Tanpa kejernihan hidup yang bagaimana, manusia bisa berdamai dengan kematian ? Tak ada kebaikan yang tak berbalas, tak ada keburukan yang tak bersanksi. My wisdom goes over the sea of wild wisdom

08 Mei 2021

PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA


Bangsa Indonesia sepakat bahwa NKRI adalah Negara hukum. Negara hukum menjalankan pemerintahan berdasar kedaulatan hukum bukan kekuasaan, bertujuan menjalankan ketertiban hukum (Pasya dalam Winarno, 2006).  Yulies Tiena Masriani dalam Pengantar Hukum Indonesia (2004) menyatakan bahwa hukum adalah perangkat norma atau kaidah yang berfungsi mengatur tingkah laku manusia dengan tujuan ketentraman dan kedamaian dalam masyarakat.  Tanpa hukum, manusia akan bertingkah barbar seperti binatang : menjajah sesamanya, yang terkuat yang akan berkuasa, saling membantai tiada henti.

Prof. Dr. Soerjono Soekanto berpendapat bahwa penegakan hukum dipengaruhi 5 faktor, yaitu produk hukum, penegak hukum, fasilitas hukum, masyarakat, dan budaya. 

Masalah Produk Hukum.  Produk hukum misalnya UUD, UU, Perpu, Permen, Perda, dan sebagainya. UUD dan UU dibuat oleh lembaga legislatif negara, yaitu DPR. Perpu, Permen, dan Perda dibuat oleh lembaga eksekutif yang hierarkinya dibawah UUD dan UU, sebagai penjabaran hukum di atasnya.

Masalah-masalah produk hukum di Indonesia saat ini, diantaranya masalah multitafsir, masalah tumpang-tindih dengan pasal-pasal dan aturan lain sehingga menimbulkan keruwetan dalam hukum, dan ketidaksesuaian hukum dengan azaz di atasnya. 

Dalam hal keruwetan hukum, dalam level eksekutif, Presiden Joko Widodo melalui menterinya melakukan pemangkasan dan peninjauan kembali hukum. Dalam hal ketidak sesuaian hukum dengan azaz di atasnya, Penulis menilai UU tentang pemilihan umum secara langsung  mengabaikan spirit musyawarah mufakat yang tercantum dalam sila ke-4 Pancasila, meski Pancasila tidak termasuk dalam hierarki hukum negara, tapi Pancasila adalah salah satu Pilar Kebangsaan dan sumber dari segala sumber hukum yang harus dihormati. Dalam level legislatif, DPR-MPR RI melakukan amandemen beberapa pasal UUD 45. Amandemen UUD ini berpotensi mengubah negara, sehingga perlu mendapat perhatian utama.  Amandemen pertama UUD 45 terjadi pada tahun 1999, mengubah 9 pasal (pasal 5, 7, 9, 13, 14, 15, 17, 20, dan pasal 21). Hingga kini telah terjadi beberapakali amandemen.  Hal terpenting dari amandemen tersebut menurut Penulis adalah 

(1) Amandemen I tahun 1999 memperkuat posisi legislatif;

(2) Amandemen II tahun 2000 mengenai kewenangan DPR, pemerintah daerah, HAM, lambing negara, dan lagu kebangsaan;

(3) Amandemen III tahun 2001 mengenai kewenangan MPR, kepresidenan, kedaulatan negara, keuangan negara, dan kekuasaan kehakiman;

(4) Amandemen IV tahun 2002 mengenai penggantian presiden, DPD sebagai bagian MPR, pernyataan perang, perdamaian dan perjanjian, pendidikan dan  kebudayaan, perekonomian nasional, mata uang, dan bank sentral.

Masalah Penegak Hukum. Badan-badan penegak hukum di Indonesia diantaranya : Polri, BNN, Kejaksaan Agung, BNPT, BIN, dan Bakamla (dibawah Menko Polhukan); Pol.PP (dibawah Mendagri); Dirjen Bea dan Cukai, dan Dirjen Pajak (dibawah Menkeu); Polisi Kehutanan (dibawah Menteri KLH dan Kehutanan); Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (dibawah Menhub); Dirjen Imigrasi dan Polisi Penjara/Sipir (dibawah Menkumham); Polisi Militer (dibawah Panglima TNI); KPK (independe); dan Wilayaul Hisbah (khusus di Aceh, independen); hakim dan advokad.

Menurut Penulis, masalah utama dari penegak hukum adalah rawannya penyuapan dan kinerja yang rendah.  Sudah dimaklumi bersama bahwa penegak hukum rawan disuap, penulis tidak akan membahas masalah ini lebih lanjut.  Lembaga penegak hukum secara intern harus membuat sistem sedemikian rupa agar bisa menghindari penyuapan dan terus meningkatkan tingkat kepercayaan masyarakat kepada penegak hukum.   

Masalah berikutnya adalah kinerja yang rendah, entah karena pertambahan kejahatan lebih tinggi daripada percepatan kasus yang terselesaikan, kurangnya jumlah personil penegak hukum, atau factor kecakapan yang tidak memadai. Penulis memiliki setidaknya dua pengalaman meminta bantuan penegak hukum. Pertama, kasus pencurian dengan kerugian materi kurang dari sepuluh juta rupiah, kasus ditangani dan selesai dengan memuaskan. Kedua, kasus penipuan penjualan tanah dengan kerugian materi di atas tigapuluh juta rupiah, kasus bertahun-tahun tidak selesai, kini hampir kadaluarsa. Dari dua pengalaman tersebut secara umum penulis tidak bisa mengatakan puas dengan kinerja penegak hukum.

Masalah Masyarakat. Ketika berhadapan dengan opini masyarakat, aparat penegak hukum seringkali nampak gamang dalam menegakkan hukum.  Hal tersebut nyata dalam pengamatan penulis terutama pada kasus HRS (2020), meski kemudian penegak hukum kembali mampu bersikap dan bertindak tegas terukur sesuai UU. Dewasa ini, opini masyarakat (opini public) sering dilihat melalui media online, padahal opini di dunia maya sering tidak sesuai dengan opini sesungguhnya masyarakat. Opini publik berpotensi memengaruhi kebijakan public (hukum), oleh karena itu, perlu diketahui opini public yang orisinil, bukan buatan buzzer atau mesin di media online. Opini publik bisa mendukung tapi bisa juga justru menghambat penegakkan hukum. 

Masalah Budaya. Kebudayaan sebetulnya berfungsi sebagai sekolah bagi masyarakat, masyarakat belajar dari nilai-nilai kemudian mengevaluasi dirinya sendiri (Peursen, 1976). Dalam kebudayaan ada sanksi dan konsekuensi. Sanksi dan konsekuensi dalam budaya mendahului UU negara.  Oleh karena itu penegakan hukum di NKRI harus memperhatikan pula budaya setempat agar tidak menimbulkan gesekan dalam masyarakat. Sangat bagus jika UU negara menyesuaikan dengan budaya setempat. Contoh sanksi dan konsekuensi budaya yang kemudian disinkronkan dengan UU negara adalah UU khusus yang berlaku di Aceh dewasa  ini.

Kesimpulan. Kesimpulan pendapat Penulis tentang penegakan hukum di Indonesia adalah (1) lebih baik memiliki sedikit aturan namun ditaati dengan baik, daripada memiliki banyak aturan namun banyak dilanggar; (2) semakin banyaknya atutan tidak melulu berarti makin majunya bangsa, bisa juga berarti menurunnya moralitas kolektif. 

Sebagai penutup penulis mengutip Dr. Fokky Fuad Wasitaatmadja dalam Filsafat Hukum Rasionalisme dan Spiritualisme (2019), “Begitu lama hukum bekerja untuk melayani manusia, begitu pula telah lama manusia menelaah hakikat eksistensinya melalui kerja akal.  Ketika system industri menjadikan manusia sebagai mesin-mesin mekanis, hukum hanya melayani akal mekanis manusia.  Apakah keadilan dan kesetaraan juga mampu dihadirkan oleh hukum ?”

Penulis: Hamdan A Batarawangsa

__________________

PUSTAKA

Riyanto, Agus. 2018. Penegakan Hukum, Masalahnya Apa ?. Makalah

Peursen, CA. 1976. Strategi Kebudayaan. Penerjemah Dick Hartoko. Penerbit Kanisius. Jogyakarta.

Wasitaatmadja, Fokky Fuad. 2019. Filsafat Hukum Rasionalisme dan Spiritualisme. Prenadamedia. Jakarta