Tanpa kejernihan hidup yang bagaimana, manusia bisa berdamai dengan kematian ? Tak ada kebaikan yang tak berbalas, tak ada keburukan yang tak bersanksi. My wisdom goes over the sea of wild wisdom

25 November 2020

Nasab Rasulullah Terputus Secara Patrilineal

 

Abah Sepuh Suryalaya
Keturunan Rasulullah dari jalur Sayidina Hasan bin Ali Abi Thalib


Adalah kehendak Allah SWT, semua anak lelaki Rasulullah Muhammad Saw meninggal dunia tidak meninggalkan keturunan. Qasim bin Muhammad wafat ketika usia masih 2 tahun, begitu pula Abdullah bin Muhammad. Ibrahim bin Muhammad wafat ketika usia 17 tahun. Semua anak lelaki Rasulullah wafat sebelum berkeluarga, sehingga secara patrilineal (nasab garis ayah), nasab Rasulullah Saw. terputus. Putusnya nasab Rasul secara patrilineal ini tentulah bukan kebetulan, Allah SWT Yang Maha Tahu dan Maha Bijaksana sudah menetapkan demikian.

Selain 3 anak lelaki yang semuanya wafat, Rasulullah memiliki 4 putri yang semuanya kemudian berkeluarga, yaitu Zaenab binti Muhammad yang kemudian menikah dengan keponakan Siti Khadijah bernama Abu al Ash bin al Rabi, Fatimah al Zahra binti Muhammad yang menikah dengan Ali bin Abi Thalib, Ruqayyah binti Muhammad menikah dengan Utsman bin Affan.  Ruqayyah binti Muhammad wafat bertepatan pada peristiwa perang Badar. Kemudian putri lainnya adalah Ummu Qultsum binti Muhammad yang menikah dengan Utsman bin Affan setelah kakaknya, Ruqayyah, wafat.

Dari 4 putri Rasulullah, ada 2 menantu Rosul yang menjadi khalifah, yaitu Utsman bin Affan menggantikan Umar bin Khatab, dan Ali bin Abi Thalib menggantikan Utsman. 

Di Indonesia, keturunan Ali bin Abi Thalib disebut sayid atau syarif, ada juga yang digelari habib oleh masyarakat. Ada lembaga yang mencatat keturunan Ali bin Abi Thalib ini, hanya saja, baru bisa menyusur marga-marga dari Tarim Hadramaut yang datang setelah abad ke-17. Padahal, dari sejarah lokal, diketahui sayid dan syarif sudah ada di Nusantara sejak abad ke-9. Putra raja Galuh, Pangeran Bratalegawa adalah seorang muslim yang dalam persinggahannya dari Mekkah menikahkan adik perempuannya dengan seorang syarif dari marga Azhamatkhon. Kemudian penemuan makam Fatimah binti Maimun di Gresik berangka tahun 1008. Dari sejarah lokal pula kita tahu ada keturunan Rasulullah yang menjadi raja, yang masih pula bertalian darah dengan raja Galuh, yaitu Syarif Hidayatullah, alias Sunan Gunung Jati.

Sejauh ini, keturunan Rasul hanya mencatat dari dzuriyat Ali bin Abi Thalib, sedangkan keturunan dari putri-putri Rosul yang lain, tidak diketahui.


20 November 2020

MAKNA PENAMPAKAN KOMET

 

Penulis : 

Ni Nyoman Dhitasari

(Bagian dari artikel berjudul Komet van Java: Lintang Kemukus dan Legenda Keris Pusaka Majapahit}


Tradisi Jawa memiliki semacam primbon atau ilmu mengartikan makna penampakan komet di langit berdasarkan arah kemunculan komet tersebut. Secara umum, penampakan komet membawa hal yang kurang baik, kecuali apabila komet tersebut muncul di arah barat. Dikutip dari buku “Sejarah Kutha Sala: Kraton Sala, Bengawan Sala, Gunung Lawu” karya R.M. Ng. Tiknopranoto dan R. Mardisuwignya, makna kemunculan komet dapat diartikan sebagai berikut:



·         Timur


Arah dan Makna:
Yen ana lintang kemukus metu ing : Wetan, ngalamat ana ratu sungkawa. Para nayakaning praja padha ewuh pikirane. Wong desa akeh kang karusakan lan susah atine. Udan deres. Beras pari murah, emas larang.Terjemahan:
Jika ada bintang berekor muncul di sebelah timur merupakan pertanda ada raja sedang berbela sungkawa. Para pengikutnya sedang bingung pikirannya. Orang desa banyak mengalami kerusakan dan bersusah hatinya. Beras dan padi murah harganya, tetapi emas akan mahal harganya.

·         Tenggara


Arah dan Makna:
Kidul-wetan: ngalamat ana ratu surud (seda). Wong desa akeh kang ngalih, udan arang. Woh2an akeh kang rusak. Ana pagebluk, akeh wong lara lan wong mati. Beras pari larang. Kebo sapi akeh kang didoli.Terjemahan:
Tenggara. Pertanda ada raja meninggal. Orang desa banyak yang pindah. Hujan menjadi jarang. Buah-buahan banyak yang rusak. Ada wabah penyakit. banyak orang sakit dan meninggal. Beras dan padi mahal. Kerbau dan sapi banyak yang dijual oleh pemiliknya.

·         Selatan


Arah dan Makna:
Kidul: ngalamate ana ratu surud (seda). Para panggedhe pada susah atine. Akeh udan. Karang kitri wohe ndadi.Beras pari, kebo sapi murah regane. Wong desa pada nalangsa atine, ngluhurake panguwasane Pangeran kang Maha Suci.Terjemahan:
Selatan. Pertanda ada raja meninggal. Para pembesar sedang bersusah hatinya. Banyak hujan. Hasil kebun melimpah hasilnya. Beras, padi, kerbau, dan sapi murah harganya. Orang desa merana hatinya, mengagungkan kekuasaan Tuhan Yang Maha Suci.

·         Barat Daya


Arah dan Makna:
Kidul Kulon, ngalamat ana ratu surud. Wong desa padha nindakake kabecikan. Beras pari murah. Karang kitri wohe ndadi. Kebo sapi akeh kang mati.Terjemahan:
Barat daya. Pertanda ada raja meninggal. Orang desa melakukan kebajikan. Beras dan padi murah harganya. Hasil kebun berlimpah ruah. Kerbau dan sapi banyak yang mati.

·         Barat


Arah dan Makna:
Kulon bener, ngalamat ana jumenengan Ratu. Panggede lan wong desa padha bungah atine. beras pari murah. Apa kang tinandur padha subur, kalis ing ama. Udan deres tur suwe. Barang dagangan wujud apa bae padha murah regane, jalaran saka oleh nugrahaning Pangeran.Terjemahan:
Barat. Pertanda ada penobatan Raja. Pembesar dan orang desa merasa senang hatinya. Beras dan padi murah harganya. Apa yang ditanam akan berbuah subur dan cepat membuahkan hasil. Hujan deras dan lama. Barang yang diperjual-belikan dalam bentuk apa saja akan murah harganya, karena memperoleh berkah Tuhan.

·         Barat Laut


Arah dan Makna:
Lor kulon, ngalamat ana Ratu pasulayan, rebutan raja darbeke lan pangwasane. Para Adipati padha tukaran rebut bener. Wong desa padha sedhih atine. Kebo sapi akeh kang mati. udan lan gludhug salah mangsa. Grahana marambah-rambah tur suwe. Beras pari larang emas murah.Terjemahan:
Barat laut. Pertanda ada raja berselisih memperebutkan kekuasaan. Para adipat berselisih memperebutkan kekuasaan. Warga desa bersedih hatinya. Kerbau dan sapi banyak yang mati. Hujan dan petir akan terjadi di musim yang salah. Kekurangan (gerhana) akan semakin meluas dan berjangka waktu lama. Beras dan padi akan mahal harganya, namun emas murah harganya.

·         Utara


Arah dan Makna:
Lor bener: ngalamat ana Ratu ruwet panggalihe jalaran saka kisruh paprentahane, kang temahan nganakake pasulayan, banjur dadi perang. beras pari larang, emas murah.Terjemahan:
Utara: pertanda ada raja yang kalut pikirannya karena kekeruhan dalam pemerintahan. Akan timbul perselisihan yang berkembang menjadi peperangan. Beras dan padi mahal harganya, namun emas murah.

Penutup
Riset yang saya lakukan untuk membuat tulisan ini merupakan pencarian pribadi saya atas sebab ketakutan saya di masa kecil. Apabila dilihat dari cerita keris pusaka dan juga primbon Jawa, tidak mengherankan bahwa kemunculan komet Halley di tahun 1986 membuat masyarakat di sekitar tempat tinggal saya di sebuah kota kecil di Jawa menggali kembali budaya dan tradisi nenek moyang mereka. Masyarakat Jawa yang pada masa itu sebagian masih berpola pikir tradisional tentunya akan langsung kembali kepada tradisi turun temurun untuk menjelaskan fenomena alam yang luar biasa ini.

Meskipun demikian, kemajuan sains telah membuka sebagian dari misteri komet. Diluncurkannya misi Rosetta oleh European Space Agency (ESA) untuk mengorbit dan mendaratkan robot lander Philae di komet 67P/Churyumov-Gerasimenko adalah terobosan terbaru dunia sains untuk memahami lebih dalam segala sesuatu tentang komet. 

Sumber : www.langitselatan

 

19 November 2020

Manusia dan Manifestasi Rasionalitas Hukum

 

Oleh : Dr.Fokky Fuad

Pembidangan Ilmu Hukum dalam 3 tingkatan lapisan Ilmu Hukum: Filsafat Hukum, Teori Hukum, Dogmatika Hukum tampaknya perlu difikirkan lebih dalam. Ketiga tingkatan tersebut jika ditelaah secara lebih mendalam lebih menampakkan wujud ilmu hukum dalam aras Rasionalitas Akal. Bangunan pemikiran 3 tingkatan tersebut menunjukkan bahwa manusia adalah manifestasi bekerjanya rasionalitas dalam keilmuan hukum. 

Kesemua lapisan ilmu hukum meletakkan gagasan keilmuannya pada tangkapan pancaindera dan rasionalitas akal. Jika manusia adalah suatu entitas utuh antara materi fisik yang terdiri atas akal dan gerak fisik tubuh, lalu hendak dikemanakan susunan imateri yang terbangun atas intuitif dan keyakinan transendental kepada Tuhan? Bagaimanakah hukum dapat bekerja dalam ranah manusia secara utuh?

Bagaimana gerak intuisi bekerja dalam ranah hukum? Bagaimanakah Rasa Keadilan kita letakkan posisinya dalam konstruksi logika hukum semacam ini? Keadilan adalah substansi hukum yang tak terpisahkan, sedangkan pembidangan ilmu hukum hanya membatasi diri pada lapisan Filsafat, Teori dan Dogmatika semata.

Epistemologi Keilmuan Hukum di atas menunjukkan proses pemisahan atas Gagasan Ketuhanan dalam Keilmuan Hukum. Sebuah proses sekularitas dalam keilmuan hukum. Manusia sebagai citra Tuhan (imago Dei) yang memiliki nilai spiritualitas selain rasionalitas akal yang logis tidak mendapatkan tempat yang layak dalam ilmu hukum seperti ini. Filsafat Eropa yang hanya melihat pada rasionalitas yang didengungkan oleh Rene Descartes, menjadi sebuah jalan terang bagi proses sekularitas ilmu hukum: empirisme-rasionalisme yang memisahkan diri dari ide spiritualisme.

Menjadi sebuah paradoks ketika keadilan dinyatakan sebagai substansi, tetapi konstruksi ilmu hukum diletakkan dalam konsep paripatetik yang mendukung nalar logika dan tidak bersahabat dengan relasi nalar intuisi. Matematika dan logika sebagai metode menguak kebenaran semesta. Dunia hanya tercipta dalam susunan utamanya yaitu: materi dan bentuk. Lalu jika itu adalah susunan semesta alam, dimanakah letak keadilan dalam bentuk yang berwujud imateri?

Keadilan adalah substansi imateri yang ditanam Tuhan, ia bersemayam dalam setiap kalbu dan jiwa manusia yang merasa. Logika matematika semacam apa yang mampu menjawab nalar rasa? Keadilan adalah ruang ide yang bersumber pada gagasan nalar Ketuhanan. Hukum adalah forma materi menjadi wadah untuk menampung Logos imateri Ketuhanan berupa keadilan tersebut.

Idealita Ilmu Hukum

Filsafat Hukum sebagai lapisan tertinggi dalam bangunan ilmu hukum merupakan bentuk idealita dari ekspresi keilmuan hukum. Filsafat Hukum sesuai dengan akarnya yaitu Filsafat, berupaya untuk memikirkan hakikat dirinya bagi manusia. Ontologi hukum, mempertanyakan makna yang terdalam dari hukum itu sendiri, apa arti dan makna hukum? Ruang hukum yang sangat dalam hingga nyaris tak diketahui tingkat kedalamannya.

Begitu dalam makna hukum, hingga kini manusia masih juga memperdebatkan hakikat makna-makna hukum. Hukum bukan sekedar peraturan, karena jika ia dimaknai sebagai peraturan maka ia boleh dan wajar untuk menghilangkan keadilan di dalamnya. Begitu banyak peraturan tak berjiwa keadilan, sedangkan keadilan menjadi substansi hukum. Tanpa keadilan hukum berada dalam ruang kegelapannya yang abadi, karena keadilanlah yang mencerahkan, yang menjadikan hukum menjadi berfungsi.

Ranah ontologi begitu luas bahkan, sehingga setiap ruang sosio-kultur manusia selalu berupaya memberikan makna-makna hukum. Hukum bukan hanya dominasi mutlak para mahasiswa dan Guru Besar ilmu hukum. Dalam dunia matematika, fisika, ekonomi, bahasa, dalam beragam medium ilmu pengetahuan semuanya memiliki hukumnya sendiri. Fisika dengan hukum gravitasi, hukum kekekalan energi, dan lainnya, Ilmu Ekonomi dengan Hukum Gossen, juga hukum penawaran dan permintaan, dan ilmu manapun yang mencoba untuk merekonstruksi gagasan makna hukum bagi dirinya masing-masing. Tidak ada yang mampu menyatakan klaim kebenaran atas makna hukum yang paling hakiki dalam ranah ilmu pengetahuan hukum.

Idealita filsafat hukum meletakkan gagasan logika dan rasionalitas akal untuk menempatkan sebuah hakikat tertinggi atas makna ilmu hukum. Gagasan Newtonian dan Aristotelian, Comtenian yang meletakkan ide materi sebagai kebenaran utama ikut mewarnai pemaknaan-pemaknaan ontologi ilmu hukum. Ruang baru keilmuan hukum dengan masuknya gagasan-gagasan kepastian alam melahirkan ide dan prinsip-prinsip Kepastian Hukum. Hukum dinyatakan sebagai sarana yang mampu menjamin sebuah kepastian bagi gerak langkah peradaban manusia.

Ruang ilmu hukum dipenuhi oleh sederet logika, mengedepankan rasio, menekan seoptimal mungkin ide metafisika yang tak logis. Gagasan Newtonian, Aristotelian, hingga Positivisme Comtenian melandasi cara kita memandang dunia hukum. Ide materi, kewujudan, dan fisik hukum memang telah mampu mencipta proses modernisasi hukum, akan tetapi akankah modernitas itu juga mampu merubah persepsi atas wujud-wujud imateri? Tentu tidak, karena ada sesuai yang ada tetapi ia tetap tidak berubah: sistem keyakinan.

Filsafat hukum acapkali memberikan pernyataan-pernyataan bahwa keadilan adalah tujuan dari terbentuknya sebuah hukum. Jika keadilan adalah substansi yang menjadi jiwa dari hukum, maka hukum bukanlah semata berada dalam gagasan materi, tetapi ia berupaya untuk memasuki ranah imateri. Bagaimana mewujudkan keadilan ketika ia hanya dapat dirasakan tetapi tak bisa dijelaskan wujudnya? Disinilah muncul idealita pemikiran bahwa hukum bukan hanya menghadirkan logika melainkan juga intuisi, karena keadilan berupaya diletakkan ke dalamnya dan menjadi jiwa dari hukum itu sendiri.

Ranah filsafat hukum sejatinya tidak sekedar menjunjung tinggi ide rasionalitas akal dalam konsep-konsep paripatetik. Filsafat Hukum juga selayaknya menyentuh nalar ide intuisi sebagai bagian dalam komponen manusia. Filsafat Hukum juga sejatinya menyentuh nalar Ketuhanan (ilmul ahwal dan ilmul asrar), selain gerak rasio akal yang dinamis ia juga sebuah ruang ide spiritual yang menjadikan manusia sebagai makhluk sejati karena ia adalah hamba Tuhan, bukan hamba akalnya. 

Rahasia alam semesta ini begitu besar untuk dapat dijawab hanya dengan nalar logika, begitu banyak rahasia dan pertanyaan yang tak terjawab akal. Gerak alam semesta menjadi labirin yang memunculkan beragam pertanyaan (enigmatik) yang sangat besar. Keingintahuan akan sesuatu yang dinyatakan sebagai yang “ada” tidak dapat dijawab secara tuntas oleh logika akal. Gerak hukum keteraturan rangkaian kosmik masih sering melampaui nalar logika dan menimbulkan pertanyaan besar untuk dapat memuaskan keingintahuan manusia atas rahasia alam semesta.

Terdapat sebuah keniscayaan bahwa ada sesuatu yang lebih, melampaui (beyond) dari apa yang kita mampu tampung dalam nalar logika. Sebuah gerak alam semesta yang tak terbaca oleh pancaindera dan belum terjawab oleh pengetahuan manusia. Untuk itu maka nalar manusia tidak mungkin menolak ide imateri ruhani, karena kebenaran bukan hanya ide materi.

Jika kebenaran hanyalah ide materi, maka sepanjang perjalanan peradaban manusia, tak akan ada satupun manusia yang mengakui eksistensi Tuhan. Kehadiran bukan semata ditunjukkan dalam empirik wujud, melainkan juga dalam bekerjanya ide ruhani. Hukum bukan hanya gerak ide materi, ia pada hakikatnya juga menjadi gerak rangkaian kehendak Ilahiah untuk mampu menjadi wadah menampung substansi keadilan di dalamnya.

Apakah ide materi logika dan rasioonalitas sebagai struktur yang menguatkan dogmatika ilmu hukum perlu dihilangkan atau dijauhkan? Tentu saja tidak, dan tidak mungkin, tetapi sejatinya gagasan konstruksi ilmu hukum tidak berhenti hingga taraf logika. Ia harus terus dikembangkan dalam bangunan yang mampu menampung ide ruhani dalam keilmuan hukum. Hukum sebagai sarana untuk menampung eksistensi cahaya Tuhan yang berwujud keadilan, maka secara ideal ia harus melampaui gagasan ide materi. Logika menjadi pijakan awal untuk melangkah lebih jauh membangun sebuah ide keadilan Tuhan.

Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Qs. An-Nuur: 35)

Penulis adalah Dosen Tetap pada Program Magister Hukum Universitas Al Azhar Indonesia. Dosen tidak tetap pada Universitas Esa Unggul dan STKIP Arrahmaniyah. Co-Founder Forum Internalisasi Nilai-Nilai Kebangsaan. Founder dan Peneliti pada Islamadina Institute. 

Sumber : http://www.gardanews.my.id/2020/11/manusia-dan-manifestasi-rasionalitas.html?m=1