Sering kita jumpai perdebatan bahkan pertengkaran tentang agama (Islam). Semua yang bertengkar tentang agama sejatinya bukanlah ulama, bahkan sebetulnya tidak layak menyandang gelar ustadz, guru, mualim, apalagi kyai. Semua yang bertengkar itu adalah masyarakat awam yang belum tercerahkan.
Perbedaan pendapat
ulama adalah rahmat, karena perbedaan itu adalah solusi dari persoalan umat pada
waktu dan tempatnya masing-masing yang merupakan buah dari kebijaksanaan. Pendapat
mana saja boleh dipilih oleh umat sesuai situasi dan kondisinya
masing-masing.  Sejarah mencatat imam
Hanafi, imam Maliki, imam Syai’i, dan imam Hambali, mereka adalah ulama fiqh
(hukum islam) paling terkemuka di dunia yang memberi ajaran khasnya (mazhab) masing-masing,
beberapa diantaranya hidup sejaman dan berinteraksi secara langsung namun tidak
ada catatan pertengkaran, justru yang tercatat adalah kisah toleransi dan
keguyupannya. Empat imam mazhab telah meneladani bagaimana mensikapi perbedaan,
namun tidak dicontoh oleh sebagian pengikutnya saat ini.
Toleransi yang
diteladani para ulama terkemuka di atas bukan saja cerminan adab dan akhlak
mulia, namun juga didasari ilmu yang berdasar kisah Nabi Muhammad Saw. Ketika
Rasulullah Saw mengutus Muadz bin Jabal sebagai hakim yang mendakwahkan Islam
ke Yaman, Rasulullah bertanya, “Bagaimana jika kamu tidak mendapatkan jawaban
dalam al Quran dan Sunnah?, Muadz menjawab, ”Aku akan berijtihad” (Hadits
Bukhori no.4341-4342). Jawaban Muadz ini melegakan hati Rasulullah Saw. Muadz
bin Jabal menjalankan fungsi ulama mewakili Rasulullah Saw dengan  memiliki otoritas keilmuan. Otoritas keilmuan
inilah yang menjadi dasar logika para imam mashab dan ulama sebelum serta setelahnya
bersikap dan berperilaku penuh toleransi, saling menghormati, dan guyup-rukun
dalam kebhinekaan pemahaman. Kepada Muadz bin Jabal, lebih lanjut Rasulullah
Saw juga berpesan hal yang sangat prinsipil, diantaranya  mempermudah tidak mempersulit, tidak
menakut-nakuti, dan senantiasa memperbaiki aqidah.
Kini 14 abad
setelah Rasulullah Saw wafat, ulama adalah pewaris sekaligus penerus dakwah
Nabi. Dalam dakwahnya ulama telah diberi otoritas untuk berijtihad berdasar
ilmu dan kebijaksanaannya, yang berarti pula dengan demikian sangat dimaklumi
jika semakin banyak perbedaan pendapat sehubungan dengan agama. Umat yang awam
tidak perlu repot mengomentari negatif apalagi mendebat pendapat ulama, umat
bisa memilih solusi ulama yang mana yang akan dipilih untuk diikuti sesuai
situasi dan kondisinya masing-masing. Semakin banyak pendapat sebetulnya
semakin memudahkan umat, inilah yang disebut rahmat.
Pemahaman agama
ini sangat beragam. Ada perbedaan aqidah (akal, pemikiran, konsep), berbeda
akidah tidak menyebabkan seseorang kafir, namun Rasulullah berpesan untuk tidak
henti belajar untuk terus memperbaiki akidah. Ada perbedaan dalam menjalankan
syariat seperti tata cara sholat dan bacaannya, seperti yang kerap dikorek oleh
kaum orientalis antara sunni dan
syiah.  Ada pula perbedaan dalam tata
cara bermuamalah, berpakaian, dan banyak lagi, seperti dalam pengelolaan
keuangan, soal jilbab, soal cadar, soal qurban, dan seterusnya. Dengan memahami
otoritas ulama, semoga umat bisa meneladani toleransi dan saling menghormati
yang telah dicontohkan ulama. Ulama itu tercermin dalam ilmu dan akhlaknya yang
mulia, tidak ada ulama yang bertengkar.    ()HamdanaBatarawangsa
