Tanpa kejernihan hidup yang bagaimana, manusia bisa berdamai dengan kematian ? Tak ada kebaikan yang tak berbalas, tak ada keburukan yang tak bersanksi. My wisdom goes over the sea of wild wisdom

23 April 2010

GENERASI MUDA : BERKAH ATAU KUTUKAN



Benarkah hukum entropi – kecenderungan pada kehancuran – berlaku pada masyarakat ? Mengapa kehidupan, dari waktu ke waktu, tidak jua mengarah pada keteraturan dan kenyamanan, malah semakin semrawut dan memprihatinkan ? Benarkah ungkapan Tofler bahwa kita hidup dalam smell of dying civillization, masyarakat yang sekarat ?

Katanya dulu Nusantara sebuah negeri yang aman makmur, tapi sekarang setiap diri selalu dalam ancaman dan kegelisahan. Tiap orang sakit tak mampu mendapatkan pelayanan medik yang layak karena biaya rumah sakit dan kemampuan finansial dompleng seperti langit dan bumi, wong cilik tak boleh sakit, karena jika sakit berarti mati. Tiap Orang Tua selalu was-was dari waktu ke waktu memikirkan biaya sekolah dan kuliah yang membubung. Para pemuda hingga sirna kemudaannya dalam mimpi kemudahan mendapat lahan kerja yang layak bagi dirinya.

Tiap lima tahun masyarakat antusias memberi suara dalam Pemilu dengan harapan besar adanya perbaikan kehidupan mereka, tapi perbaikan tak kunjung datang. Entah tak cukup pandai atau tak cukup bermoral sehingga kerja para ’wakil rakyat’ tak berpengaruh apa-apa bagi masyarakat. Pun demikian dengan para aparatur negara. Hanya sebagian yang sadar akan tanggung jawabnya sebagai ’pelayan’ publik. Sisanya hanya menghabiskan waktu dengan korupsi, baik korupsi uang maupun waktu. Ajaibnya, oknum aparatur yang korup itu seperti dimuliabiakan, semakin banyak jumlahnya dan semakin merusak ulahnya. Masih banyak pemuda di negeri ini yang lebih cerdas, lebih rajin, lebih bertanggung jawab, lebih sehat serta kuat lahir batinnya, lebih siap mentalnya, dan lebih ikhlas niatnya melayani kepentingan umum ... sangat siap menggantikan aparat yang tak pro rakyat itu !

Dunia hukum pun luar biasa rusaknya. Penjahat bisa jadi pahlawan dan pahlawan menjadi orang pesakitan. Oknum penegak hukum sudah kelewat batas kemaruknya hingga orang awampun tahu kerakusannya. Profesi yang awalnya amat dihormati jadi rusak karenanya. Masyarakat makin hilang kepercayaannya kepada hukum.

Ghazali, seorang ulama klasik pernah menulis dalam salah satu bukunya bahwa rusaknya rakyat disebabkan rusaknya para pemimpin, dan rusaknya para pemimpin disebabkan rusaknya para ulama. Ulama semoga tetap kokoh dengan integritas moralnya, dan masyarakat semoga makin cerdas membedakan mana ulama sejati dan mana komedian berlabel ulama. Masyarakat dan penguasa bukan cuma butuh hiburan, namun juga butuh pendidikan dari ulama.

Menyimak perkembangan situasi di negeri ini, tak heran dari waktu ke waktu masyarakat makin suka turun ke jalan, dan makin sering menunjukkan kebringasannya. Rakyat sudah frustasi. Barangkali kini yang dinanti hanya revolusi !

Generasi Muda : Berkah atau Kutukan ?

Mengapa alangkah sulitnya memperbaiki benang kusut di negeri ini, bahkan tak tersedia satu ’gunting’ pun yang bisa memangkas kesemrawutan tersebut. Memang, semua rahwana dan kurawa si perusak adalah manusia jua yang tak lestari dimakan usia. Kelak mereka semua akan mati, berakhir sepak terjangnya dan digantikan generasi yang lebih muda. Maka harapan masa depan yang cerahpun tertuju pada generasi muda.

Tapi generasi mudapun bukan tanpa masalah. Sebagian remaja dan pemuda negeri ini dibesarkan oleh Orang Tua yang tak optimal mendidik mereka karena terlalu banyaknya waktu dan tenaga yang tersita untuk kerja mencari nafkah sehari-hari. Proporsi pendidikan yang selayaknya didominasi oleh orang tua akhirnya terdistribusi lebih besar ke sekolah dan lingkungan pergaulan. Pendidikan orang tua di rumah yang sudah minim itupun makin tergantikan oleh televisi. Televisi, bahkan dikatakan oleh Jalaluddin Rakhmat semacam ’agama’ baru yang amat efektif !

Keadaan diperparah lagi apabila orang tua tak punya cukup pengetahuan cara mendidik yang tepat, hubungan kedua orang tua yang tak harmonis, dan tauladan yang kurang. Di sekolah, guru gagal menekan kebiasaan mencontek dan plagiat, gagal membangun budaya sekolah serta etos yang unggul, atau lebih parah lagi apabila di sekolah justru hidup budaya komersil terselubung yang merusak mental peserta didik. Keadaan juga semakin parah jika kaum muda merasa sangat nyaman di lingkungan pergaulan yang tak terkontrol dengan baik oleh siapapun, termasuk oleh masyarakat sekitar. Umumnya semua orang percaya bahwa dari lingkungan pergaulan yang tak terkontrol inilah pengrusakan ’anak muda’ berpangkal. Baik pengrusakan fisik oleh miras, rokok, dan narkoba, maupun pengrusakan mental seperti standar etika dan etiket yang rendah, pandangan hidup yang materialistik, gaya hidup yang hedonis, dan partisipasi sosial yang minim.

Ada sebuah hipotesa yang menyatakan bahwa untuk menghancurkan sebuah masyarakat, bahkan negara, adalah cukup dengan menghancurkan generasi mudanya. Nampaknya, proses penghancuran, disadari atau tidak, sedang terjadi pada generasi muda kita.

Jika generasi tua gagal membangun peradaban dan malah menimbulkan masalah di masa kini dan masa depan, maka harapan perbaikan ada pada generasi muda. Tapi jika generasi muda kini disia-siakan, jika generasi tua tak serius mempedulikan generasi di bawahnya, jika generasi tua yang gagal harus gagal pula mendidik anak-anaknya, lengkaplah sudah kebobrokan kita... dan generasi muda kelak akan menjadi 'bom waktu' yang punya daya ledak melampaui tetuanya.

Hendaknya setiap 'orang tua' lebih serius mendidik generasi mudanya agar kelak mereka bisa menjadi berkah bagi kemanusiaan dan bukan sebagai kutukan !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis komentar pada space yang tersedia. Komentar akan muncul setelah disetujui Admin.