Tanpa kejernihan hidup yang bagaimana, manusia bisa berdamai dengan kematian ? Tak ada kebaikan yang tak berbalas, tak ada keburukan yang tak bersanksi. My wisdom goes over the sea of wild wisdom

18 Juni 2010

RUH ISLAM DI TATAR SUNDA

 Penulis : Hamdan Arfani


Menyoal pertanyaan di salah satu situs jejaring sosial : mengapa Sunda selalu dihubung-hubungkan dengan Islam ? Sebagian responden mengajukan pertanyaan sama dengan harapan memperoleh pencerahan, sebagian lagi yang menyebut dirinya Islam Hatter, pun dengan pertanyaan sama namun dengan nada sinisme yang kental !

Untuk fenomena Islam Hatter sendiri, kemunculannya mungkin disebabkan oleh rasa antipati yang memuncak menyaksikan begitu banyak orang Islam yang gagal menyelaraskan antara ucapan dan tindakan sehari-hari… lebih parah lagi bila orang Islam tersebut terlalu sering mengumbar kata ‘kafir’ yang sebetulnya tak terlalu dipahaminya. Atau digiring oleh kisah lampau bagaimana serbuan pasukan koalisi Demak-Cirebon-Banten yang ‘Islam’ menjadi sebab kehancuran Pajajaran dan sirnanya Prabu Siliwangi yang amat dikagumi dan dicintai oleh masyarakat Sunda… atau mungkin benar apa yang dikatakan Abdul Rozak dalam Teologi Kebatinan Sunda (2005) bahwa penjajah Belanda telah berhasil memendam kebesaran Sunda dan Islam sekaligus dengan mengadu domba antara pemeluk aliran-aliran kebatinan plus agama Sunda Wiwitan dengan kaum Muslimnya.


Kembali pada pertanyaan : mengapa Sunda selalu dihubung-hubungkan dengan Islam ? Sebetulnya topik hubungan Sunda dan Islam ini telah dibahas pada Musyawarah Masyarakat Sunda II tahun 1967 di Bandung. Dari musyawarah di Bandung itu muncul istilah Islam Sunda dan Sunda Islam, yang pertama menjelaskan ajaran Islam di Sunda, yang kedua menjelaskan tentang kaum muslimin di bumi Para Hyang tersebut. Tentang Sunda dan Islam, menarik disimak pendapat Ayat Rohaedi dalam makalah Sunda Islam, Islam Sunda (1996) bahwasanya sejak abad ke-19 jika orang berbicara mengenai masyarakat Sunda, maka salah satu ciri khasnya adalah Islam !

Pada makalah berjudul Sunda yang Menusantara, Ahmad Mansyur Suryanegara menyampaikan keheranannya. Bagaimana mungkin di wilayah yang katanya amat Hindu, yang disebut sebagai bumi Para Hyang, ternyata amat sedikit ditemukan candi yang menjadi ciri khasnya. Dan bagaimana pula awal ikhwal pakaian para perempuan Sunda yang relatif lebih tertutup auratnya sejak masa yang lampau sekali. Betapa banyak dataran tinggi di Nusantara, namun budaya air pancuran (untuk wudlu) yang biasa pada komunitas Islam ternyata paling semarak di tanah Sunda. Orang Sunda jaman dahulu pun biasa tidak membangun makam kecuali hanya diberi tanda batu, suatu hal yang dianjurkan Nabi kaum muslimin, Muhammad Saw. Sayang, Suryanegara tidak mampu menjawab kapan pastinya ajaran Islam masuk ke tatar Sunda.

Islam sebagai agama secara resmi dimulai sejak peristiwa haji terakhir Rasulullah Muhammad Saw di abad ke-8 Masehi. Namun Islam sebagai sebuah ajaran telah dimulai sejak Sang Manusia Pertama di muka bumi! Tentang masuknya Islam ke tatar Sunda, Islam sebagai ajaranlah yang tak mau dijawab oleh Suryanegara.

Berbagai catatan dan tutur turun-temurun mengenai masuknya Islam ke tanah Sunda diantaranya catatan perjalanan Tome Pires tahun 1512 yang mengatakan bahwa pada pesisir pantai di wilayah Sunda telah terdapat komunitas dan pedagang muslim. Catatan Hageman (1867) dalam Geschiedenis der Soendalanden menyebut Haji Purwa Galuh yang hidup pada tahun 1337 sebagai Muslim Sunda pertama yang pernah berhaji ke Mekkah. Informasi Hageman cocok dengan yang tertulis pada naskah Wangsakerta (naskah asli berangka tahun 1693), bahwasanya Haji Purwa yang hidup pada masa raja Ajiguna Lingga Wisesa (1333—1340) adalah haji pertama dari Sunda. Tentang masuknya Islam pada abad ke-14 ke tanah Sunda tidak mengejutkan, bahkan mungkin jauh sebelum masa itu mengingat telah ditemukannya makam Islam di Gresik atas nama Fatimah binti Maimun yang berangka tahun 1082 Masehi. Sebagaimana telah dimaklumi, pada jaman dahulu hubungan Jawa Timur dan Sunda amat akrab sebagaimana kenyataan bahwa terdapat prasasti bercorak Jawa Timur di jantung bekas kerajaan Galuh.

Cerita turun-temurun di wilayah gunung Galunggung, Tasikmalaya, menginformasikan hubungan Sunda – Islam yang lebih awal lagi. Wilayah puncak Galunggung dahulunya adalah makam ‘orang-orang besar’, diantaranya makam Panji Kudalarang atau Syeh Panata Gama. Beliau adalah wali yang menyatakan masuk Islam langsung di hadapan Rasulullah Muhammad Saw di Mekkah pada abad ke-8. Penuturan Anang Daryan Jayadikusumah, salah seorang keturunan Batara di Galunggung, lebih jauh lagi. Beliau meyakini bahwa sebagian penumpang bahtera Nuh as telah turun di Galunggung yang dahulunya adalah salah satu daratan yang tertinggi di Jawa. Bersamaan dengan merapatnya bahtera Nuh, ‘berlabuh’ pula ajaran Islam ke tatar Sunda sejak masa itu ! (http://hamdanarfani.blogspot.com)



1 komentar:

Silahkan tulis komentar pada space yang tersedia. Komentar akan muncul setelah disetujui Admin.