Tanpa kejernihan hidup yang bagaimana, manusia bisa berdamai dengan kematian ? Tak ada kebaikan yang tak berbalas, tak ada keburukan yang tak bersanksi. My wisdom goes over the sea of wild wisdom

07 November 2011

CUMA ISLAM RITUAL, BUAT APA ?


Penulis : Hamdan Arfani






Cendekiawan Muslim terkenal, mendiang Muhammad Abduh, pernah berkata, “Saya lebih melihat Islam di Eropa, tetapi kalau orang Islam (Muslim) lebih banyak di dunia Arab.

Menarik sekali tulisan Prof. Komaruddin Hidayat di Harian Kompas 5 Nopember 2011 dengan judul Keislaman Indonesia. Pada tulisan tersebut, Komaruddin Hidayat melaporkan hasil penelitian Hossein Askari dan Scheherazade Rehman yang dipublikasikan dalam Global Economy Journal (Berkeley Electronic Press, 2010). Penelitian Askari dan Rehman yang dikutip Komaruddin Hidayat tersebut bertujuan mengetahui seberapa jauh ajaran Islam dipahami dan memengaruhi perilaku masyarakat muslim (How Islamic are Islamic Countries).

Hasil penelitian yang dilaporkan dalam jurnal penelitian itu sangat memprihatinkan, meski, jujur saja, sudah saya duga sebelumnya : keislaman masyarakat dari 56 negara OKI (organisasi kerjasama Islam, termasuk Indonsia) jauh berada dibawah negara-negara Eropa yang mayoritas non muslim !

Senada dengan Komaruddin Hidayat, saya yakin Indonesia akan menempati urutan pertama kalau saja indikator penelitian ditekankan pada aspek ritual individual. Betapa tidak, 20 stasiun TV menayangkan ceramah Islam setiap hari, pengajian (entah harian, mingguan, bulanan) marak dimana-mana, sekolah-sekolah berlabel Islam seperti jamur di musim hujan, peringatan agama seperti Maulid Nabi dan Qurban merambah hingga kantor dan sekolah dan bukan lagi dominasi masjid dan musholla. Belum lagi di bulan Ramadlan … luar biasa.

Tapi seribu satu macam ritual yang semarak di Indonesia tidak berimbas pada kehidupan sehari-hari. Raport buruk kita (muslim) terutama pada kualitas hubungan pada sesama (yang masih kental dengan pamrih; ade maunye-Red), sistem ekonomi yang tak berpihak pada orang miskin, keadilan politik dan keadilan sosial yang tak mampu ditegakkan, pemerintahan yang makin digerogoti koncoisme dan nepotisme … dll. Justru, aktualisasi macam inilah yang menjadi indikator penelitian Askari dan Rehman di atas. Barangkali Pembaca ada yang penasaran dengan rincian hasil penelitian Askari dan Rehman, berikut seperti yang ditulis Komaruddin Hidayat dalam Harian Kompas (5 Nopember 2011) : 1. Negara peringkat ke-1 (kualitas keberislaman paling tinggi) adalah Selandia Baru. 2. Negara-negara Barat yang mendekati nilai- nilai Islam adalah Kanada (ke-7), Inggris (ke-8), Australia (ke-9), Amerika Serikat (ke-25). 3. Keberislaman negara-negara OKI rata-rata berada diperingkat ke-139. 4. Negara anggota OKI yang mendapat peringkat tertinggi adalah Malaysia (ke-38), Kuwait (ke-48), Uni Emirat Arab (ke-66), Maroko (ke-119), Arab Saudi (ke-131), Indonesia (ke-140), Pakistan (ke-147), Yaman (ke-198) dan Somalia (206).

Perlu diketahui, laporan Askari dan Rehman di atas dimuat pada sebuah jurnal penelitian. Pada penelitian ilmiah, jurnal penelitian memiliki mutu di atas makalah ilmiah, bahkan jauh di atas buku-buku bacaan dan majalah ilmiah. Pembaca boleh saja tidak percaya, dan sangat baik jika melakukan penelitian serupa untuk menguatkan atau membatalkan hasil penelitian Askari dan Rehman. Namun, tak kalah menarik, jika penelitian serupa dilakukan pada lembaga-lembaga berlabel ‘islam’ di Indonesia, seperti partai-parai Islam, institusi-institusi Islam bahkan sekolah-sekolah Islam yang mendidik anak-anak kita. Yah, kalau cuma Islam ritual, buat apa ?

Sumber gambar : forzarafi.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis komentar pada space yang tersedia. Komentar akan muncul setelah disetujui Admin.