Tanpa kejernihan hidup yang bagaimana, manusia bisa berdamai dengan kematian ? Tak ada kebaikan yang tak berbalas, tak ada keburukan yang tak bersanksi. My wisdom goes over the sea of wild wisdom

20 Agustus 2021

Hoax Tentang Syiah

Di era informasi ini, mereka yang selamat dari hoax adalah yang mau ber-literasi, mau melakukan cek n ricek informasi ...

Ketika Presiden Iran, Ahmadinejad, berkunjung ke Indonesia, Presiden SBY dan seluruh ormas Islam menyambut dengan antusias sebagai saudara seiman (berita dan konf. pers dengan ormas Islam disiarkan televisi), saat itu belum ada yang menuduh syiah itu kafir atau sesat seperti saat ini, meski dikotomi sunni-syiah sudah lama digemborkan penulis-penulis barat. Seingat saya, gencarnya hoax/fitnah kepada syiah (yang identik dengan Iran) itu bermula sejak Indonesia mengimport BBM dari Iran dan bukan dari AS, disaat hubungan Iran-AS sedang memanas tahun 2012-an.

Sejauh ini, organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah tidak pernah mengeluarkan maklumat syiah sebagai ajaran sesat apalagi kafir. Bukan menuduh, tapi AS memang diuntungkan dengan hoax ini.

Berikut di bawah ini saya tampilkan hasil wawancara ABNA dan tokoh Muhammadiyah, Dr. Abdurrahim Razak :

Menurut Kantor Berita ABNA, tokoh Muhammadiyah Sulawesi Selatan DR. Abdurrahim Razak, M.Pd dalam Bincang Sore dan Temu Kader Muhammadiyah Mesir Sabtu (9/9) mengatakan, “Muhammadiyah sampai saat ini tidak pernah memutuskan lewat Majelis Tarjih bahwa Syiah adalah sesat dan kafir, baik dari KH. Ahmad Dahlan hingga Din Syamsuddin. Yang ada adalah person warga Muhammadiyah yang kadang mengatasnamakan Muhammadiyah.” 

Dosen Universitas Muhammadiyah Makassar tersebut menjadi pembicara dalam acara yang diadakan Pimpinan Cabang Istimewa (PCI) Muhammadiyah Mesir di Markas Dakwah PCIM di kota Kairo Mesir dengan tema yang dibawakan “Iran dan Syiah: Antara Berita dan Fakta”.

Menurut cendekiawan muslim Makassar tersebut banyak berita hoax yang tersebar di tanah air mengenai Iran dan Syiah yang tidak sesuai fakta yang dilihatnya. DR. Abdurrahim Razak sendiri melalui penjelasannya menceritakan pernah ke Iran dan mengunjungi beberapa kota besar di negeri para Mulla tersebut diantaranya di Tehran, Qom, Masyhad dan Esfahan. “Saya melakukan kunjungan akademik ke Iran pada tahun 2011. Selama kurang lebih sebulan untuk mengikuti short course untuk penelitian mengenai Tafsir al-Mizan. Saya mengunjungi sejumlah kota besar di Iran, seperti Tehran, Qom, Masyhad dan Esfahan. Banyak fakta yang saya temukan yang justru berbeda dengan banyak informasi yang tersebar sebelumnya di tanah air mengenai Iran dan Syiah, terutama sejumlah tuduhan tendensius dari beberapa dosen universitas di Makassar maupun dari cerita salah seorang dosen Arab Saudi dalam lawatannya ke Makassar.”

“Misalnya diantara tuduhan tersebut adalah adanya surah yang telah diubah, atau tuduhan mengenai Iran memiliki Alquran 40 juz. Itu semua adalah fitnah sebab kenyataannya tidak seperti itu. Syiah sering dituding mengkafirkan khalifah selain Sayidina Ali, dan saya temukan tidak seperti itu. Saya selama hampir sebulan turut salat berjamaah dan mendengarkan ceramah-ceramah mereka di masjid, termasuk khutbah Jumat, dan tidak ada ungkapan celaan sedikitpun pada ketiga khalifah.” Tambahnya. 

DR. Abdurrahim Razak lebih lanjut menambahkan, “Fitnah yang paling sering diulang-ulang mengenai Iran dan Syiah adalah di kota Qom kotor dengan aborsi karena praktik Mut’ah, ternyata bicara dengan perempuan Iran di Qom saja susah dan tidak bisa. Naik bus umum saja, tempat duduk penumpang laki-laki dan perempuan terpisah. Dan tidak ada satu orang perempuan dewasa  di Qom yang tidak mengenakan jilbab. Bahkan saya menilainya, apa yang saya lihat di kota Qom justru lebih Islami dari Indonesia.” 

Mengenai buku MUI tentang mewaspadai Syiah ataupun fatwa MUI Jatim mengenai kekafiran Syiah ditanggapi ulama Sul-Sel tersebut dengan mengatakan, “Buku tersebut adalah inisiatif sejumlah pengurus MUI dan bukan resmi dikeluarkan oleh MUI Pusat. Peristiwa pengusiran warga Syiah di Sampang itu juga kasus pribadi lalu membawa-bawa urusan mazhab dengan intrik politik yang sangat kental. Sudah cukup bagi kita Deklarasi Ulama Islam se-Dunia di kota Amman Yordania bahwa Syiah Zaidiyah dan Syiah Imamiyah yang berkembang di Iran diakui dunia Islam.”

“Muhammadiyah sampai saat ini tidak pernah memutuskan lewat Majelis Tarjih bahwa Syiah adalah sesat dan kafir, baik dari KH. Ahmad Dahlan hingga Din Syamsuddin. Yang ada adalah person warga Muhammadiyah yang kadang mengatasnamakan Muhammadiyah.” Tambahnya.

“Merebaknya isu-isu ikhtilaf khususnya antara Sunni dan Syiah yang belakangan ini berkembang, sedikit banyaknya merupakan efek konflik di Timur Tengah yang makin memanas. Amerika Serikat dan gerakan Zionis Internasional mengambil keuntungan dari perseteruan dan  perpecahan di tubuh umat Islam. Lihat saja, ketika kita sesama muslim sibuk saling mengkafirkan nasib Palestina menjadi terabaikan. Sekarang ditambah lagi dengan keterzaliman yang dialami muslim Rohignya di Myanmar. Persatuan Islam adalah kekuatan dan senjata besar. Itu yang ditakuti musuh-musuh Islam.” Tutup alumni Darul Arqam Gombara Makassar tersebut.

Turut menyampaikan materi diskusi dalam Bincang Sore dan Temu Kader Muhammadiyah Mesir tersebut, DR. Zamzam Nur Huda, M.Hum aktivis Muhammadiyah dari Universitas Pamulang Tangerang yang membawakan materi “Dunia Akademisi di Indonesia dan Peluang Beasiswa”. 

Disebutkan kedatangan kedua tokoh Muhammadiyah tersebut ke Kairo Mesir merupakan program Menristek SDM DIKTI untuk pengembangan dosen dan tenaga pengajar di Perguruan Tinggi Umum Negeri dan Swasta khususnya untuk dosen Pendidikan Agama Islam. Bersama dalam rombongan 17 dosen mewakili 12 Perguruan Tinggi Umum Negeri dan Swasta diantaranya dari UNISMUH Makassar 2 orang, ITB 2 orang, UPI Bandung 4 orang, UNI Malang 2 orang, UIN Jambi, Unesa Bandung, Al-Azhar Jakarta dan Surabaya, UII Jogja, UIM Malang masing-masing 1 orang, yang kesemuanya bertitel doktor.

Program tersebut berlangsung selama satu bulan dari tanggal 17 Agustus sampai 18 September 2017. Selain mengikuti short course, delegasi para dosen juga dijadwalkan melakukan kunjungan kebeberapa tempat bersejarah di kota Kairo seperti di Matrusiwa, gunung Sinai tempat Nabi Musa as menerima wahyu, ziarah ke makam Sayid Ahmad Mutawally Sya'rawy ulama Mesir dari silsilah Ahlulbait dan tempat bersejarah lainnya. 

Sumber : https://id.abna24.com/news/berita-indonesia/banyak-berita-dan-informasi-mengenai-iran-dan-syiah-itu-hoax_853703.html

Menurut saya tidak ada dikotomi SUNNI-SYIAH, yang ada hanya ISLAM.  NU dan Muhammadiyah tidak pernah menuding syiah sesat dan kafir, lalu siapakah ?

11 Agustus 2021

MUSLIM TANPA MAZHAB, MUSLIM MULTI MAZHAB

Senang sekali mendengar bahwa perbedaan adalah rahmat, dengan catatan, jika perbedaan itu dipelopori atau disponsori oleh orang yang terpercaya dibidangnya. Sebagai seorang muslim, saya menghormati dan tidak alergi dengan perbedaan-perbedaan fiqh yang berasal dari ulama-ulama terpercaya seperti imam Hanafi, imam Maliki, imam Syafii, imam Hanbali, imam Ja'far ash Shadiq, imam Musa al Kadzim, imam Muhammad al Baqir, dan lain-lain.


Imam Syafii berbeda pendapat dalam beberapa urusan fiqh dengan gurunya : imam Malik dan imam Hanafi. Baik imam Maliki maupun imam Hanafi, keduanya ridla dan menghormati perbedaan pendapat dari muridnya itu. Perbedaan pendapat diantara ulama adalah rahmat, karena semua pendapat itu benar sesuai situasi dan kondisi tempat dan jamannya masing-masing. Seorang muslim bebas memilih pendapat ulama / imam mana yang akan diikuti untuk masalah tertentu, dan tidak perlu fanatik mengikuti hanya pendapat satu imam saja untuk segala urusan. Tiap tempat, tiap jaman, dan tiap komunitas, bahkan setiap individu, memiliki situasi dan kondisi yang tidak selalu sama.

Ketika Rasulullah Saw. hidup, masalah fiqh mengikuti apa yang dikatakan Rasul. Rasul berpesan, sepeninggalnya, kaum muslimin berpedoman pada al Qur'an dan Hadits. Berpedoman dengan al Qur'an dan Hadits adalah dengan cara mematuhi orang-orang yang paling faham tentangnya, yaitu para Tabi'in (sahabat Rasul),Tabitabi'in (generasi setelah sahabat), dan ulama. Para imam, baik imam besar sunni maupun syiah, adalah termasuk kelompok ulama. Ulama-ulama terpercaya di jaman sekarang adalah pewaris dari ulama-ulama terdahulu.

Pada era Rasulullah Saw., al Qur'an dengan wujud seperti yang ada sekarang, belum ada. Pada jaman itu potongan-potongan firman Allah tertulis di batu-batu, kulit, pelepah pohon, dan dalam hafalan beberapa orang. Rasulullah Saw. tidak pernah memerintahkan menjilidnya menjadi berbentuk buku seperti sekarang.  Ialah Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan yang memerintahkan ditulisnya dan disusunnya firman-firman Allah menjadi sebuah buku yang sekarang kita kenal sebagai al Qur'an mushaf Utsmani. Perintah penyusunan al Qur'an tidak ada dalam hadits Nabi, tapi Nabi memerintahkan untuk mengikuti pendapat para sahabat dan ulama terpercaya sepeninggalnya.

Selain al Qur'an, beberapa hal yang tidak ada di hadits tapi dilakukan para sahabat, tabi'in, tabitabi'in, dan ulama setelahnya diantaranya : penghentian pemberian rampasan perang kepada muallaf oleh Umar bin Khattab, adanya adzan jumat sebanyak dua kali, adanya wirid setelah sholat, adanya doa qunut saat shalat fardu, dan banyak lagi. Doa qunut pertama kalinya dipraktikkan Rasulullah Saw. dibacakan saat shalat fardu adalah pada tahun 4 Hijriyah, dimana kala itu kaum muslimin mendapat musibah wafatnya 70an orang penghafal Qur'an. Qunut yang pernah dipraktikkan Rasulullah Saw kemudian menjadi sering dibacakan pula saat shalat shubuh.

Ketika Rasulullah akan mengutus Muadz ke suatu tempat, Nabi bertanya kepada Muadz, “Bagaimana engkau bersikap jika diajukan kepadamu permintaan menetapkan hukum?”. Muadz pun menjawab, “Aku memutuskan berdasarkan Kitabullah,”.

Nabi bertanya lagi, “Kalau engkau tak temukan dalam Kitabullah?”. Muadz menjawab, “Dengan sunah Rasulullah,”. 

Nabi kembali bertanya, "Kalau tidak ada dalam sunah Rasulullah ?”. Muadz dengan tegas menjawab,  “Aku mencurahkan daya sekuat mungkin/berijtihad,”.

Mendengar jawaban mantap seperti itu dari Muadz, Nabi kemudian bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah menuju apa yang diridhai oleh Rasulullah,”.

Inilah prinsip pokok dalam fiqh, dimana ulama memiliki hak istimewa dalam melakukan ijtihad dan fatwa, seperti yang telah dilakukan Muadz, para Sahabat Nabi, Tabi'in, Tabitabi'in, dan ulama-ulama selanjutnya.

Kembali Kepada Qur'an dan Hadits

Kembali kepada Qur'an dan Hadits tidak boleh mengabaikan hikmah dari percakapan Rasulullah Saw. dengan Muadz, dan ijtihad para Sahabat dan ulama. Kembali kepada Qur'an dan Hadits terutama meyangkut akidah dan akhlak-adab, karena bersifat esensi dan fundamental. Jika menyangkut fiqh, sifat fiqh adalah relatif, maka harus merujuk pada ulama yang terpercaya ilmu dan akhlaknya, sebagai pewaris Nabi. 

Satu hal yang harus disadari, bahwa perbedaan pendapat antar imam/ ulama adalah sunatullah, semuanya benar, jadi tidak boleh menyalahkan salah satunya : menuduh sesat, menuduh menyimpang, bahkan menuduh kafir hanya karena perbedaan fiqh adalah konyol. Ketidakdasaran akan sunatullah ini sangat naif, dan berdampak kerusakan ukhuwah islamiyah. Apa yang dilakukan  Muhammad  bin Abdul Wahab bin Sulaiman at-Tamimi (Wahabi) tahun 1700an masih dirasakan kerusakannya hingga saat ini. Diperparah lagi oleh sebaran berita bohong dan fitnah kepada salah satu kelompok mazhab.

Muslim Tanpa Mazhab

Tanpa mazhab disini bukanlah dalam arti yang sebenarnya, justru berarti sebaliknya : MULTI MAZHAB, maksudnya adalah bersikap terbuka dan maklum, bahkan bersyukur dengan keanekaragaman faham ulama sebagai alternatif yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi, tidak fanatik hanya mengikuti satu imam/ulama saja untuk segala hal. Ada kalanya, untuk urusan shalat pendapat imam / ulama A lebih cocok dengan situasi dan kondisi.  Ada kalanya pula untuk urusan berpakaian pendapat imam B yang lebih cocok. Semua pendapat imam /ulama terpercaya adalah benar, tidak berdosa mengikuti pendapat yang mana saja dari mereka. 

Kita harus berterima kasih kepada para ulama terutama para imam terdahulu yang menulis sekian banyak buku sehingga menjadi rujukan umat sedunia, yang pendapatnya kemudian dijadikan mazhab-mazhab dalam islam.  

Mazhab-mazhab hanyalah sumbangan pendapat briliyan, yang semuanya adalah benar. Pada akhirnya kembali kepada diri kita sendiri yang menjalani hidup : memilih dan memilah sumbangan pendapat para imam/ulama untuk diaplikasikan secara situasional sesuai kondisi masing-masing. 

Penulis : Bataragema.

----------------