Woww... dunia saat ini (2023) sedang dipertontonkan dengan berbagai tragedi kemanusiaan. Kasus suaka Albania ke Eropa, suaka Meksiko ke AS, konflik Rusia-Ukraina, genosida oleh Israel kepada penduduk Gaza Palestina, dst. Dunia menonton demokrasi palsu, standar ganda beberapa negara, tumpulnya hukum internasional, dan rasisme. Pelanggar HAM berat tidak selalu bisa diseret ke Mahkamah Internasional. Yang paling mencengangkan, AS memveto upaya penghentian pembantaian di Gaza. Ini gila ! Hak Asasi Manusia menjadi tidak jelas.
Hak Asasi Manusia (HAM) memang selalu menjadi isu utama dunia. Istilah pelanggaran HAM itu sendiri secara hukum sebenarnya hanya digunakan untuk kasus-kasus yang bersifat vertikal oleh negara atau aparatur negara kepada warga negara yang bersifat terstruktur dan sistematis, termasuk untuk kasus penjajahan oleh suatu negara ke negara lain seperti yang terjadi di Palestina.
Di negara kita, Indonesia, kasus pelanggaran HAM berat terutama terjadi pada rentang 1965—2003, misalnya peristiwa sekitar Gestapu (Gerakan September Tigapuluh) baik sebelum maupun sesudahnya, kasus Petrus (Penembak Misterius), kasus penghilangan orang, kasus kerusuhan Mei 1998, kasus Jambo Keupok Aceh, kasus Talangsari Lampung, dan lain-lain.
Meskipun hak asasi manusia disebut-sebut bersifat universal, namun kenyataannya setiap bangsa memiliki batasan dan definisi yang berbeda-beda. Sejauh ini HAM lebih sebagai perspektif bangsa barat dan mengakomodir kepentingannya daripada perspektif dan kepentingan global bangsa-bangsa dunia, veto AS pada persoalan Palestina adalah bukti paling tidak terbantahkan. AS sedang mencoba meredefinisikan konsep HAM-nya.
Menghina dan membakar kitab suci dianggap hak asasi kebebasan berekspresi di Swiss, tapi merupakan pelanggaran hukum di Rusia. Masalah LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) dianggap sebagai ekspresi HAM di negara-negara sekuler, sebaliknya, sebagai ekspresi kelainan (penyakit) mental di negara-negara yang rakyatnya religius. Pada prinsipnya, meski kebebasan adalah hak asasi bagi siapapun, tapi tidak ada kebebasan absolut, kebebasan setiap orang dibatasi oleh hak-hak orang lain dan perangkat norma yang wajib dihormati.
Konsep HAM Indonesia
Pemahaman HAM di Indonesia terutama berdasar pada sila ke-2 Pancasila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab yang penjabarannya termuat dalam TAP MPR No.1 Tahun 2003 yang kemudian disebut butir-butir Pancasila, adalah sebagai berikut : (1) Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. (2) Mengakui persamaan derajad, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturrunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya. (3) Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia. (4) Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira. (5) Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain. (6) Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. (7) Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan. (8) Berani membela kebenaran dan keadilan. (9) Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia. (10) Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.
Pengertian HAM menurut TAP MPR No.XVII tahun1998 bahwa HAM adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup, kemerdekaan, perkembangan manusia dan masyarakat, yang tidak boleh diabaikan, dirampas, atau diganggu oleh siapapun. Konsep HAM di Indonesia tidak lepas dari aspek religi-spiritual, yaitu HAM sebagai anugerah Tuhan. Berbeda dengan bangsa barat, yang melepaskan konsepnya dari agama meskipun mereka tahu sejarah kesadaran HAM dimulai dari perjuangan para Rasul utusan Tuhan.
Pemerintah Indonesia, terutama Kementerian Pendidikan, melakukan edukasi kepada generasi muda melalui pembelajaran berbagai materi mengenai HAM dalam perspektif Pancasila, ditengah tantangan nilai dan ide akibat perubahan sosial yang menurut Wasitaatmadja[1] saat ini nilai-nilai Pancasila sedang berhadapan dengan nilai-nilai lain yang berlawanan terutama religiusitas versus materialism, kegotongroyongan versus individualism.
Pembelajaran HAM dalam perspektif Pancasila bertujuan agar generasi muda memahami hak dan kewajibannya sebagai warga negara Republik Indonesia dan sebagai pribadi yang merupakan bagian dari umat manusia dengan berprinsip pada nilai-nilai luhur Pancasila. Memberikan edukasi tentang HAM kepada generasi muda diimbangi dengan pemahaman tentang kewajiban sebagai manusia individu dan sosial. Saat seseorang telah dewasa, kewajiban asasi selalu melekat pada hak asasinya sebagai manusia. Menghormati hak asasi orang lain adalah kewajiban asasi, hak asasi setiap orang dibatasi oleh hak asasi orang lain.
Fakta subjektivitas dan inkonsistensi konsep serta pelaksanaan HAM di dunia harus membuat bangsa Indonesia semakin kokoh dan percaya diri dengan konsepnya sendiri, menolak dengan tegas dikte dari perspektif bangsa lain. Sejauh ini, HAM dalam perspektif Pancasila adalah yang paling masuk akal.
(Memperingati Hari jadi TNI tahun 2023. Dirgahayu Tentara Nasional Indonesia !)
[1] Fokky Fuad Wasitaatmadja. Falsafah Pancasila Epistemologi Keislaman Kebangsaan (Jakarta: Prenada Media Grup, 2020), h.178—188.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar pada space yang tersedia. Komentar akan muncul setelah disetujui Admin.