrat di Cirebon, dan Abah Sepuh pendiri pesantren Suryalaya, Tasikmalaya. Sedangkan dari garis Kyai Ahmad Hasbullah, muncul banyak nama dari klan Hasyim As’ari pendiri pesantren Tebu Ireng-Jombang.

MACAM-MACAM TAREKAT DI INDONESIA

Banyak macam tarekat yang tumbuh subur di Indonesia, beberapa diantaranya : Tarekat Qadiriyah, Tarekat Naqsyabandiyah, Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah, Tarekat Syadziliyah, Tarekat Khalwatiyah, Tarekat Syattariyah, Tarekat Sammaniyah, dan Tarekat Tijaniyah. Beberapa tarekat lain yang pengikutnya agak sedikit di Indonesia adalah Tarekat Chisytiyah, Tarekat Mawlayiyah, Tarekat Ni’matullah, dan Tarekat Sanusiyah.



22 Januari 2010

RADEN WIJAYA CUCU RAJA SUNDA



(Kutipan Buku Sundakala karangan Prof. Ayatrohaedi)
Penulis : Hamdan Arfani


Salah satu ciri bangsa yang kuat adalah penghayatannya kepada sejarah, karena penghayatan kepada sejarah bangsa akan memperkuat jatidiri bangsa yang bersangkutan. Buku-buku sejarah menyebutkan bahwa pada abad ke-12 di Nusantara pernah berdiri Negara Majapahit yang wilayahnya melampaui luas NKRI saat ini. Negara Majapahit itu didirikan oleh Raden Wijaya atau Sanggrama Wijaya. Kisah menarik Majapahit bukan saja tentang luasnya kekuasaan dan tingginya peradaban yang telah dicapai, namun ada juga sepenggal cerita tragis yang disebut-sebut sebagai ‘aib sejarah’ sehingga sejarawan yang hidup kala itu, Mpu Prapanca, tidak sudi menuliskannya dalam buku karangannya yang tersohor, Nagara Kertagama.

Kisah tragis itu dikenal sebagai ‘Palagan Bubat’ atau ‘Perang Bubat’ yang terjadi tahun 1357 menurut naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara sarga ke-3 halaman 119--127. Bubat adalah nama sebuah lapangan di wilayah Majapahit. Konon sepuluh abad yang lalu di Bubat, pernah terjadi perang antara tentara Majapahit dan Galuh (Galuh adalah kerajaan di wilayah Jawa Barat bagian Timur, sedangkan Sunda adalah kerajaan di wilayah Jawa Barat bagian Barat. Raja Sunda kala itu membagi kembali kerajaan Sunda menjadi Sunda dan Galuh).

Kisah Palagan Bubat dimulai dari keberangkatan rombongan mempelai wanita, yang terdiri dari Raja Galuh, sang mempelai, beberapa petinggi kerajaan, dan sepasukan tentara pengawal dari Galuh ke Majapahit. Kala itu, sudah merupakan tradisi perkawinan apabila mempelai wanita diboyong ke pihak mempelai pria yang bertahta sebagai raja. Bagi pihak Galuh, kedatangan ke Majapahit bukan saja sebagai ‘nganten’, namun lebih dari itu, yakni silaturrahmi kepada keluarga sendiri.

Klimaks kisah Palagan Bubat dimulai ketika rombongan Galuh beristirahat di wilayah Bubat untuk persiapan upacara penyambutan esok harinya. Tiba-tiba atas perintah Maha Patih Majapahit yang bernama Gajah Mada, rombongan Galuh diultimatum untuk menanggalkan segala senjata dan masuk ke Kotaraja sebagai taklukan (Sunda-Galuh bagi Gajah Mada adalah satu-satunya kerajaan Nusantara yang belum ditaklukkan). Ultimatum Gajah Mada ditolak. Rombongan Galuh yang jumlahnya tak seberapa itu memilih perang hingga mati daripada terhina. Maka pecahlah Palagan Bubat, darah tertumpah di Bubat. Dari pihak Galuh tak ada satupun yang hidup. Semua tentara, semua pejabat, bahkan Raja dan sang calon mempelai wanita pun ikut tewas.

Kisah Palagan Bubat sedemikian jauh amat melukai perasaan keluarga raja di Galuh dan Sunda. Bahkan menurut beberapa sumber, konon keluarga raja Majapahit, termasuk Sang Prabu Hayam Wuruk, pun menyesalkan peristiwa Palagan Bubat tersebut. Lalu bagaimanakah kisah Gajah Mada selanjutnya? Riwayat Gajah Mada pasca peristiwa berdarah itu tidak jelas ditulis oleh para sejarawan. Di Pihak Galuh dan Sunda, diantara sisa-sisa luka lama itu masih dapat dijumpai, yakni hingga detik ini tidak dijumpai nama jalan Majapahit, Hayam Wuruk, apalagi Gajah Mada di pelosok wilayah propinsi Jawa Barat !

Perang Bubat tak lain adalah perang saudara. Hubungan darah antara raja Sunda, Galuh, dan Majapahit rupanya tak diketahui oleh Gajah Mada. Ketidaktahuan ini merupakan salah satu petunjuk bahwasanya Gajah Mada bukanlah berasal dari kalangan kerabat istana, beliau benar-benar seorang prajurit yang merintis karier dari derajat yang paling bawah.

Hubungan darah antara Sunda, Galuh, dan Majapahit kami jelaskan sebagai berikut :

Raja Singhasari yang berkuasa pada waktu itu, Prabu Wisnuwardhana, mengawinkan Jayadharma dengan salah seorang kemenakannya yang bernama Dewi Singhamurti atau Dyah Lembu Tal, anak Mahisa Campaka. Dari perkawinan itu lahirlah Sang Nararya Sanggramawijaya atau Raden Wijaya yang kelak mendirikan kerajaan Majapahit.

Jayadharma, ayah Raden Wijaya, adalah kakak kandung Prabu Ragasuci, keduanya adalah putra Prabu Guru Dharmasiksa atau Sanghyang Wisnu yang bergelar Sang Paramartha Mahapurusa (memerintah kerajaan Sunda selama 122 tahun antara 1175—1297 masehi). Jayadharma adalah putra mahkota, namun wafat sebelum menjadi raja. Maka seandainya Jayadharma tidak mati muda, kemungkinan besar yang menjadi raja Sunda selanjutnya adalah Raden Wijaya. Sepeninggal Jayadharma, Raden Wijaya bersama ibundanya, Dyah Lembu Tal, diboyong kembali ke Singhasari.

Hubungan perkerabatan Sunda – Singhasari diperkuat lagi dengan pernikahan Dara Kencana anak Prabu Ragasuci (yang berarti adalah sepupu Raden Wijaya dari pihak ayah) dengan raja Singhasari berikutnya, yakni Kertanegara (yang adalah paman Raden Wijaya dari pihak ibu).

Ketika Wijaya menjadi raja Majapahit yang pertama, kakeknya, Sang Prabu Guru Dharmasiksa, sempat memberinya seberkas nasehat, yakni agar jangan sampai mempunyai niat untuk menyerang, apalagi menaklukkan kerajaan Sunda karena dua kerajaan itu sungguh-sungguh adalah bersaudara, dan bahwasanya Majapahit dan Sunda hendaklah saling bahu membahu, tolong-menolong, serta mempererat silaturrahmi.



Demikianlah, beberapa puluh tahun setelah peristiwa Bubat, Majapahit mengalami kemunduran. Negara Adikuasa itu semakin tak bertaring. Pada saat Nusantara lemah dan mulai terpecah, datanglah kekuatan baru dari Eropa yang perlahan namun pasti merontokkan segala kemegahan yang pernah ada, dan selanjutnya menjajah Nusantara selama berabad-abad.

11 Januari 2010

BIAYA RUMAH SAKIT MAHAL ?

Tepat pada hari ulang tahun Beliau, pada Rabu 6 Januari 2010 sekitar jam 12 siang kami membawa Ibunda ke Rumah Sakit (RS) Ananda, Pondok Ungu, Bekasi. Kami senang pihak RS segera menangani. Kesan bahwa RS melulu uang dan uang sama sekali tak nampak. Banyak pihak yang mengeluhkan tentang penanganan RS, bahwa beberapa RS terlebih dulu meminta pembayaran dimuka (deposit) sebelum dilakukan tindakan medik. Di RS Ananda, hal demikian sama sekali tak ada.

Sekitar satu jam Ibunda ditangani di bagian Gawat Darurat. Diagnosa sementara dokter, Ibunda mengalami stroke, maag kronis, dan sedikit gangguan pada paru-paru dan ginjal. Namun dokter menyatakan bahwa diagnosa tersebut masih menunggu hasil laboratorium. Wal hasil, hari itu Ibunda diinapkan di salah satu ruangan kelas ekonomi, namun ber AC. Ruang ekomomi tersebut sangat bersih dan rapi.

Setiap hari kami mengecek rekap biaya sementara yang bisa ditanyakan pada bagian keuangan RS. Biaya pada hari pertama sejumlah Rp. 2,7 Juta. Rekap biaya pada hari kedua sejumlah Rp. 4,7 Juta, dst. Sampai pada hari Sabtu 9 Januari jam 12.00, total biaya sudah sebesar Rp. 7.100.000.- Dari biaya sebesar itu, kami baru membayar Rp. 1.400.000,- yang kami cicil sebanyak 2 kali. Terus terang, meski telah menduga-duga, namun bagi kami, biaya parawatan mencapai 1 hingga 2 juta Rupiah per hari terasa sangat berat. Setiap hari adrenalin kami terpacu setelah mengetahui pertambahan biaya yang terus membumbung, padahal kondisi Ibunda belum lagi mampu duduk, apalagi berdiri. Pertanyaan besar kami : sampai kapan Ibunda diinapkan di RS? Berapa total biaya yang kelak harus kami bayarkan?

Di tengah kegalauan pikiran atas biaya RS yang terus bertambah, pada Minggu 10 Januari 2010, pihak keuangan RS Ananda mengkonfirmasi bahwa sehubungan besarnya biaya perawatan dan minimnya dana yang kami setorkan, RS Ananda bermaksud menghentikan pemberian obat-obatan yang merupakan variabel biaya yang paling besar. sebagai gantinya, dokter akan memberikan resep obat yang harus kami beli sendiri. Namun perawatan lainnya tetap seperti biasa.

Kami mengerti akan sikap manajemen RS Ananda. Bagi kami, sikap tersebut merupakan solusi yang paling bijaksana. Pihak RS mampu menekan resiko kerugian, sedangkan di pihak kami, kami mampu mengontrol pengeluaran karena memungkinkan membeli obat berdasarkan prioritas.

Mahalkah biaya perawatan - pengobatan di RS? Dalam hati kecil, saya pribadi berucap, bukan biayanya yang mahal, tapi sebagai warga negara, kamilah yang terlalu miskin sehingga untuk melindungi kebutuhan kesehatan saja kami tidak sanggup. Padahal hidup sehat adalah kebutuhan pokok, sama pokoknya dengan sandang, pangan, dan pakaian. Hak sehat lebih fundamental daripada hak memperoleh pendidikan yang layak dan hak-hak dasar lainnya.


(Hingga tulisan ini dibuat, ibunda Nining Mayaningsih masih dirawat di Ruang Cemara 14 RS Ananda, Pondok Ungu, Bekasi).

05 Januari 2010

MORALITAS KEBANGSAAN GUS DUR

Oleh : Hamdan Arfani 

 Menutup tahun 2009, kita kehilangan seorang tokoh nasional, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Pada awalnya Gus Dur dikenal sebagai pengajar agama Islam biasa lulusan universitas di Irak dan pernah juga mukim di Mesir. Pada tahun 1979 beliau bergabung dengan organisasi Nahdatul Ulama (NU) yang didirikan oleh kakeknya. 

Gus Dur adalah anak dari KH. Wahid Hasyim yang pernah menjadi menteri agama RI era Bung Karno, sekaligus juga cucu dari KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdatul Ulama. Baik Hasyim Asy’ari maupun Wahid Hasyim, keduanya adalah Pahlawan Nasional kita. 

Popularitas Gus Dur semakin cemerlang manakala terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) setelah bersaing ketat dengan tokoh muda cerdas dan berani Sri Bintang Pamungkas pada tahun 1980-an. Pada masa itu beliau mulai dikenal sebagai cendekiawan dan tokoh pertama yang berani ‘vokal’ terhadap rezim Soeharto. Pemikiran-pemikiran Gus Dur banyak ditulis di berbagai media massa, sebagian lagi tersampaikan pada berbagai diskusi. 

 Pada tahun 1990—2000an, Gus Dur telah diakui oleh khalayak sebagai salah seorang Guru Bangsa, bersanding dengan tokoh besar lainnya seperti Nurcholish Madjid dan Mangunwijaya. Pada Pemilu pertama di era reformasi, Gus Dur dipilih sebagai Presiden ke-4 RI. 

 Secara geneaologis, seperti yang konon pernah diucap Gus Dur sendiri, beliau adalah keturunan Raden Fatah, seorang raja sekaligus pendiri Kerajaan Demak yang notabene adalah putra raja Majapahit Prabu Kertabumi. Raden Fatah yang bernama asli Jin Bun adalah seorang peranakan Tionghoa dari pihak ibu. Asal keturunan Gus Dur ini pernah beliau utarakan sehubungan munculnya wacana anti cina pada tahun 1990-an lalu. Komentar Gus Dur tentang perkerabatannya dengan etnik Tionghoa sekaligus mengajak semua orang tersadar bahwa bangsa Indonesia sesungguhnya lahir sebagai bangsa perbauran. 

 Gus Dur dipuji bahkan hingga wafatnya karena memperjuangkan pluralisme yang berinti pada semangat memaklumi segala perbedaan untuk kebaikan dan kemajuan bersama. Namun, pun karena perjuangan pluralisme itu, Gus Dur dibenci oleh beberapa golongan. Gus Dur dicap sebagai tokoh liberalisme – sekulerisme, dicap sebagai antek Yahudi. 

 Adapula yang berkomentar bahwa Gus Dur itu gila. Tapi kegilaan Gus Dur segera disanggah oleh pendukungnya dengan kalimat : dalam sebuah komunitas orang gila, satu-satunya yang gila justru adalah satu-satunya yang waras ! Sebagai cendekiawan, budayawan, dan agamawan, Gus Dur terkenal sangat kontroversial. Namun kontroversi Gus Dur segera pula dimaklumi sebagai produk cara pandang kreatif sehingga banyak pula pendukungnya. Cara pandang kreatif Gus Dur terhadap berbagai permasalahan masyarakat bak besi berani karena mampu menggelitik nalar bahkan menggoncang keyakinan normatif. 

  Moralitas Kebangsaan Gus Dur 

 Gus Dur adalah tokoh nasional dan internasional. Sebagai tokoh nasional, Gus Dur berhasil mencontohkan perilaku yang didasari moralitas kebangsaan yang kini banyak dilupakan para elite negeri ini. Apalagi meski Gus Dur adalah seorang tokoh politik, pendiri sebuah partai politik, namun nyata beliau bukan seorang politikus. Gus Dur ternyata seorang negarawan sejati. Seharusnyalah seorang politikus sekaligus pula seorang negarawan. Namun sayang, politikus bangsa kita umumnya adalah politikus Machiavellian, sehingga tujuan para politikus bukan lagi tujuan etis, namun semata kekuasaan. Maka hanya negarawan sajalah yang tetap pada tujuan etis itu. 

 Beberapa moralitas kebangsaan Gus Dur yang membuktikan bahwa beliau adalah seorang negarawan sejati adalah 
 1. Gus Dur mendorong lahirnya UU tentang hal yang sebelumnya sangat tidak popular bagi pencari kekuasaan, atau ‘ditakuti’ untuk disentuh seperti halnya masalah agama Kong Hu Cu, tapol/napol eks PKI, etnik Tionghoa, penyesuaian gaji PNS, dll. Para politikus sangat takut berurusan dengan UU ini. Dasar-dasar ajaran politik Machiavellian yang banyak dianut politikus kita menyatakan “… tidak ada hal yang lebih sulit pengaturannya, lebih meragukan keberhasilannya, dan lebih berbahaya pelaksanaannya selain prakarsa mengubah undang-undang. Pembaruan mengubah UU akan membuat orang-orang yang selama ini telah hidup enak akan menjadi musuh…” 
 2. Gus Dur menolak menjadi bunglon. Gus Dur menolak pula untuk berbuat khianat kepada masyarakat. Padahal dasar ajaran politik yang banyak dianut politikus kita menyatakan “Orang yang ingin mempertahankan kekuasaan harus bisa berbuat kstatria dan tidak ksatria, berbuat baik atau tercela, mampu menggunakan cara-cara binatang dan manusia, bilamana diperlukan. Dan seorang Penguasa tidak harus memegang janji.” 
 3. Gus Dur menolak perilaku ‘cari muka’ untuk memperoleh simpati rakyat. Sikap kontroversial Gus Dur membuktikan beliau jauh dari upaya-upaya sengaja penggalangan simpati umum. Beliau tidak mengorbankan kaum minoritas untuk menyenangkan hati kaum mayoritas. Dalam membela kaum minoritas Gus Dur menjaminkan dirinya sendiri. Pembelaan Gus Dur terhadap kaum minoritas ini tidak selalu disukai orang kebanyakan. Padahal, ajaran politik yang umum berlaku menyatakan “… menunjuk orang lain untuk melaksanakan tindakan-tindakan yang tidak disenangi masyarakat, namun melakukan sendiri tindakan-tindakan yang menyenangkan hati masyarakat itu.” 
 4. Gus Dur menolak menjadi antek asing atau kekuasaan lain, karena mendukung kekuasaan lain atau asing itu berujung kompromi yang bisa mengurangi kemajuan bangsa sendiri. Padahal ajaran politik yang umum dianut menyatakan bahwa “untuk mempertahankan kekuasaan, seseorang harus terang-terangan memihak atau bersekutu pada kekuatan yang lebih besar atau kekuatan yang selama ini telah menjadi pemenang.” 

 Demikianlah beberapa tindakan Gus Dur yang membuktikan kenegarawanan beliau melalui aplikasi moralitas kebangsaannya.