Tanpa kejernihan hidup yang bagaimana, manusia bisa berdamai dengan kematian ? Tak ada kebaikan yang tak berbalas, tak ada keburukan yang tak bersanksi. My wisdom goes over the sea of wild wisdom

25 Februari 2024

LIBERALISASI DEMOKRASI PANCASILA

(Bagian 1 dari tulisan berjudul Oposisi dalam Demoktrasi Pancasila)


Sejak pemilu 2014 dan puncaknya pemilu 2024, kata oposisi sering disematkan kepada kelompok yang kalah dalam kontestasi, kelompok pengkritik, bahkan pembenci pemerintah.  Oposisi disebut-sebut sebagai kekuatan penyeimbang /pengontrol kepentingan dan kebijakan yang diambil pemerintah, mencegah monopoli kekuasaan, membangun sistem kontrol masyarakat, dan memdorong demokrasi yang terbuka.  Oposisi diyakini sebagai kelompok yang harus ada dalam politik di Indionesia. Benarkah ?

Demokrasi Pancasila dalam Musyawarah Gerakan Pramuka di SMA 1 Budi Utomo Jakarta

Pada 10 November 2001 disahkan Pasal 6 UUD Negara Republik Indonesia (hasil amandemen UUD 45) tentang pemilihan Presiden secara langsung dan tidak lagi melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), maka sejak 2001 sebenarnya, negara Indonesia meninggalkan demokrasi Pancasila beralih pada demokrasi liberal.  Setelah pasal 6 UUD Negara Republik Indonesia hasil amandemen tahun 2001 dilaksanakan, di luar dugaan, partisipasi langsung rakyat dalam pemilihan presiden telah membelah masyarakat menjadi dua kelompok besar, yaitu kelompok pengusung presiden terpilih dan kelompok pengusung pasangan yang kalah. Meminjam istilah dalam demokrasi liberal, kelompok pengusung pasangan yang kalah “menamakan dirinya” sebagai oposisi.

Kata oposisi berasal dari opposition (Inggris) atau opponere (Latin) yang  berarti menentang, menolak, atau melawan.  Dalam politik, oposisi  berarti partai atau gabungan partai sebagai penentang dan pengkritik pendapat dan kebijakan dari kelompok eksekutif yang sedang berkuasa.  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, oposisi adalah partai yang menentang dan mengkritik di dewan perwakilan (DPR/DPRD) atas kebijakan politik dari golongan yang sedang berkuasa.  Berdasar hal ini, dengan demikian oposisi hanya berada dalam tatanan dewan perwakilan rakyat yang menjadi penentu kebijakan, pembuat aturan atau undang-undang, bukan dalam tatanan kehidupan seharai-hari antara rakyat dengan pemerintah eksekutif yang hanya sebagai pelaksana (eksekutor) dari kebijakan yang dibuat dewan legislatif.

Sepakat dengan Marsudi dan Rohmah dalam Peran Partai Oposisi dalam Sistem Ketatanegaraan Konvensional dan Islam (Jurnal UIN Vol.10 No.2 tahun 2023), bahwa dalam demokrasi Islam, peran partai oposisi adalah sebagai loyal oposisi atau sebagai pendukung pemerintah yang kritis. Artinya, tidak ada oposisi, yang ada adalah pendukung yang kritis, sebagaimana dipahami dalam Islam bahwa manusia adalah tempatnya khilaf yang mesti selalu dikritisi, namun juga ukhuwah yang kuat (persaudaraan, persatuan) menjadi ciri utama masyarakat yang sehat dan syarat mutlak untuk terwujudnya tujuan bernegara.

Pemilihan presiden - bupati  secara langsung dan tekanan kelompok tertentu untuk adanya oposisi  dalam parlemen namun merembes dalam sikap dan perilaku masyarakat sehari-hari kepada pemerintah adalah kenyataan bahwa demokrasi  Indonesia sedang berjalan menuju demokrasi yang liberal.  Demokrasi liberal tidak cocok di Indonesia, alih-alih menjadi negara yang lebih demokratis, demokrasi yang liberal malah memecah-belah masyarakat dengan identitasnya masing-masing.  Bangsa Indonesia yang religius perlahan sedang meninggalkan demokrasi Pancasila  musyawarah-mufakat yang sudah menjadi budaya bangsa sejak dahulu. 

Saya dan rekan-rekan guru adalah pihak yang paling layak disalahkan atas liberalisasi demokrasi Pancasila sekarang ini, kami adalah oknum yang memberi pendidikan salah tentang demokrasi, lihat saja dalam tata cara pemilihan ketua kelas dan pemilihan ketua OSIS di sekolah, dimana musyawarah-mufakatnya ?

(HamdanA Batarawangsa)