Sulit dipercaya, bagaimana mungkin justru Pemerintah turut mempertajam kesenjangan, menciptakan kastanisasi pendidikan melalui proyek Sekolah Berstandar Internasional (SBI)?  Bagaimana mungkin seorang calon siswa Pemenang olimpiade Sains akhirnya 'tereliminasi' hanya karena tak punya dana cash Rp. 5 juta ... Seleksi sekolah macam apa jika materi dijadikan point paling penting?  Ironi, justru kasus ini ada di sekolah-sekolah negeri !  
Seorang teman, yang kebetulan anak seorang Pahlawan,  berkisah :  beberapa waktu lalu putra sulungnya mengikuti ujian masuk sebuah sekolah berlabel RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional) dan dinyatakan lulus.  Namun terpaksa ‘tersingkir’ karena ‘dihadang’ oleh uang muka sebesar Rp. 5 juta.  Saya bertanya, mengapa tidak meminta kebijakan dari Kepala Sekolah?  Sudah mengupayakan, katanya, tapi tetap tidak bisa. Lha, kok bisa?
Saya jadi teringat celoteh seorang teman lainnya yang memplesetkan SBI (Sekolah Berstandar Internasional)  menjadi 'Sekolah Bertarif Internasional' … tarifnya internasional namun trayeknya tetap lokal... he..he..he...
Dari berbagai sumber saya mengetahui bahwa hingga tahun 2007 setidaknya terdapat 199 sekolah dengan label RSBI tersebar di 32 provinsi.  Jumlah terbanyak berada di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah, masing-masing berjumlah 33 sekolah.  Disusul oleh Jawa Timur sejumlah 21 sekolah, Yogyakarta sejumlah 11 sekolah, dan DKI Jakarta sejumlah 10 sekolah.  Jumlah 199 itu sebetulnya sudah melampaui target nasional yang termuat dalam Rencana Strategis Depdiknas 2005--2009,  yakni sejumlah 112 sekolah saja.  Bahkan jika meninjau kembali Pasal 50 UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sesungguhnya Pemerintah hanya menargetkan 1 (satu) sekolah berstandar internasional untuk tiap jenjang pendidikan !  Data terakhir hingga 2009, RSBI membengkak menjadi 874 sekolah, yang terdiri dari 320 SMA, 118 SMK, 300 SMP, dan 136 SD… fantastis !
Untuk penyelenggaraan RSBI, pemerintah memberikan dana sebesar Rp. 1—2 milyar kepada tiap sekolah RSBI, yang pencairannya diangsur menjadi Rp. 300—600 juta pertahun selama 3 hingga 5 tahun.  Uang sebesar itu seyogyanya digunakan untuk menyiapkan segala kebutuhan sebagai sekolah bertaraf internasional, misalnya peningkatan SDM guru, pemenuhan kebutuhan sarana-prasarana yang diperlukan dalam pembelajaran berkualitas, dsb.  Namun yang terjadi justru banyak ditemukan ‘belanja’ untuk hal-hal yang tidak produktif, misalnya akses internet unlimited, tour, dan mengadaan ruang ber-AC.  Apa urgensinya target standar internasional dengan ruang ber-AC?  
Dalih menyiapkan anak dalam kultur global dengan sekolah bertaraf internasional adalah salah.  Karena konsep RSBI sendiri sebetulnya belum jelas.  Kerena mendidik dalam kultur global tak terkait dengan standar internasional... apalagi standar beberapa sekolah yang ada di luar negeri yang (akan) menjadi 'sister school' SBI/RSBI tersebut.  Di negara-negara mapan dan matang, SBI/RSBI tak dibiarkan mengacaukan sistem pendidikan yang sudah ada.  Seharusnya justru pendidikan nasional menjadi bagian integral proses politik, kebudayaan, dan kultur sebuah bangsa.  
Saya khawatir, perkembangan SBI/RSBI saat ini malah destruktif, mengarah pada kastanisasi dan diskriminasi.  Akhirnya hanya anak orang-orang berduit yang bisa menikmati sekolah unggulan milik negara, terlepas ia pandai atau kurang pandai.  Hal ini bertentangan dengan tujuan penyelenggaraan negara karena seharusnya justru Pemerintah memberikan peluang yang sebesar-besarnya kepada masyarakat miskin untuk mendapatkan pendidikan yang terbaik.  Apalagi sudah lama diyakini bahwa pendidikan adalah mata pisau yang ampuh untuk memutus rantai kemiskinan.
Bukankah dulu Pemerintah selalu menggembar-gemborkan bahwa sekolah ‘warna-warni’ akan menjadi persemaian lahirnya generasi penuh empati?  Perlu diketahui, saat ini Indonesia adalah negara dengan jumlah mobil mewah terbanyak di Asia, tapi memiliki jumlah anak putus sekolah tertinggi pula.  Ini berarti kesenjangan telah terpaut jauh, kepedulian pada sesama nyaris tak nampak lagi. Janganlah ketidakadilan diperlebar hingga ke dunia  pendidikan !
Turut prihatin atas matinya rasa keadilan para elit bangsa ini dan selamat datang pada bom waktu kehancuran generasi mendatang
BalasHapusGuru dituntut sempurna tp dibayar lebih rendah dari tukang. Tuk Mr. salam thanks atas komen-nya, semoga kontribusi Anda di Hamdan Arfani.com bs menambah semarak.
BalasHapus