Berbangsa adalah fitrahnya manusia. Bangsa-bangsa pada masa awal dipimpin oleh para nabi, kemudian oleh para raja, barulah diera belakang banyak bangsa menganut republik, dipimpin oleh seseorang yang dipilih secara periodik.
![]()  | 
| Jusuf Hamka bersama para pegiat pendidikan, beliau menitipkan pesan pluralisme nasionalisme | 
Pada awalnya tugas pemimpin hanyalah menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat. Raja Hammurabi dari Babilon (Bab = gerbang, El = Tuhan; sekarang adalah Irak-Iran) dan Nabi Musa adalah pemimpin-pemimpin terawal yang warisan "peraturan" nya bisa diakses dunia modern. Aturan dibuat untuk menjaga keamanan dan ketertiban sosial, serta menjamin hak-hak asasi perseorangan sebagai manusia yang merdeka, dalam beraktifitas dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemimpin beserta pemerintahannya belum mengurusi perekonomian, pendidikan, dsb. Keamanan dan ketertiban yang terjamin akan memunculkan kegiatan ekonomi, kegiatan budaya, dan kegiatan sosial lainnya secara alami dan sehat.
Masuk dan berkuasanya imperialis di Nusantara pada abad ke-17 hingga 20, melahirkan kesadaran berbangsa yang baru terutama sejak 28 Oktober 1928 di kalangan pemuda. Konsep-konsep bangsa-negara teramu sedikit demi sedikit hingga bentuk bakunya yang diresmikan pada 18 Agustus 1945 dalam bentuk Pancasila dan UUD 1945. Pancasila menjadi dasar bagi negara yang baru berdiri, yaitu negara Republik Indonesia (RI).
Sebagai dasar negara, Pancasila adalah gambaran umum tentang negara RI, tentang spirit bangsanya (manusianya), tentang caranya berbangsa (berkehidupan sosial), dan tentang tujuan bangsa-negara yang hendak dicapai.
Gambaran tentang bangsa Indonesia terdapat dalam sila ke-1 (spiritualis) dan ke-2 (humanis), yang menganut keseimbangan Ketuhanan (habluminallah) dan kemanusiaan (habluminannas). Citra diri bangsa Indonesia yang spiritualis-humanis adalah citra diri paling luhur yang disarikan dari penghayatan mendalam para intelektual, para cerdik cendekia yang bijaksana, dan para kyai pada kebudayaan asli dan ajaran agama, harus terus dijaga jangan sampai luntur. Sila ke-1 dan ke-2 adalah ontologinya Pancasila.
Para pendiri bangsa-negara RI merumuskan bahwa berdasar karakteristiknya, cara berbangsa yang paling esensial agar tujuan bangsa-negara tercapai adalah dengan menjaga PERSATUAN (ukhuwah) dan menyelesaikan segala urusan melalui demokrasi MUSYAWARAH mufakat. Dua hal ini, persatuan dan musyawarah, adalah syarat dan tiket suksesnya berbangsa dan bernegara. Maka gangguan pada dua hal ini berarti gangguan pada segala aspek kehidupan kita. Persatuan dan musyawarah tercantum dalam sila ke-3 dan ke-4, sebagai epistemologinya Pancasila.
Bung Karno memandang Pancasila dari perspektif epistemologi yang jika diperas menjadi GOTONG-ROYONG sebagai frasa yang mewakili makna dari persatuan dan demokrasi. Gotong-royong menjanjikan kesuksesan besar bagi bangsa dan negara Indonesia. Menghidupkan gotong-royong (kesetiakawanan nasional) adalah amal sholeh paling tinggi nilainya dalam ajaran Islam yang Bung Karno anut.
Penulis :
Hamdan A Batara


