Oleh : Dr.Fokky Fuad
Pembidangan Ilmu Hukum dalam 3 tingkatan lapisan Ilmu Hukum: Filsafat Hukum, Teori Hukum, Dogmatika Hukum tampaknya perlu difikirkan lebih dalam. Ketiga tingkatan tersebut jika ditelaah secara lebih mendalam lebih menampakkan wujud ilmu hukum dalam aras Rasionalitas Akal. Bangunan pemikiran 3 tingkatan tersebut menunjukkan bahwa manusia adalah manifestasi bekerjanya rasionalitas dalam keilmuan hukum.
Kesemua lapisan ilmu hukum meletakkan gagasan keilmuannya pada tangkapan pancaindera dan rasionalitas akal.
Jika manusia adalah suatu entitas utuh antara materi fisik yang terdiri atas
akal dan gerak fisik tubuh, lalu hendak dikemanakan susunan imateri yang
terbangun atas intuitif dan keyakinan transendental kepada Tuhan? Bagaimanakah
hukum dapat bekerja dalam ranah manusia secara utuh?
Bagaimana gerak intuisi bekerja dalam ranah
hukum? Bagaimanakah Rasa Keadilan kita letakkan posisinya dalam konstruksi
logika hukum semacam ini? Keadilan adalah substansi hukum yang tak terpisahkan,
sedangkan pembidangan ilmu hukum hanya membatasi diri pada lapisan Filsafat,
Teori dan Dogmatika semata.
Epistemologi Keilmuan Hukum di atas
menunjukkan proses pemisahan atas Gagasan Ketuhanan dalam Keilmuan Hukum.
Sebuah proses sekularitas dalam keilmuan hukum. Manusia sebagai citra Tuhan (imago Dei) yang memiliki nilai spiritualitas selain
rasionalitas akal yang logis tidak mendapatkan tempat yang layak dalam ilmu
hukum seperti ini. Filsafat Eropa yang hanya melihat pada rasionalitas yang
didengungkan oleh Rene Descartes, menjadi sebuah jalan terang bagi proses
sekularitas ilmu hukum: empirisme-rasionalisme yang memisahkan diri dari ide
spiritualisme.
Menjadi sebuah paradoks ketika keadilan
dinyatakan sebagai substansi, tetapi konstruksi ilmu hukum diletakkan dalam konsep
paripatetik yang mendukung nalar logika dan tidak bersahabat dengan relasi
nalar intuisi. Matematika dan logika sebagai metode menguak kebenaran semesta.
Dunia hanya tercipta dalam susunan utamanya yaitu: materi dan bentuk. Lalu jika
itu adalah susunan semesta alam, dimanakah letak keadilan dalam bentuk yang
berwujud imateri?
Keadilan adalah substansi imateri yang ditanam
Tuhan, ia bersemayam dalam setiap kalbu dan jiwa manusia yang merasa. Logika
matematika semacam apa yang mampu menjawab nalar rasa? Keadilan adalah ruang
ide yang bersumber pada gagasan nalar Ketuhanan. Hukum adalah forma materi
menjadi wadah untuk menampung Logos imateri Ketuhanan berupa keadilan tersebut.
Idealita Ilmu Hukum
Filsafat Hukum sebagai lapisan tertinggi dalam
bangunan ilmu hukum merupakan bentuk idealita dari ekspresi keilmuan hukum.
Filsafat Hukum sesuai dengan akarnya yaitu Filsafat, berupaya untuk memikirkan
hakikat dirinya bagi manusia. Ontologi hukum, mempertanyakan makna yang
terdalam dari hukum itu sendiri, apa arti dan makna hukum? Ruang hukum yang
sangat dalam hingga nyaris tak diketahui tingkat kedalamannya.
Begitu dalam makna hukum, hingga kini manusia
masih juga memperdebatkan hakikat makna-makna hukum. Hukum bukan sekedar
peraturan, karena jika ia dimaknai sebagai peraturan maka ia boleh dan wajar
untuk menghilangkan keadilan di dalamnya. Begitu banyak peraturan tak berjiwa
keadilan, sedangkan keadilan menjadi substansi hukum. Tanpa keadilan hukum
berada dalam ruang kegelapannya yang abadi, karena keadilanlah yang
mencerahkan, yang menjadikan hukum menjadi berfungsi.
Ranah ontologi begitu luas bahkan, sehingga
setiap ruang sosio-kultur manusia selalu berupaya memberikan makna-makna hukum.
Hukum bukan hanya dominasi mutlak para mahasiswa dan Guru Besar ilmu hukum.
Dalam dunia matematika, fisika, ekonomi, bahasa, dalam beragam medium ilmu pengetahuan
semuanya memiliki hukumnya sendiri. Fisika dengan hukum gravitasi, hukum
kekekalan energi, dan lainnya, Ilmu Ekonomi dengan Hukum Gossen, juga hukum
penawaran dan permintaan, dan ilmu manapun yang mencoba untuk merekonstruksi
gagasan makna hukum bagi dirinya masing-masing. Tidak ada yang mampu menyatakan
klaim kebenaran atas makna hukum yang paling hakiki dalam ranah ilmu
pengetahuan hukum.
Idealita filsafat hukum meletakkan gagasan
logika dan rasionalitas akal untuk menempatkan sebuah hakikat tertinggi atas
makna ilmu hukum. Gagasan Newtonian dan Aristotelian, Comtenian yang meletakkan
ide materi sebagai kebenaran utama ikut mewarnai pemaknaan-pemaknaan ontologi
ilmu hukum. Ruang baru keilmuan hukum dengan masuknya gagasan-gagasan kepastian
alam melahirkan ide dan prinsip-prinsip Kepastian Hukum. Hukum dinyatakan
sebagai sarana yang mampu menjamin sebuah kepastian bagi gerak langkah
peradaban manusia.
Ruang ilmu hukum dipenuhi oleh sederet logika,
mengedepankan rasio, menekan seoptimal mungkin ide metafisika yang tak logis.
Gagasan Newtonian, Aristotelian, hingga Positivisme Comtenian melandasi cara
kita memandang dunia hukum. Ide materi, kewujudan, dan fisik hukum memang telah
mampu mencipta proses modernisasi hukum, akan tetapi akankah modernitas itu
juga mampu merubah persepsi atas wujud-wujud imateri? Tentu tidak, karena ada
sesuai yang ada tetapi ia tetap tidak berubah: sistem keyakinan.
Filsafat hukum acapkali memberikan
pernyataan-pernyataan bahwa keadilan adalah tujuan dari terbentuknya sebuah
hukum. Jika keadilan adalah substansi yang menjadi jiwa dari hukum, maka hukum
bukanlah semata berada dalam gagasan materi, tetapi ia berupaya untuk memasuki
ranah imateri. Bagaimana mewujudkan keadilan ketika ia hanya dapat dirasakan
tetapi tak bisa dijelaskan wujudnya? Disinilah muncul idealita pemikiran bahwa
hukum bukan hanya menghadirkan logika melainkan juga intuisi, karena keadilan
berupaya diletakkan ke dalamnya dan menjadi jiwa dari hukum itu sendiri.
Ranah filsafat hukum sejatinya tidak sekedar
menjunjung tinggi ide rasionalitas akal dalam konsep-konsep paripatetik.
Filsafat Hukum juga selayaknya menyentuh nalar ide intuisi sebagai bagian dalam
komponen manusia. Filsafat Hukum juga sejatinya menyentuh nalar Ketuhanan (ilmul ahwal dan ilmul asrar), selain gerak rasio akal yang
dinamis ia juga sebuah ruang ide spiritual yang menjadikan manusia sebagai
makhluk sejati karena ia adalah hamba Tuhan, bukan hamba akalnya. 
Rahasia alam semesta ini begitu besar untuk
dapat dijawab hanya dengan nalar logika, begitu banyak rahasia dan pertanyaan
yang tak terjawab akal. Gerak alam semesta menjadi labirin yang memunculkan
beragam pertanyaan (enigmatik) yang sangat besar. Keingintahuan akan sesuatu
yang dinyatakan sebagai yang “ada” tidak dapat dijawab secara tuntas oleh
logika akal. Gerak hukum keteraturan rangkaian kosmik masih sering melampaui
nalar logika dan menimbulkan pertanyaan besar untuk dapat memuaskan
keingintahuan manusia atas rahasia alam semesta.
Terdapat sebuah keniscayaan bahwa ada sesuatu
yang lebih, melampaui (beyond) dari apa yang kita mampu
tampung dalam nalar logika. Sebuah gerak alam semesta yang tak terbaca oleh
pancaindera dan belum terjawab oleh pengetahuan manusia. Untuk itu maka nalar
manusia tidak mungkin menolak ide imateri ruhani, karena kebenaran bukan hanya
ide materi.
Jika kebenaran hanyalah ide materi, maka
sepanjang perjalanan peradaban manusia, tak akan ada satupun manusia yang
mengakui eksistensi Tuhan. Kehadiran bukan semata ditunjukkan dalam empirik
wujud, melainkan juga dalam bekerjanya ide ruhani. Hukum bukan hanya gerak ide
materi, ia pada hakikatnya juga menjadi gerak rangkaian kehendak Ilahiah untuk
mampu menjadi wadah menampung substansi keadilan di dalamnya.
Apakah ide materi logika dan rasioonalitas
sebagai struktur yang menguatkan dogmatika ilmu hukum perlu dihilangkan atau
dijauhkan? Tentu saja tidak, dan tidak mungkin, tetapi sejatinya gagasan
konstruksi ilmu hukum tidak berhenti hingga taraf logika. Ia harus terus
dikembangkan dalam bangunan yang mampu menampung ide ruhani dalam keilmuan
hukum. Hukum sebagai sarana untuk menampung eksistensi cahaya Tuhan yang
berwujud keadilan, maka secara ideal ia harus melampaui gagasan ide materi.
Logika menjadi pijakan awal untuk melangkah lebih jauh membangun sebuah ide
keadilan Tuhan.
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada)
langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang
tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan)
kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan
dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak
di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya
(saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya
(berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki,
dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.” (Qs. An-Nuur: 35)
Penulis adalah Dosen Tetap pada Program
Magister Hukum Universitas Al Azhar Indonesia. Dosen tidak tetap pada
Universitas Esa Unggul dan STKIP Arrahmaniyah. Co-Founder Forum Internalisasi
Nilai-Nilai Kebangsaan. Founder dan Peneliti pada Islamadina Institute. 
Sumber : http://www.gardanews.my.id/2020/11/manusia-dan-manifestasi-rasionalitas.html?m=1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar pada space yang tersedia. Komentar akan muncul setelah disetujui Admin.