Tanpa kejernihan hidup yang bagaimana, manusia bisa berdamai dengan kematian ? Tak ada kebaikan yang tak berbalas, tak ada keburukan yang tak bersanksi. My wisdom goes over the sea of wild wisdom

29 November 2024

PAK ADANG : TAK MASALAH GURU HIDUP MISKIN

Pada peringatan Hari Guru 2024 Presiden Prabowo mengumumkan kenaikan kesejahteraan sebesar 1 kali gaji untuk guru ASN dan beberapa ratus ribu rupiah menjadi Rp.2000.000 per bulan untuk guru non ASN yang lulus PPG.

Bagi Pak Adang, pengumuman dari Presiden itu sangat disyukuri namun uang bukan yang terpenting dalam perspektifnya tentang kesejahteraan. Pak Adang adalah guru SD swasta sejak 2003, lulusan PTN dan sekarang sudah S-2. Di tahun 2024 ini gaji Pak Adang dari mengajar hanya sekitar Rp.800.000 per bulan, plus Rp. 4 juta sekian dari tunjangan profesi yang turun per tiga bulan, jika tidak terlambat. Tidak ada tunjangan inpassing dan tunjangan-tunjanghan lainnya.  “Terima kasih Pak Presiden, namun guru itu harus hidup dari keberkahannya, terlalu dimanjakan uang membuat orang jadi hedonis, padahal guru tidak boleh kehilangan ketawadluannya,” katanya.  Guru juga manusia, dengan kesejahteraan yang setara kelompok masyarakat ekonomi “menengah mapan” guru bisa lupa diri dan bergaya hidup “glamor” seperti di sinetron, yang menyebabkan hilangnya marwah keguruannya. "Sebetulnya tak masalah guru hidup miskin," katanya lagi.

Dahulu, guru jauh lebih dihormati padahal digaji sangat rendah. Gaji yang rendah membuat guru dipaksa hidup sederhana, berpola hidup sederhana, lebih membumi dan bijaksana dalam memandang kehidupan. Bagi guru sejati, bukan melulu uang yang mensejahterakannya, tidak masalah digaji rendah asal keluarganya dijamin sandang-pangannya, dijamin kesehatannya, dan dijamin pendidikan anak-anaknya hingga jenjang yang tertinggi, itu saja. Bukan masalah bagi Pak Adang berangkat kerja dengan naik angkot, motor butut, atau jalan kaki, kehujanan dan kepanasan baginya adalah romantika bukan keluhan.

Sejak 20% APNB dicurahkan di sektor pendidikan, kesejahteraan guru adalah sebuah keniscayaan meski tersendat-sendat.  Di masa depan, mungkin profesi guru akan menjadi incaran para pencari kerja, selain motif idealisme juga ada motif ekonomi.  Pak Adang berseloroh semoga saja semua guru menjadikan “hidup sederhana” sebagai kekhasan. Guru adalah pekerja keperadaban, biarlah ilmu saja yang tinggi melanglang galaksi, namun tetap bersahaja rendah hati di atas bumi. Mendidik adalah 20% nasehat dan 80% keteladanan, bukan begitu? )(

Penulis Hamdan A Batarawangsa





07 November 2024

PIRAMIDA TUHAN, tuhan-tuhan dan Tuhan

Tidak ada yang benar-benar ateis, tidak ada yang benar-benar agnostic, minimal mereka menuhankan dirinya sendiri.  Ada yang bertuhankan uang, bos, tokoh, dan agama (bukan Tuhan itu sendiri). Kaum ateis dan agnostik puas dengan tuhannya yang real atau tuhan tak real yaitu pikirannya sendiri.  Tuhan mereka sangat berbeda dengan kaum teis, terutama muslim. Namun bagi yang mengaku ber-Tuhan pun tidak mudah untuk selalu ingat bahwa tidak ada tuhan (dengan t kecil) selain Tuhan (dengan T besar), kadang terjebak juga menyembah tuhan-tuhan yang bukan Tuhan.

Ibrahim (Islam), Abraham (Kristen), Afram (Yahudi), dan Brahm (Hindi) mungkin adalah individu historis yang sama, sebagai manusia pertama yang betul-betul mencari Tuhan. Tidak seperti kaum agnostic yang menyerah dan tak peduli dengan yang abstrak, Ibrahim justru tidak puas dengan tuhan yang kasat mata. Ibrahim sudah melalui tahapan ateis dan agnostic, sebelum menyadari fakta berlakunya hukum rimba dimana yang kuat akan dipertuhankan oleh yang lemah dan merasa amat penting mengetahui siapa yang berada di puncak “piramida ketuhanan” itu.  Ketika mengetahui bahwa tuhan di puncak piramida empiris masih pula tunduk oleh suatu yang lain, Ibrahim akhirnya sampai pada logika bahwa Tuhan mestilah melampaui semua yang empirik. Ibrahim pada tahap ini telah sampai pada puncak eksistensi dalam pencarian kebenaran rasional, tidak bisa mendaki lebih tinggi lagi, selebihnya adalah wilayah yang tak terjangkau nalar.

Puncak eksistensi pencarian kebenaran rasio ternyata adalah awal perjalanan baru spiritual. Berkat perjalanan spiritualnya yang gigih, Ibrahim dengan bekal  logika “Tuhan Yang Melampaui Empirisme” sampailah pada puncak makrifatullah-nya, yaitu pengalaman dan pengetahuannya tentang Tuhan Yang Maha Tinggi, Rabbi al a’la.

Kisah dan ajaran Ibrahim yang lahir dan besar di Babilonia (Bab El = Gerbang Tuhan), wilayah yang disebut sebagai negerinya bangsa Arian (bangsa terunggul) atau sekarang menjadi negara Irak-Iran, yang merupakan pusat peradaban dunia kala itu, disebut-sebut menyebar ke berbagai belahan dunia sebagai moyang dari semua agama-agama besar sekarang ini. Tidak heran ada saja  benang merah berbagai agama-agama besar itu, misalnya pengakuan Yati Narsinghanand, seorang resi terkemuka di kuil Dasna Ghaziabad India, bahwa Ka’bah tak lain adalah Kuil Mahadeva dan Zam-zam sebagai Gangga Mahadeva yang sebenarnya.

Piramida Tuhan adalah konsep kuno yang sudah ada sejak dulu dan masih relevan  hingga sekarang, sebagai logika umum bahwa yang lemah akan tunduk-takluk kepada yang kuat, ada raja dan maharaja, dan seterusnya. Kegigihan Ibrahim dalam mengerahkan daya rasio dan spiritualnya adalah inspirasi dalam upaya manusia menggapai keingintahuannya. Kini di abad ke-21 manusia dimanjakan dengan teknologi informasi, cara konfirmasi antara literatur agama dan sains bisa menjadi cara lain disamping konsep Piramida Tuhan-nya Ibrahim yang hidup ribuan tahun lalu. Jangan berhenti dan mati dalam ateis dan agnostik, teruslah bergerak seperti Ibrahim.


(Penulis HamdanA Batarawangsa)

.

06 November 2024

KAMU TERCIPTA DARI PERSEPSIKU

 Ketika rasio mencapai puncak eksistensi dalam pencarian kebenaran, maka puncak eksistensi itu hanyalah awal dari perjalanan baru spiritual.

Seorang pemuda 19-20 tahunan tiba-tiba punya banyak waktu luang untuk membaca buku apa saja yang disukai, diskusi tentang banyak hal, dan merenungi dirinya sendiri setiap hari, suatu kemewahan hidup yang sudah lama diimpikan. Ternyata masa kuliah tidak lebih sibuk  daripada masa-masanya di SMA. 

Hingga disatu pagi yang cerah jiwanya terbangun dan merasa perlu membenahi mentalnya  yang palsu, yang sejak bayi tak berdaya menerima dan ditempeli berbagai imaji dari lingkungan.  Sudah tiba masanya ia hidup dengan imaji orisinil diri sendiri… sesuatu yang bahkan tidak terpikirkan kebanyakan orang, namun ia merasa harus melaluinya. Pagi itu ia merasa benar-benar “ada” karena baru saja mulai berpikir.

Usia 19-20 tahun mempertanyakan banyak hal yang sebelumnya sudah mapan, tiba-tiba dibongkar kembali:  aku ini apa, apakah makna dan hal  terpenting dari keberadaan, apakah kehidupan itu, apakah Tuhan itu benar ada, apa pentingnya etika, dst.  Pertanyaan yang sulit dicarikan lawan diskusinya. Ini adalah revolusi mental yang akan berlangsung lama ...

Keberadaannya tidak terbantahkan, namun wujud eksistensi, semua hanyalah persepsi. “Tidak ada kamu, tidak ada apapun, yang ada hanya aku seorang. Kamu ada, segala ada, hanyalah karena aku berpersepsi demikian. Tapi aku terpenjara bahkan terjebak oleh imaji lama berikut sistem logikanya. Aku seperti orang yang sedang bermimpi, dan dalam mimpi itu aku sadar bahwa aku sedang bermimpi.”

Setelah selesai dengan dirinya sendiri, pemuda 19-20an tahun itu merancang kembali keyakinannya tentang Tuhan. Pikiran agnostiknya sadar bahwa esensi Tuhan tak terjangkau pikiran rasio, maka rasio menekuni jejak-jejak dan isyarat keberadaanNya hanya yang dalam jangkauannya saja melalui konfirmasi antara agama dan sains.

“Seiring waktu akhirnya aku menyadari bahwa aku tidak benar-benar sendirian. Ada Dia yang pengetahuan, pengalaman, dan kuasaNya amat sangat mengendalikan.  Sangat jelas bahwa aku adalah pihak  yang benar-benar tak berdaya.”

“Aku ingin mengenalNya, Ia pun nampaknya ingin dikenal. Bagaimana mungkin orang kesepian sepertiku tak menoleh dan mendekat ketika tahu ada Satu-satunya Keberadaan Yang Lain…”       

(Penulis : Hamdan A. Batarawangsa, MPd.)