(Bagian 1 dari tulisan berjudul Oposisi dalam Demoktrasi Pancasila)
Sejak pemilu 2014 dan
puncaknya pemilu 2024, kata oposisi sering disematkan kepada kelompok yang
kalah dalam kontestasi, kelompok pengkritik, bahkan pembenci pemerintah. Oposisi disebut-sebut sebagai kekuatan
penyeimbang /pengontrol kepentingan dan kebijakan yang diambil pemerintah,
mencegah monopoli kekuasaan, membangun sistem kontrol masyarakat, dan memdorong
demokrasi yang terbuka. Oposisi diyakini
sebagai kelompok yang harus ada dalam politik di Indionesia. Benarkah ?
Demokrasi Pancasila dalam Musyawarah Gerakan Pramuka di SMA 1 Budi Utomo Jakarta |
Pada 10 November 2001
disahkan Pasal 6 UUD Negara Republik Indonesia (hasil amandemen UUD 45) tentang
pemilihan Presiden secara langsung dan tidak lagi melalui Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), maka sejak 2001 sebenarnya, negara Indonesia
meninggalkan demokrasi Pancasila beralih pada demokrasi liberal. Setelah pasal 6 UUD Negara Republik Indonesia
hasil amandemen tahun 2001 dilaksanakan, di luar dugaan, partisipasi langsung
rakyat dalam pemilihan presiden telah membelah masyarakat menjadi dua kelompok
besar, yaitu kelompok pengusung presiden terpilih dan kelompok pengusung
pasangan yang kalah. Meminjam istilah dalam demokrasi liberal, kelompok
pengusung pasangan yang kalah “menamakan dirinya” sebagai oposisi.
Kata oposisi berasal
dari opposition (Inggris) atau opponere (Latin) yang berarti menentang, menolak, atau melawan. Dalam politik, oposisi berarti partai atau gabungan partai sebagai penentang
dan pengkritik pendapat dan kebijakan dari kelompok eksekutif yang sedang
berkuasa. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, oposisi adalah partai yang menentang dan mengkritik di dewan
perwakilan (DPR/DPRD) atas kebijakan politik dari golongan yang sedang
berkuasa. Berdasar hal ini, dengan
demikian oposisi hanya berada dalam tatanan dewan perwakilan rakyat yang
menjadi penentu kebijakan, pembuat aturan atau undang-undang, bukan dalam
tatanan kehidupan seharai-hari antara rakyat dengan pemerintah eksekutif yang
hanya sebagai pelaksana (eksekutor) dari kebijakan yang dibuat dewan legislatif.
Sepakat dengan
Marsudi dan Rohmah dalam Peran Partai
Oposisi dalam Sistem Ketatanegaraan Konvensional dan Islam (Jurnal UIN Vol.10
No.2 tahun 2023), bahwa dalam demokrasi Islam, peran partai oposisi adalah
sebagai loyal oposisi atau sebagai
pendukung pemerintah yang kritis. Artinya, tidak ada oposisi, yang ada adalah
pendukung yang kritis, sebagaimana dipahami dalam Islam bahwa manusia adalah
tempatnya khilaf yang mesti selalu dikritisi, namun juga ukhuwah yang kuat
(persaudaraan, persatuan) menjadi ciri utama masyarakat yang sehat dan syarat
mutlak untuk terwujudnya tujuan bernegara.
Pemilihan presiden - bupati secara langsung dan tekanan kelompok tertentu untuk adanya oposisi dalam parlemen namun merembes dalam sikap dan perilaku masyarakat sehari-hari kepada pemerintah adalah kenyataan bahwa demokrasi Indonesia sedang berjalan menuju demokrasi yang liberal. Demokrasi liberal tidak cocok di Indonesia, alih-alih menjadi negara yang lebih demokratis, demokrasi yang liberal malah memecah-belah masyarakat dengan identitasnya masing-masing. Bangsa Indonesia yang religius perlahan sedang meninggalkan demokrasi Pancasila musyawarah-mufakat yang sudah menjadi budaya bangsa sejak dahulu.
Saya dan rekan-rekan guru adalah pihak yang paling layak disalahkan atas liberalisasi demokrasi Pancasila sekarang ini, kami adalah oknum yang memberi pendidikan salah tentang demokrasi, lihat saja dalam tata cara
pemilihan ketua kelas dan pemilihan ketua OSIS di sekolah, dimana musyawarah-mufakatnya ?
(HamdanA Batarawangsa)