Tanpa kejernihan hidup yang bagaimana, manusia bisa berdamai dengan kematian ? Tak ada kebaikan yang tak berbalas, tak ada keburukan yang tak bersanksi. My wisdom goes over the sea of wild wisdom

30 November 2009

Haji dan Qurban: Belajar Spiritualisme Ibrahim


Hari Raya Idul Adha dirayakan kaum muslimin setiap bulan Dzulhijjah (kalender hijriah). Pada perayaan itu, di Mekkah sedang berlangsung ibadah haji yang diikuti oleh jutaan kaum muslimin dari segala penjuru dunia, dan dilaksanakan pemotongan hewan qurban yang dagingnya dibagi-bagikan kepada yang paling membutuhkan.

Ibadah haji yang serangkai dengan Idul Adha dan pemotongan hewan qurban adalah termasuk Rukun Islam yang kelima. Haji merupakan ciri khas ajaran Islam, merupakan identitas Islam. Tapi tahukah Anda bahwa perayaan dan ibadah tersebut sesungguhnya adalah napak tilas pengalaman spiritual Ibrahim as dan keluarganya? 

Sebegitu tinggi kedudukan Ibrahim (Abraham) dalam ajaran Islam. Dengan demikian, perayaan Idul Adha, ibadah Qurban, bahkan ibadah haji sekalipun, rasanya tidak lengkap jika tidak mengulas kembali tokoh Ibrahim.

Ibrahim adalah nenek moyang Muhammad Saw, sekaligus pula nenek moyang Musa (Moses) dan Isa Al Masih (ejaan latin: Yesus). Semasa hidup, Ibrahim memiliki dua istri. Dari istri bernama Hajar (berdarah afrika), berputra Ismail (Ishma El artinya 'Tuhan telah mendengar'). Dari istri bernama Sarah (berdarah Babylon; Babylon kemudian bernama Persia kemudian sekarang menjadi negara Irak dan Iran) berputra Ishak.

Ismail dan Ibunda Hajar tinggal di Mekkah, sedangkan Ishak dan Ibunda Sarah tinggal di Kanaan (Palestina). Dari Ismail, lahirlah anak-cucunya yang bernama Muhammad (menjadi Rasul pada usia 40 tahun). Dari Ishak lahirlah Ya'kub as. Ya'kub kemudian menjadi Rasul. 

Nabi Ya'kub mendapat julukan Israel (Ishra El artinya 'Hamba Allah', sama artinya dengan Abdullah). Nabi Ya'kub memiliki 12 anak yang kemudian menjadi 12 suku Bani Israel. Dari Bani Israel ini lahirlah Nabi Yusuf, Ayyub, Zulkifli, Musa, Harun, Daud, Sulaiman, Zakaria, Yahya, dan Isa putra Maryam.

Nabi Muhammad Saw mengajarkan Islam, Bani Israil mengajarkan agama Yahudi, dan dari Isa putra Maryam lahirlah ajaran Kristen. Jadi jelaslah, Ibrahim tidak beragama Islam, tidak beragama Yahudi, tidak pula beragama Kristen, karena semua agama-agama itu lahir dari anak cucunya. 

Dalam Qur'an disebutkan bahwa agama Ibrahim adalah 'agama Jalan Lurus' atau agama 'penyerahan diri kepada Tuhan' atau 'agama keesaan'. Al Qur'an menerangkan bahwa Islam adalah agama penyempurna dari agama-agama para nabi sebelumnya, terutama agama Ibrahim as.

ASAL MUASAL HAJI DAN QURBAN

Dari literatur diketahui bahwa bangunan ibadat yang pertama kali dibangun oleh manusia tepat berada di posisi Ka'bah (Ka'bah berarti juga Kubik). 

Ibrahim dan Ismail membangun kembali (memugar) bangunan ibadat yang ada, dan karena bentuknya berupa kubus, kemudian dinamai Ka'bah. Ritual Ibrahim dan Ismail di Ka'bah adalah prototipe dari ritual haji sekarang. 

Adapun rangkaian ritual haji yang lain, yaitu pelemparan batu (Jumrah), qurban, dan sa'i (berlari dar bukit Safa ke Marwah bolak-balik) bermula dari kisah berikut ini :

Ketika Ismail masih bayi, Ibrahim mendapat perintah dari Allah SWT (Tuhan Semesta Alam) untuk membawa dan meninggalkan Ismail beserta Ibunda Hajar berduaan saja disebuah padang pasir yang tandus bernama lembah Bakkah (kemudian bernama Mekkah). 

Sepeninggal Ibrahim, Ismail yang masih bayi menangis kehausan. Bunda Hajar panik, berlari-lari hingga ke bukit Safa dan Marwah bolak-balik mencari mata air. Namun, tak jua menemukan mata air. Sambil terus berdoa kepada Allah, Bunda Hajar tak henti berikhtiar mencari air. Ketika kembali ke lembah Bakkah, didapatinya mata air baru yang semakin lama semakin deras sehingga menjadi sebuah kolam (kini bermana sumur Zamzam). 

Perjuangan Hajar mencari mata air adalah simbol perjuangan sosok Ibu menghidupi anaknya. Sekaligus pula mengandung pelajaran bahwa tidak semestinya kaum yang beriman berputus asa dari Rahmat Allah SWT.

Ketika Ismail memasuki usia remaja, Ibrahim mendapat perintah dari Allah untuk menjadikan Ismail qurban (tumbal persembahan kepada Allah SWT). Perintah Allah ini untuk menguji Ibrahim, apakah lebih mencintai Allah atau anaknya. 

Sebelum sampai pada waktu yang ditentukan, Ibrahim memberitahukan perihal perintah Allah tersebut kepada Ismail. Ismail menjawab kurang lebih, 'Insya Allah, Ayahanda akan mensdapati saya termasuk orang-orang yang sabar'. Namun, ketika hari yang ditetapkan tiba, Syetan menggota Ismail dan Hajar agar bergeming hatinya dan membatalkan rencana qur'ban tersebut. Ismail dan Hajar tak mampu digoda, malah melakukan perlawanan dengan melempari Syetan dengan batu.

Singkat kata, ketika Ibrahim dan Ismail betul2 akan melakukan perintah Allah, tiba-tiba Allah mengganti qurban Ismail dengan seekor domba. Penggantian qurban manusia dengan domba oleh Allah SWT amat disyukuri Ibrahim sekeluarga. 

Kemudian selanjutnya, sebagai rasa syukur, setiap tahun menjadi tradisi qurban domba di kalangan keluarga Ibrahim, yang dilanjutkan oleh anak keturunannya hingga jaman Rasulullah Muhammad Saw. Ketika Muhammad Saw menjadi rasul, ditetapkan tradisi qurban menjadi Hari Raya kaum muslimin. 

Satu hal yang jarang dibahas, bahwa Idul Qurban adalah perayaan menangnya PRASANGKA BAIK, yaitu prasangka baik Ibrahim dan keluarganya kepada Allah al Rahmaan al Rahiim. 

Demikianlah uraian singkat tentang pengalaman spiritual Ibrahim yang menjadi ritual haji kaum muslimin, sesuai dengan firman Allah SWT yang memerintahkan Muhammad Saw untuk mengikuti (menyempurnakan) ajaran Ibrahim dan mengukuhkan ajaran Ibrahim itu sebagai bagian dari ajaran Agama Islam.




 

10 November 2009

Asal Usul Orang Betawi

Oleh :
HamdanA  Batarawangsa


 Foto di atas : Nor'ain dan Bermawie, Tjikini 1920

Istilah Betawi muncul dipastikan setelah Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen  mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia pada 30 Mei 1619. Kata ‘betawi’ adalah pengucapan masyarakat lokal dari kata ‘batavia’ tersebut. Betawi dikenal menjadi nama kaum atau komunitas setidaknya sejak M.H. Thamrin mendirikan perkumpulan Kaum Betawi pada tahun 1918. Saat ini, masyarakat umum mengenal Betawi sebagai salah satu suku bangsa di Indonesia.

Banyak yang percaya bahwa orang Betawi adalah ‘suku’ yang masih muda, yang baru terbentuk pada waktu terkemudian. Pandangan seperti ini disebut--meminjam istilah Ridwan Saidi--pandangan ‘Kali Besar sentris’. Studi Masyarakat Jakarta (Betawi) yang Kali Besar sentries sebagai berikut : Pieterszon Coen pada tahun 1619 menaklukkan Jayakarta. Seluruh penduduk diusir, lantas budak-budak didatangkan, dan budak inilah yang kemudian menjadi cikal bakal orang Betawi. Pandangan Kali Besar sentries ini dibantah oleh pakar kebetawian, Ridwan Saidi, pada temu ilmiah Festival Istiqlal II tahun 1996. Ridwan Saidi mengungkapkan keberadaan komunitas asli yang mendiami berbagai daerah di kawasan yang kini bernama Jakarta jauh sebelum kedatangan Belanda di abad ke-16, dan tidak termasuk mereka yang ‘terusir’ pada masa Pieterszon Coen tersebut. Mereka yang terusir menurut Ridwan Saidi, hanyalah kaum menak bangsawan yang memang secara politis memang membahayakan eksistensi kaum penjajah.

Keberadaan masyarakat lampau (kala itu masih sebagai bagian masyarakat Sunda) yang mendiami daerah yang kini disebut Jakarta itu dikuatkan dengan penemuan berbagai prasasti peninggalan kerajaan Tarumanegara yang telah berdiri pada awal-awal tarukh masehi, misalnya prasasti Tugu. Bahkan Prof. Slamet Muljana melaporkan penemuan kapak genggam peninggalan jaman neolithicum di daerah Condet. Pada buku Sejarah Nasional Indonesia III (editor umum: Marwati Djuned Puspanagoro dan Nugroho Notosusanto) dituliskan bahwa orang Belanda yang datang pertama kali tahun 1596 telah mendapati banyak para pencari ikan di daerah Kalapa (kini wilayah Jakarta Utara). Hikayat Banjar menyebutkan bahwa penduduk Jayakarta (sebelum berubah nama menjadi Batavia) berkisar antara 12.000 hingga 15.000 orang. Ridwan Saidi dalam makalah Masyarakat Betawi: Asal-usul, dan Peranannya dalam Integrasi Nasional (1996) menuliskan bahwa ketika kerajaan Sunda mendirikan pelabuhan Sunda Kalapa pada abad ke-12, di Kalapa sudah ada penduduk asli; pada peta-peta yang dibuat Inggris tahun 1811 terlihat dengan jelas petak-petak sawah terbentang luas mulai dari Sawah Besar (daerah Lapangan Banteng) sampai Ulu Jami, petak-petak sawah itu telah mapan sejak berabad-abad sebelumnya. Demikianlah asal-usul orang Betawi yang bermula dari komunitas di Kalapa, yang awalnya merupakan bagian dari masyarakat Sunda.

Asimilasi berbagai budaya Nusantara bahkan dunia lambat laun melunturkan budaya Sunda masyarakat Kalapa, dan melahirkan bentuk budaya baru yang bercorak Melayu Polinesia (Melayu Borneo) yang terpengaruh oleh budaya Arab dan Tiongkok. Budaya bercorak Melayu Polinesia plus Arab dan Tingkok inilah yang kemudian disebut-sebut sebagai budaya Betawi, dan bahasa Melayu Polinesia berdialek lokal menjadi bahasa Betawi.

Pengaruh budaya dan bahasa Betawi terus meluas ke selatan hingga daerah Tangerang, Bekasi, Depok, dan bagian utara Bogor. Lambat laun, daerah-daerah di selatan tersebut pun menjadi bagian wilayah ‘orang Betawi’. Maka benarlah pendapat ahli bahwa batas bahasa menjadi batas pula bagi budaya. Betawi yang bercikal di Kalapa (Jakarta Utara) kini memiliki batas wilayah yang lebih luas dari DKI Jakarta.

Menyebaran budaya dan bahasa Betawi (bahkan agama) hingga jauh ke selatan terutama akibat ekspansi tentara Islam koalisi Banten, Cirebon, dan Demak (Pajang?) yang menyerbu kerajaan Pajajaran pada abad ke-17. Konon, tentara koalisi membangun wilayah pertahanan di daerah selatan (Tangerang, Depok, Bekasi, dan bagian Utara Bogor) sebelum menyerbu masuk ke Ibukota kerajaan Pajajaran. Kemudian tentara Islam koalisi Banten, Cirebon, dan Demak tersebut banyak yang melakukan perkawinan dengan masyarakat lokal.

Semua informasi ini membuktikan bahwa ‘suku’ Betawi bukanlah komunitas yang baru terbentuk. Adapun, karakteristik orang Betawi hingga ke bentuknya yang sekarang, tidak lepas dari sejarah panjangnya menjadi ‘daerah niaga’ sehingga terjadi asimilasi budaya dari berbagai bangsa di Nusantara dan dunia, baik melalui hubungan perdagangan, hubungan pergaulan, maupun melalui perkawinan.

02 November 2009

Falsafah Kujang, Senjata Khas Jawa Barat

Kujang adalah senjata khas Jawa Barat, berbentuk unik seperti lidah api. Variasi bentuk kujang sangat banyak, mulai yang panjang dan ramping, hingga yang pendek dan tebal. Tapi siapa yang tahu, ternyata kujang bukan senjata biasa, melainkan sebuah lambang yang sarat makna.

Pada waktu yang lampau, sesepuh Sunda, R. Anang Daryan Jayadikusumah (alm; makam di bukit Desa Urug, Tasikmalaya), pernah memberikan informasi kepada salah seorang cucunya tentang falsafah Kujang, dan diteruskan ke Penulis.

Apabila dicermati, pada kedua sisi Kujang terdapat goretan tulisan yang sesungguhnya adalah pesan dari Karuhun. Dahulunya, tulisan itu berbunyi (setelah diterjemahkan): "Pikir itu pelita hati" dan pada sisi sebelahnya, "Cinta itu abadi". Seiring waktu, jaman berganti jaman, tulisan pada Kujang semakin tidak jelas terbaca. Pada masa kini ada yang berpendapat bahwa tulisan itu berlafadz "Basmallah" dan "Hamdallah", ada pula yang berpendapat, bahwa goretan pada sisi Kujang hanyalah goretan biasa yang tanpa makna, hanya untuk aksesoris. Wallahu'alam. Namun, pernah ada seseorang yang memiliki kapasitas spiritual luar biasa, dengan kemampuan batinnya, mampu membaca tulisan atau goretan pada kedua sisi Kujang, anehnya, bunyi tulisan yang terbacanya, persis seperti apa yang ditutur R. Anang Daryan Jayadikusumah !

Bahwasanya, sesungguhnya Kujang adalah senjata tanpa warangka (sarung), karena warangka sejatinya adalah raga manusia. Dan warna emasnya, melambangkan hati manusia yang suci.

Menarik untuk disimak pendapat Bataragema, salah seorang cucu R. Anang Daryan Jayadikusumah : kujang itu adalah petuah orang tua kepada anak-cucunya atau filosofi hidup orang sunda, bahwa orang Sunda itu harus mempunyai fikiran yang jernih sehingga hati tidak dipenuhi sifat iri, dengki, mempunyai rasa welas asih , dan saling menyayangi. Senjata kujang itu adalah senjata dalam diri manusia yang mengamalkan hal kebaikan di atas, kias kujang terbuat dari emas dan sejata kujang timbul dari tubuh manusia. Konon kujang bersemayam dalam tubuh sehingga kujang tidak mempunyai sarung. Adalah perbuatan yang baik yang timbul dari dalam diri kita adalah suatu perbuat emas atau mulia. Siapa yang melakukan semua itu ? Ku UJANG yang melakukannya cek kolot mah. Jadi, hendaklah semua orang Sunda mengamalkan filosofi KUJANG tersebut. Nah itulah arti sesungguhnya Kujang.