Salahsatu kesepakatan diskusi antara guru dan orang tua murid di sekolah kami adalah larangan menggunakan handphone bagi anak, kecuali untuk tugas sekolah yang sudah dikomunikasikan kepada orang tua. Diskusi tentang handphone ini berawal dari berbagai keluh-kesah orang tua tentang anaknya yang sudah keranjingan handphone hingga lupa waktu, dan pengamatan guru pada anak yang kurang semangat dan sulit berkonsentrasi belajar saat di sekolah yang setelah dikonfirmasi disebabkan kurang tidur karena intensitas menggunakan handphone yang dinilai sangat tinggi.
Berdasar penelitian saya pada 250 responden siswa SMA di Kota Depok (tesis penelitian Prodi Magister di STKIP Arrahmaniyah Depok), disimpulkan bahwa penggunaan handphone untuk belajar berpengaruh sangat nyata meningkatkan hasil belajar.  Namun diluar tujuan belajar, saya tidak merekomendasikan bahkan melarang penggunaan handphone pada anak. Pelarangan ini disepakati secara aklamasi oleh orang tua di sekolah kami. 
Pada pekan pertama pelarangan, orang tua masih mampu konsisten untuk tidak memberi anak handphone, tapi memasuki minggu kedua dan seterusnya sebagian orang tua mulai tidak mampu lagi mengendalikan penggunaan handphone oleh anak-anaknya. Anak sudah diberi hukuman, tapi hukuman tidak bisa menghentikan anak melanggar aturan. Saya tidak bertanya secara langsung jenis hukuman apa yang orang tua berikan, namun dari kebiasaan yang sudah-sudah, biasanya ekspresi menghukum orang tua berupa sikap marah yang disertai omelan panjang lebar.
Saya mengutip survei Profesor Ellisa Newport dari University of Rochester New York : 
“..Bahwa 95% orang tua melakukan hukuman kepada anak agar berdisiplin. Hukuman yang dilakukan para orang tua itu berupa pukulan fisik (70%), teriakan (20%), mengumpat (9%), dan cara-cara lain 1%). Sehubungan dengan cara menghukum tersebut, sebanyak 90% dari orang tua mengaku bahwa mereka meniru dari orang tuanya dahulu, dan 9% mengaku berdasar pemikiran sendiri. Hanya 1% yang menghukum dengan proses pembelajaran …”
Saya sepakat dengan pendapat Munif Chatib (konsultan pendidikan, penulis buku Sekolahnya Manusia) bahwa kata ‘hukuman’ berkonotasi negatif dalam dunia pendidikan anak. Hukuman identik dengan tindakan kasar, tak logis, kejam, dan menyakitkan, meski sebetulnya tidaklah selalu demikian. Namun tanpa hukuman, bagaimana dapat mendidik anak? Bukankah hukuman merupakan bagian dari pendidikan?
Memang, hukuman adalah bagian dari pendidikan, sebagaimana adanya penghargaan bagi yang berprestasi, maka hukuman layak diberlakukan bagi yang melenceng. Namun perlu diperhatikan hal-hal yang terlarang dalam menghukum anak, misalnya : memukul, menampar, dan menyakiti baik secara fisik maupun mental, meneriaki, mengejek, dsb.
Bagaimana menghukum anak yang aman?
Pertama-tama janganlah menggunakan istilah ‘hukuman’ melainkan ‘konsekuensi’. Konsekuensi mengandung makna bahwa anak mengetahui akibat dari setiap pelanggaran yang akan dilakukannya. Pastikan dahulu bahwa anak mengetahui akibat dari pelanggaran yang akan dilakukannya.
Konsekuensi dalam pendidikan ada 2 macam, yakni Konsekuensi Positif (memberikan hal yang menyenangkan atau membiarkan anak tetap dalam kesenangannya) dan Konsekuensi Negatif (memberikan hal yang tak menyenangkan atau mengambil hal yang menjadi kesenangan anak). Konsekuensi Positif diberikan apabila anak bersikap baik, dan Konsekuensi Negatif diberikan jika anak melakukan hal tidak baik.
Hal-hal apa sajakah yang dapat dijadikan alat konsekuensi untuk diberikan atau tidak diberikan? Setidaknya ada 5 alat, yakni Makanan jajanan, barang, kegiatan, teman, dan perhatian.
Hal-hal Yang Harus Dihindari
1). Mengancam namun tidak ditepati, oleh karena itu hindari mengancam; 2). Menyogok (memberikan hadiah padahal anak melakukan pelanggaran; hadiah seharusnya hanya diberikan jika anak menorah prestasi); 3). Menunda-nunda memberikan konsekuensi; 4). Berteriak; 5). Mengomel terlalu lama, anak lebih butuh nasehat daripada omelan.
“..Bahwa 95% orang tua melakukan hukuman kepada anak agar berdisiplin. Hukuman yang dilakukan para orang tua itu berupa pukulan fisik (70%), teriakan (20%), mengumpat (9%), dan cara-cara lain 1%). Sehubungan dengan cara menghukum tersebut, sebanyak 90% dari orang tua mengaku bahwa mereka meniru dari orang tuanya dahulu, dan 9% mengaku berdasar pemikiran sendiri. Hanya 1% yang menghukum dengan proses pembelajaran …”
Saya sepakat dengan pendapat Munif Chatib (konsultan pendidikan, penulis buku Sekolahnya Manusia) bahwa kata ‘hukuman’ berkonotasi negatif dalam dunia pendidikan anak. Hukuman identik dengan tindakan kasar, tak logis, kejam, dan menyakitkan, meski sebetulnya tidaklah selalu demikian. Namun tanpa hukuman, bagaimana dapat mendidik anak? Bukankah hukuman merupakan bagian dari pendidikan?
Memang, hukuman adalah bagian dari pendidikan, sebagaimana adanya penghargaan bagi yang berprestasi, maka hukuman layak diberlakukan bagi yang melenceng. Namun perlu diperhatikan hal-hal yang terlarang dalam menghukum anak, misalnya : memukul, menampar, dan menyakiti baik secara fisik maupun mental, meneriaki, mengejek, dsb.
Bagaimana menghukum anak yang aman?
Pertama-tama janganlah menggunakan istilah ‘hukuman’ melainkan ‘konsekuensi’. Konsekuensi mengandung makna bahwa anak mengetahui akibat dari setiap pelanggaran yang akan dilakukannya. Pastikan dahulu bahwa anak mengetahui akibat dari pelanggaran yang akan dilakukannya.
Konsekuensi dalam pendidikan ada 2 macam, yakni Konsekuensi Positif (memberikan hal yang menyenangkan atau membiarkan anak tetap dalam kesenangannya) dan Konsekuensi Negatif (memberikan hal yang tak menyenangkan atau mengambil hal yang menjadi kesenangan anak). Konsekuensi Positif diberikan apabila anak bersikap baik, dan Konsekuensi Negatif diberikan jika anak melakukan hal tidak baik.
Hal-hal apa sajakah yang dapat dijadikan alat konsekuensi untuk diberikan atau tidak diberikan? Setidaknya ada 5 alat, yakni Makanan jajanan, barang, kegiatan, teman, dan perhatian.
Hal-hal Yang Harus Dihindari
1). Mengancam namun tidak ditepati, oleh karena itu hindari mengancam; 2). Menyogok (memberikan hadiah padahal anak melakukan pelanggaran; hadiah seharusnya hanya diberikan jika anak menorah prestasi); 3). Menunda-nunda memberikan konsekuensi; 4). Berteriak; 5). Mengomel terlalu lama, anak lebih butuh nasehat daripada omelan.
Sebagai penutup saya mengutip tulisan Abdul Qadir al Jawi :
"Anak yang tidak pernah dimintai pertanggungjawaban akan mengabaikan segala aturan, dan merasa boleh melakukan kejahatan  apapun."
Penulis pernah menjadi pengajar di tingkat SD, SMP, SMA, dan PT 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar pada space yang tersedia. Komentar akan muncul setelah disetujui Admin.