Tanpa kejernihan hidup yang bagaimana, manusia bisa berdamai dengan kematian ? Tak ada kebaikan yang tak berbalas, tak ada keburukan yang tak bersanksi. My wisdom goes over the sea of wild wisdom

26 Juli 2021

STRATEGI KEBUDAYAAN SKALA MIKRO

 

(MEMBENTUK NORMA DAN BUDAYA DI SEKOLAH)

Penulis : Hamdan Arfani

Idealnya, di sekolah, siswa tidak hanya belajar menjadi pintar, tapi juga dididik agar berkarakter unggul dan mampu berkontribusi dalam penciptaan lingkungan yang lebih baik. Upaya mewujudkan sekolah yang ideal ini perlu sebuah strategi, yaitu strategi kebudayaan meski dalam lingkup mikro.

Kebudayaan sebagai perencanaan masa depan diungkap C. A. Van Peursen sebagai strategi kebudayaan, yaitu upaya manusia untuk belajar dan merancang kebudayaannya yang meliputi tujuan hidup, makna hidup, ilmu pengetahuan, teknologi, seni, bahasa, dan segala hal kehidupan, termasuk norma-norma. Dalam perspektif Van Peursen, kebudayaan adalah sebuah instrument.

Dalam Prakata buku Strategi Kebudayaan (Van Peursen), Soedjatmoko (1976) menyatakan bahwa kebudayaan sebagai suatu proses belajar yang terus menerus, dimana kreativitas dan inventivitas kait mengait dengan pertimbangan-pertimbangan etis; mampu membimbing proses modernisasi dan pembangunan. Konsep kebudayaan Van Peursen ditegaskan oleh Soedjatmoko selain sebagai instrument, kebudayaan adalah juga sebagai sekolah dimana kita dididik dan mengambil pelajaran.

STRATEGI KEBUDAYAAN SKALA MIKRO DI SEKOLAH

Van Peursen dan Soedjatmoko tentu saja membicarakan strategi kebudayaan dalam lingkup besar, yaitu lingkup negara bahkan dunia. Namun dari mereka berdua, saya terinspirasi lalu mewujudkannya pada suatu sekolah, katakanlah strategi kebudayaan skala mikro, membentuk budaya sekolah dan norma-norma.

Pada awal tahun 2000-an, saya adalah guru yang baru bergabung di sebuah sekolah yang kondisi dan suasananya jauh dari nyaman. Secara fisik, bangunan sekolah belum diplafon seluruhnya, ruang kelas sempit, skat antar ruang kelas hanya triplek sehingga suara riuh di kelas sebelah terdengar jelas di kelas yang lain, ubinnya adalah keramik bekas pakai, ruang kantor dan TU menyatu berukuran 2 x 10 meter, tidak ada meja guru, hanya ada 1 meja TU dan sofa untuk duduk guru plus beberapa bangku kayu. Halaman sekolah tidak lebih luas dari sebuah lapangan bulu tangkis. Fisik sekolah yang ala kadarnya diperparah oleh banyaknya sampah dimana-mana selama jam sekolah. Satu-satunya nilai plus adalah guru-guru yang energik, tapi itupun tidak terorganisir dengan baik.

Strategi Perdana : Mewujudkan Sekolah Bersih

Sehari-hari, siswa di sekolah hanya belajar dan jajan saja. Belum pernah ada kegiatan upacara bendera dan tidak ada kegiatan ekskul. Siswa datang jam 07.30 dan segera pulang jam 11.00.  Maka ketika suatu hari mereka dibariskan dan diajari satu-dua gerakan baris-berbaris, itu adalah sesuatu yang baru dan amat menarik bagi mereka. Jelas sekali nampak siswa senang dan antusias.  Esoknya, dan hari-hari berikutnya, acara berbaris dengan satu-dua gerakan rutin dilakukan meski hanya 5-10 menit sebelum masuk kelas atau sebelum mereka pulang… tapi kini ditutup dengan memungut sampah yang kami istilahkan "operasi bersih.” Mereka hanya boleh masuk kelas atau pulang jika sekolah yang tidak terlalu luas itu bersih dari sampah apapun.

Operasi Bersih kemudian dijadikan bentuk “hukuman resmi” sekolah bagi siswa yang datang terlambat, tidak mengerjakan PR, dan sebagainya. Belakangan hari, istilah hukuman berubah menjadi “konsekuensi”. Memungut sampah menjadi konsekuensi  yang disepakati atas pelanggaran yang dilakukan. Betul-betul terjadi di sekolah saya, ketika siswa mendapat konsekuensi memungut sampah, sangat sulit menemukan sampah sekecil apapun.

Ketika memungut sampah setiap hari dan menjaga kebersihan sekolah sudah menjadi kebiasaan, bahkan menjadi konsekuensi atas pelanggaran, maka sudah terbentuk norma sekolah bersih. Kebiasaan dan norma yang dijaga bersama akan menjadi budaya sekolah.

Saya membangun kebiasaan dahulu, kemudian menjadi norma. Hambatan-hambatan datang jika subjek strategi, yaitu guru, tidak kompak: tidak se-visi se-misi. Kekompakan adalah energy terbesar dalam strategi kebudayaan dan membangun norma sekolah.

Mewujudkan sekolah bersih adalah strategi kebudayaan mikro perdana saya, pada masa-masa selanjutnya disusul dengan mewujudkan budaya disiplin, budaya semangat datang ke sekolah, budaya berpakaian rapih, budaya berpenampilan rapih, dan lain-lain. Budaya-budaya itu dibangun dari kebiasaan yang terorganisir, diulang-ulang, kemudian dijadikan norma sekolah. Ada satu hal penting sebelum memulai segalanya, dan ini menjadi strategi di tahap paling awal, yaitu menciptakan atau memanfaatkan yang namanya momentum. Jangan remehkan momentum.

Hambatan-hambatan

Membangun norma dan budaya di sekolah tentu saja tidak tanpa hambatan.  Hambatan-hambatan tersebut diantaranya :

1). Sumber Daya Manusia (SDM) yang tidak memadai.  SDM yang tidak memadai misalnya tidak memiliki keinginan membuat sesuatu yang lebih baik, tidak memiliki kemampuan mengorganisir program, tidak memiliki kemampuan kerja kelompok yang semestinya, sikap masa bodoh, apatis, pesimis, dan sebagainya.

2). Budaya lama. Budaya lama yang bertolak-belakang atau tidak paralel dengan pembangunan norma yang sedang dijalankan akan menjadi hambatan karena dianggap aneh, berlebihan, bahkan tidak perlu oleh banyak orang. 

3). Program yang tidak terkelola dengan baik.  Program membangun norma dan budaya unggul, sebagus apapun programnya tidak akan segera terwujud jika tidak ada pengorganisasian yang baik, tidak terkontrol, dan tidak berkesinambungan. Saya sering melihat peraturan sekolah yang begitu banyaknya bahkan sangat bagus, namun tidak terlaksana dengan baik. Sehingga aturan-aturan yang tertulis indah itu tidak lebih hanya menjadi hiasan saja. Padahal, peraturan adalah salah satu instrumen dalam pembentukan norma dan budaya di sekolah.




11 Juli 2021

Kekuasaan dan Supremasi Hukum


Mengawali tulisan ini, saya mengutip pandangan Machiavelli tentang kekuasaan yang ditulis Sastrapratedja (2002) dalam Kata Pengantar dari sebuah buku terjemahan berjudul asli “Il Principe”, sebuah buku yang disebut-sebut punya kontribusi dalam  proses perubahan dunia, terutama dalam membangun kultur politik pada masa modern ini :   Kekuasaan bukan soal legitimasi moral, tapi bagaimana kekuasaan yang tidak stabil menjadi stabil dan lestari;  bahwa tugas pemerintah yang sebenarnya adalah mempertahankan serta mengembangkan kekuasaan, karena itu dibutuhkan kekuatan sebagai unsur integral dan elemen paling esensial dalam politik; bahwa tujuan dari semua usaha pennguasa adalah mempertahankan stabiltas suatu negara; dalam mengambil tindakan, pertimbangan penguasa tidak bertolak dari kemauan rakyat, tapi bertolak dari efisiensi secara politik; seandainya kekuasaan sudah stabil, maka langkah politik berikutnya adalah menarik simpati rakyat dengan pelbagai bantuan; negara yang kuat membutuhkan oposisi yang kuat untuk menyempurnakan pola manajemen kekuasaannya, karena tujuan terakhir dari perjuangan sang penguasa adalah kemuliaan dirinya sendiri.”


Kekuasaan ala Machiavelli

Sebelum membahas hakekat kekuasaan menurut versi lain, kekuasaan ala Machiaveli masih menarik diperbincangkan, bukan cuma karena kontroversi sejak awal kemunculannya, tapi di jaman modern ini nampaknya tidak sedikit politikus yang mengikuti spiritnya.

Menurut Machiavelli, kekuasaan adalah satu-satunya tujuan dalam politik.  Kekuasaan adalah untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih besar dan lebih langgeng, dengan cara berfokus pada tujuan-tujuan konkrit jangka pendek, yang untuk mencapainya tidak perlu mempertimbangkan masalah moral dan pendapat orang banyak.

Kekuasaan ala Machiavelli lebih memberi porsi pada apa dan bagaimana memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Sementara untuk tujuan besar apa kekuasaan tersebut, Leopold von Ranke, seorang ahli sejarah kebangsaan Jerman, mengungkapkan asumsi filsafat politik Machiavelli : yang membiarkan pemerkosaan pedoman-pedoman moral untuk mencapai tujuan etis yang lebih luhur lagi, dan pencapaian tujuan-tujuan jangka pendek untuk kekuasaan yang lebih stabil adalah mengamankan pencapaian tujuan-tujuan jangka panjang yang umumnya diminati golongan moralis.

Pembagian kekuasaan di Indonesia

Negara Indonesia menganut sistem pembagian kekuasaan. Penerapan pembagian kekuasaan di Indonesia terdiri dari dua bagian, yaitu pembagian kekuasaan secara horizontal dan pembagian secara vertikal. Pembagian tersebut tertuang dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Kekuasaan Horizontal

Pembagian kekuasaan horizontal merupakan pembagian kekuasaan menurut fungsi lembaga-lembaga tertentu, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dalam UUD 1945, kekuasaan secara horizontal pembagian kekuasaan negara dilakukan pada tingkatan pemerintah pusat dan pemberintah daerah. Pada pembagian kekuasaan di pemerintah pusat berlangsung antara lembaga-lembaga negara yang sederajat. Namun adanya perubahana UUD 1945 terjadi pergeseran pembagian kekuasaan di pemerintah pusat. Dalam buku Kontruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945 (2010) karya Titik Triwulan, pada UUD 1945 hasil amandemen menetapkan empat kekuasaan dan tujuh lembaga negara. Terdapat pergeseran klasifikasi kekuasaan negara yang umumnya terdiri atas tiga jenis menjadi enam kekuasaan negara, yaitu

(1) Kekuasaan konstitusi

Kekuasaan konstitusi merupakan kekuasaan untuk mengubah dan menetapkan UUD. Kekuasaan ini dipegang oleh Majelis Permusyawarar Rakyat (MPR). Pada Pasal 3 ayat (1) UUD 45 menyatakan “Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.” Dikutip situs Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), hampir semua negara di dunia memiliki konstitusi tertulis atau UUD yang mengatur pembentukan, pembagian wewenang dan cara bekerja berbagai lembaga kenegaraan. Konstitusi suatu negara pada hakekatnya merupakan hukum dasar tertinggi yang memuat hal-hal mengenai penyelenggaraan negara. Karena suatu konstitusi harus memiliki sifat yang lebih stabil dari produk hukum lainnya. Adanya konstitusi dapat membawa perubahan bagi sistem penyelenggaraan negara. Bisa juga negara demokrasi berubah menjadi otoriter karena terjadi perubahan konstutisi.

(2) Kekuasaan Eksekutif

Kekuasaan eksekutif merupakan kekuasaan untuk melaksanakan atau menjalankan undang-undang. Tidak hanya itu tapi juga penyelanggaraan negara. Pada kekuasaan tersebut dipegang oleh presiden. Di mana itu tertuang dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.

(3) Kekuasaan legislatif

Kekuasaan legislatif merupakan kekuasaan untuk membuat atau membentuk undang-undang. Pada Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Dikutip situs Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), DPR tidak hanya menyusun dan membuat undang-undang. Tapi juga menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi rakyat. Selain itu memberikan persetujuan kepada presiden untuk menyatakan perang ataupun membuat perdamaian dengan Negara lain, mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial.

Dilansir Encyclopaedia Britannica (2015), sebelum munculnya badan legislatif, hukum didikte oleh raja. Legislatif awal termasuk parlemen Inggris dan Icelandic Althing (didirikan sekitar 930). Kekuasaan mereka dapat mencakup pengesahan undang-undang, penetapan anggaran pemerintah.

(4) Kekuasaan yudikatif

Kekuasaan  yudikatif merupakan kekuasaan untuk mempertahankan undang-undang. Pada kekuasaan tersebut juga untuk mengadili setiap pelanggaran terhadap undang-undang. Pada kekuasaan tersebut sering juga  menyelesaikan kasus-kasus administrasi. Pada kekuasaan tersebut dipegang oleh Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Kekuasaan tersebut tertuang dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

(5) Kekuasaan eksaminatif

Kekuasaan eksaminatif merupakan kekuasaan yang berhubungan dengan penyelenggaraan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan. Pada kekuasaan tersebut dijalankan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Ini tertuang dalam Pasal 23 E ayat (1) UUD 1945.

(6) Kekuasaan moneter 

Kekuasaan moneter merupakan kekuasaan untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Kekuasaan tersebut dijalankan oleh Bank Indonesia (BI) dan tertuang dalam Pasal 23 D UUD 1945. Di mana yang berbunyi bahwa negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan indepedensinya diatur dalam undang-undang.

Kekuasaan Vertikal

Kekuasaan vertikal merupakan pembagian kekuasaan menurut tingkatnya, yakni pembagian kekuasaan antara beberapa tingkatan pemerintah. Pada pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Pada kekuasaan vertikal muncul sebagai konsekuensi diterapkannya asa desentralisasi. Di mana pemerintah pusatmenyerahkan wewenang kepada pemerintah daerah. Sistem yang dipakai dengan adanya itu dengan otonomi daerah. Di mana pemerintah daerah mengurusi urusan daerahnya. 




Supremasi Hukum di Indonesia

Bangsa Indonesia sepakat bahwa NKRI adalah Negara hukum. Negara hukum menjalankan pemerintahan berdasar kedaulatan hukum bukan kekuasaan, bertujuan menjalankan ketertiban hukum (Pasya dalam Winarno, 2006).  Yulies Tiena Masriani dalam Pengantar Hukum Indonesia (2004) menyatakan bahwa hukum adalah perangkat norma atau kaidah yang berfungsi mengatur tingkah laku manusia dengan tujuan ketentraman dan kedamaian dalam masyarakat.  Tanpa hukum, manusia akan bertingkah barbar seperti binatang : menjajah sesamanya, yang terkuat yang akan berkuasa, saling membantai tiada henti.

Prof. Dr. Soerjono Soekanto berpendapat bahwa penegakan hukum dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya produk hukum, penegak hukum, fasilitas hukum, masyarakat, dan budaya. 

Produk hukum misalnya UUD, UU, Perpu, Permen, Perda, dan sebagainya. UUD dan UU dibuat oleh lembaga legislatif negara, yaitu DPR. Perpu, Permen, dan Perda dibuat oleh lembaga eksekutif yang hierarkinya dibawah UUD dan UU, sebagai penjabaran hukum di atasnya.

Masalah-masalah produk hukum di Indonesia saat ini, diantaranya masalah multitafsir, masalah tumpang-tindih dengan pasal-pasal dan aturan lain sehingga menimbulkan keruwetan dalam hukum, dan ketidaksesuaian hukum dengan azaz di atasnya. 

Dalam hal keruwetan hukum, dalam level eksekutif, Presiden Joko Widodo melalui menterinya melakukan pemangkasan dan peninjauan kembali hukum. Dalam hal ketidak sesuaian hukum dengan azaz di atasnya, Penulis menilai UU tentang pemilihan umum secara langsung  mengabaikan spirit musyawarah mufakat yang tercantum dalam sila ke-4 Pancasila, meski Pancasila tidak termasuk dalam hierarki hukum negara, tapi Pancasila adalah salah satu Pilar Kebangsaan dan sumber dari segala sumber hukum yang harus dihormati. Dalam level legislatif, DPR-MPR RI melakukan amandemen beberapa pasal UUD 45. Amandemen UUD ini berpotensi mengubah negara, sehingga perlu mendapat perhatian utama.  Amandemen pertama UUD 45 terjadi pada tahun 1999, mengubah 9 pasal (pasal 5, 7, 9, 13, 14, 15, 17, 20, dan pasal 21). Hingga kini telah terjadi beberapakali amandemen.  Hal terpenting dari amandemen tersebut menurut Penulis adalah 

(1) Amandemen I tahun 1999 memperkuat posisi legislatif;

(2) Amandemen II tahun 2000 mengenai kewenangan DPR, pemerintah daerah, HAM, lambing negara, dan lagu kebangsaan;

(3) Amandemen III tahun 2001 mengenai kewenangan MPR, kepresidenan, kedaulatan negara, keuangan negara, dan kekuasaan kehakiman;

(4) Amandemen IV tahun 2002 mengenai penggantian presiden, DPD sebagai bagian MPR, pernyataan perang, perdamaian dan perjanjian, pendidikan dan  kebudayaan, perekonomian nasional, mata uang, dan bank sentral.

Badan-badan penegak hukum di Indonesia diantaranya : Polri, BNN, Kejaksaan Agung, BNPT, BIN, dan Bakamla (dibawah Menko Polhukan); Pol.PP (dibawah Mendagri); Dirjen Bea dan Cukai, dan Dirjen Pajak (dibawah Menkeu); Polisi Kehutanan (dibawah Menteri KLH dan Kehutanan); Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (dibawah Menhub); Dirjen Imigrasi dan Polisi Penjara/Sipir (dibawah Menkumham); Polisi Militer (dibawah Panglima TNI); KPK (independe); dan Wilayaul Hisbah (khusus di Aceh, independen); hakim dan advokad.

Menurut Penulis, masalah utama dari penegak hukum adalah rawannya penyuapan dan kinerja yang rendah.  Sudah dimaklumi bersama bahwa penegak hukum rawan disuap, penulis tidak akan membahas masalah ini lebih lanjut.  Lembaga penegak hukum secara intern harus membuat sistem sedemikian rupa agar bisa menghindari penyuapan dan terus meningkatkan tingkat kepercayaan masyarakat kepada penegak hukum.   

Masalah berikutnya adalah kinerja yang rendah, entah karena pertambahan kejahatan lebih tinggi daripada percepatan kasus yang terselesaikan, kurangnya jumlah personil penegak hukum, atau factor kecakapan yang tidak memadai. Penulis memiliki setidaknya dua pengalaman meminta bantuan penegak hukum. Pertama, kasus pencurian dengan kerugian materi kurang dari sepuluh juta rupiah, kasus ditangani dan selesai dengan memuaskan. Kedua, kasus penipuan penjualan tanah dengan kerugian materi di atas tigapuluh juta rupiah, kasus bertahun-tahun tidak selesai, kini hampir kadaluarsa. Dari dua pengalaman tersebut secara umum penulis tidak bisa mengatakan puas dengan kinerja penegak hukum.

Ketika berhadapan dengan opini masyarakat, aparat penegak hukum seringkali nampak gamang dalam menegakkan hukum.  Hal tersebut nyata dalam pengamatan penulis terutama pada kasus HRS (2020), meski kemudian penegak hukum kembali mampu bersikap dan bertindak tegas terukur sesuai UU. Dewasa ini, opini masyarakat (opini public) sering dilihat melalui media online, padahal opini di dunia maya sering tidak sesuai dengan opini sesungguhnya masyarakat. Opini publik berpotensi memengaruhi kebijakan public (hukum), oleh karena itu, perlu diketahui opini public yang orisinil, bukan buatan buzzer atau mesin di media online. Opini publik bisa mendukung tapi bisa juga justru menghambat penegakkan hukum. 

Kebudayaan sebetulnya berfungsi sebagai sekolah bagi masyarakat, masyarakat belajar dari nilai-nilai kemudian mengevaluasi dirinya sendiri (Peursen, 1976). Dalam kebudayaan ada sanksi dan konsekuensi. Sanksi dan konsekuensi dalam budaya mendahului UU negara.  Oleh karena itu penegakan hukum di NKRI harus memperhatikan pula budaya setempat agar tidak menimbulkan gesekan dalam masyarakat. Sangat bagus jika UU negara menyesuaikan dengan budaya setempat. Contoh sanksi dan konsekuensi budaya yang kemudian disinkronkan dengan UU negara adalah UU khusus yang berlaku di Aceh dewasa  ini.

Kekuasaan dan Supremasi Hukum (Simpulan)

Banyak yang khawatir, kuatnya kekuasaan penguasa akan berpengaruh negatif pada supremasi hukum.  Dengan kekuasaannya yang sangat kuat, penguasa (pemerintah) dapat mengintervensi hukum dan jalannya peradilan.  Apalagi, jika penguasa (pemerintah) menganut politik kekuasaan ala Machiavelli, yang tentu saja akan menghalalkan segala cara untuk melanggengkan kekuasaan, diantaranya dengan melakukan intervensi kepada hukum.

Namun, politik kekuasaan ala Machiavelli hanya akan efektif pada model pemerintahan jaman klasik atau otoriter saja, dimana satu orang biasa memegang kekuasaan rangkap : eksekutif, legislative, dan yudikatif sekaligus. Di Indonesia, spirit kekuasaan ala Machiavvelli hanya bisa hidup di dalam spirit orang per orang untuk lingkup yang kecil di lingkungan yang bersangkutan saja, karena Indonesia menganut pembagian kekuasaan, dan merupakan negara berkedaulatan hukum.

 

Daftar Pustaka

 

Machiavelli, Niccolo. Il Principe, diterjemahkan oleh C. Woekirsari dengan judul Sang

Penguasa, Surat Seorang Negarawan kepada Pemimpin Republik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, cetakan ke-6. 2002.

Sastrapratedja, M. dan Parera, Frans. Kata Pengantar, Suatu Alternatif Kaidah Etika

Politik dalam Sang Penguasa, Surat Seorang Negarawan kepada Pemimpin Republik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, cetakan le-6. 2002.

Peursen, CA. Strategi Kebudayaan. Penerjemah Dick Hartoko. Jogjakarta :Kanisius.

            1976

https://www.kompas.com/skola/read/2020/03/26/180000169/pembagian-kekuasan-

            di-indonesia?page=all. Diakses tanggal 10 Juli 2021 jam 21.43

http://hamdanarfani.blogspot.com/2021/05/penegakan-hukum-di-indonesia.html.

            Diakses 10 Juli2021 jam 21.51