PASCA BOM di SMA Negeri 72 Jakarta, tiba-tiba merebak kembali narasi tentang krisis karakter di sekolah atau krisis dunia pendidikan. Semua mata dan telunjuk menuding ke satu tempat, sekolah.
Sampai tulisan ini dibuat belum ada keterangan resmi Polri tentang motif peledakan di SMA Negeri 72 Jakarta tersebut, namun berbagai media menduga latar belakang disebabkan adanya pembulian. Pelaku diduga adalah korban pembulian yang kemudian melakukan aksi balas dendam, begitu kira-kira. Sebelumnya, media juga mewartakan kasus bunuh diri anak di Sukabumi, Sawahlunto, Denpasar, dan Yogyakarta, akibat tidak tahan mendapat bulian di sekolah.
Pembulian di sekolah sebenarnya sudah ada sejak dulu. Penulis sendiri pernah beberapa kali menjadi korban bully sewaktu sekolah. Sebagai korban bully tentu saja saya marah, sedih, dsb namun toh saya melaluinya begitu saja. Aktivitas sekolah dan pergaulan dengan teman-teman membuat saya melupakan begitu saja. Menurut saya pelaku bully itu tidak semuanya benar-benar jahat, mereka hanya kurang dalam akhlak dan biasanya tergolong kelompok bodoh.
Saya bukan satu-satunya korban bully di sekolah, dan korban-korban bully lainnya sejauh pengetahuan saya pun melalui masalah ini dengan biasa saja. Saya adalah generasi X, kasus bunuh diri anak pada jaman saya tidak pernah terdengar, tidak ada satupun kawan sekolah saya yang dikabarkan bunuh diri.
Rhenald Kasali pernah berbicara tentang generasi strowberi, yaitu generasi yang nampak baik-baik saja bahkan anggun namun sangat mudah rusak oleh sedikit saja tekanan. Generasi strowberi mengarah pada generasi Z (gen Z) dan sebagian gen Y. Emosi generasi strowberi mudah dikacaukan meski oleh masalah yang remeh. Mengapa ?
Penulis sependapat dengan Profesor Stella (Wakil Menteri) bahwa kegiatan BERMAIN bersama teman pada anak sesungguhnya adalah kegiatan belajar yang sangat kompleks. Dalam kegiatan bermain anak berhadapan dengan bermacam konflik lengkap dengan penyelesaiannya yang seringkali tidak memuaskan semua pihak, namun secara umum bermain itu sendiri adalah hal yang amat menyenangkan bagi anak.
Dalam kegiatan bermain, anak belajar sabar, toleransi, mengelola emosi, empati, kerjasama, support, dsb. Intinya anak berlatih menghadapi konflik berulangkali sekaligus keceriaan yang terus menerus terisi. Anak (terutama usia 9--11 tahun) yang puas merasakan "masa bermain" mungkin memiliki ketahanan mental yang lebih kuat.
Kegiatan bermain tidak hanya di lingkungan rumah, tapi terjadi pula di sekolah. Bermain itu penting, namun perlu pengawasan orang dewasa agar lebih terarah dan menjamin tidak ada pembulian. Pembulian harus dicegah, dan melatih anak agar memiliki mental kuat juga harus dilakukan.
______
Penulis
Hamdan A. Batarawangsa, MPd.

Tulisan yang renyah di baca, dan memberikan info wawasan yang kekinian, tq
BalasHapus